Oleh : Hendra Himawan



“(Pameran) ini sebagai upaya untuk mengapresiasi diri dari proses yang sudah kami lakukan selama ini. Dengan usia kelompok yang masih muda,  yang selama ini hanya berpameran di Bali, maka kami dari Kelompok Djagoer ingin mencoba pameran keluar Bali.
(Email : Djagoer Art, <djagoerinart@yahoo.com > to sangkring@gmail.com, Saturday, Sep 3, 2011 at 10:53 PM)


Demikian gagasan dan konsep awal yang diajukan oleh Kelompok Djagoer dalam pameran yang di gelar di Sangkring Art Project (SAP), 9-23 November 2011 ini. Kelompok Djagoer beranggotakan empat sekawan seniman. Mereka adalah I Wayan Danu, I Wayan Arnata, I Wayan Gede Santiyasa, dan Ida Bagus Putra Wiradnyana atau yang akrab di panggil Gus De Jagiran. Meski mereka menyebut kelompok ini baru, senyatanya para personelnya bukanlah orang-orang baru.  Mereka adalah seniman-seniman yang telah banyak berbaku hantam dan berasam garam dengan hiruknya seni rupa.
Dalam wawancara singkat kami, I Wayan Arnata, mewakili Kelompok Djagoer mengkisahkan ;
Keberadaan Kelompok Djagoer sebenarnya dapat dikatakan mulai pada tahun 2003, ditandai dengan pameran kami bertajuk "From the Inner Self" yang diselenggarakan di Art Center Denpasar Bali. Digawangi oleh Wayan Danu, Wayan Arnata, Wayan Gede Santiyasa. Seiring waktu, walaupun kami 'tetap berkomunikasi' di jalur kesenian masing-masing, barulah pemikiran tersebut mulai dikristalisasikan kembali, dengan menghasilkan pameran di Ten Fine Art Sanur, karena kami makin menyadari akan kebutuhan kami untuk berkesenian, antara  satu dengan anggota yang lainnya.
                Sebagai sebuah kelompok, Djagoer ibarat alat kendara. Tempat mereka menampung spirit untuk terus me-laju-kan karya dan menjaga api keseniannya. Bersama, mereka menempuh perjalanan gagasan dan artistik, perjalanan ruh (soul) estetik dan fisik. Dengan satu wadah, mereka sama-sama terpacu. Agar tidak ada yang alpa, lalai atau tertinggal dari ‘khittah’ kesenimanan dan i’tikad kesenian yang mereka junjung. Hal ini mereka upayakan karena, masing-masing sudah mempunyai kegiatan keseharian sendiri-sendiri, akan tetapi, “mereka masih menempatkan kehendak serta kegiatan berkesenian melebihi aktifitas lainnya”, demikian tutur I Wayan Arnata.
Mengandaikan pameran mereka kali ini sebagai sebuah perjalanan, maka tema lawatan ke Yogyakarta ini, Kelompok Djagoer mengambil tema yang lugas, TRY OUT ! Sebuah takar uji, yang akan menjadi tolak ukur dari pencapaian diri dalam ranah estetik dan artistik. Secara gamblang, I Wayan Arnata bercerita,
Latar belakang kami (Kelompok Djagoer) memakai judul TRY OUT adalah untuk menguji kemampuan kami sesungguhnya di dalam berkesenian, paling tidak untuk diri kami sendiri mulanya. Masih pantaskah kami berada di dunia kesenian yang hingar bingar, dan mencoba menawarkan "sesuatu olah visual" yang menurut kami ini pencapaian karya-karya paling akhir  yang bisa kami tawarkan, sembari selalu melakukan studi berkesinambungan untuk karya-karya kami selanjutnya.”
Berirama dengan tajuk ‘perjalanan’ mereka saat ini -TRY OUT-, setiap seniman mempunyai catatan yang ingin dan hendak diungkapkan melalui  karya-karya mereka. Melihat ke dalam karya, para punggawa Kelompok Djagoer lebih banyak merekam dan berkisah tentang lingkungan keseharian. Potret-potret natural dari adat budaya mereka yang kental.
Sebagaimana gagasan I Wayan Gede Santiyasa dalam karya-karya mixed media on board-nya. Ia berusaha menangkap perubahan "aura lingkungan" sekitar dan pergeseran citra serta nilai tradisi dalam lingkungan tersebut. Hal itu dijadikannya sebagai kasus pembelajaran dalam pengembangan keseniannya. Dengannya, lahir karya-karya Hard to Combine (2011) dan Terikat Romantisme II (2011). Di mana secara simbolis, ia hadirkan nuansa dan narasi klise dari ambiguitas tradisi dan lingkungannya.
Inspirasi dari lingkungan sehari-hari, melandasi segenap proses kreatif I Wayan Arnata. Hal ini dapat kita lihat dari  karya-karyanya. Meski sangat eksploratif dalam mengolah media, judul dan visualitas karya hadir dengan lugas. Ngombe Bareng (2010) adalah satu judul yang tentunya menggelitik pikiran kita.
“Karya-karya  yang diciptakan dalam berkesenian saya adalah tentang kehidupan keseharian. Selain berkesenian, ada kegiatan yang tidak bisa lepas dari keseharian yaitu; sosial masyarakat. Hampir 30% kehidupan keseharian saya adalah sosial masyarakat. Banyak pengalaman didapat dalam sosial masyarakat. Maka dari itu timbul kegelisahan-kegelisahan dirasakan untuk mengungkapkannya ke dalam bentuk karya seni dan sebagai gagasan dalam berkarya.”, demikian tandasnya.
Keempat kawanan seniman ini memang terbilang asyik mengolah medium. Dari kayu yang dipahat cermat hingga merespon barang-barang bekas yang mudah didapat. Kesemuanya tersuguhkan dengan apik dan artistik. Sebagaimana keunikan gagasan dan proses kreatif yang dipaparkan oleh I Wayan Danu berikut :
“(Bicara) konsep; secara fisik/visual karya,  saya lebih menyukai merespon benda-benda bekas di sekitar saya, atau dengan cara memungut-mungut. Secara tema; saya merespon kejadian-kejadian  yang akan atau belum terjadi pada lingkungan kita. Yang selalu mengusik rasa, dan saya coba suguhkan dalam proses perwujudan sebuah karya.
Fenomena dan nomena yang ada di dalam lingkungannya, dimaknai dan dipahami, kemudian dituangkannya dalam proses dan bahasa visual yang lugas dan binal. Lukisan seperti Wabah ‘Jari Tengah’ (2011), menjadi satu ungkapan lirisnya atas tingkah nafsu yang mendominasi hidup manusia.
Seperti tiga seniman lainnya, Gus De Jagiran pun banyak mengeksplorasi ruang dan bahan. Ia banyak memanfaatkan apa- apa yang ada di sekitarnya untuk mewujudkan ide dan gagasan dengan bahasa perlambang sebagai gambaran tentang permasalahan-permasalahan sosial, alam dan lingkungan. Aroma tradisi kental tersirat dalam karyanya. Topeng kayu bertajuk  Purwa (2011), hadirkan sosok wajah yang cekam. Di pahat di atas kayu waru, berhias ragam ornamen dan kain poleng, semakin menegaskan akar adatnya. Kepiawaian mengolah medium terwujud dalam Sato (2011). Berbahan telethong (tahi) sapi, ia hadirkan bentuk binatang dalam deformasi bentuk yang unik. Dari medium yang ‘tidak bernilai’, diubahnya menjadi karya seni tinggi.
Laju perjalanan kreatif Kelompok Djagoer telah melintas banyak sekat ruang. Bukan saja ruang gagasan, estetik ataupun artistik individu (dan kelompok), kini, perjalanan kreatif mereka menyeberangi pulau! TRY OUT, bukan lagi perkara uji diri, tetapi, Try to get Out !, ‘mencoba untuk keluar’. Keluar dari iklim seni rupa yang mereka rasakan di Bali dan mencari spirit yang ‘lebih’ di kota pelajar ini. Sebagaimana jawaban mereka saat kami lontarkan pertanyaan,
Kenapa Kelompok Djagoer memilih Yogyakarta sebagai tempat untuk presentasi karya?
Jogja! Di mana kami ditempa saat itu, -(Di era 90’an, para personel Kelompok Djagoer pernah tinggal, berkarya dan mengeyam pendidikan di Fakultas Seni Rupa (FSR) ISI Yogyakarta)-, memberikan aura imajinatif bagi kami untuk berupaya lebih memacu diri dalam berkesenian ini. Kami tidak menganggap di Bali tidak ada… akan tetapi kami menganggap Jogja masih sebagai salah satu pusat studi terbaik yang dimiliki oleh bangsa ini ... maka wajarlah kiranya bila kami memulai perjalanan kami yang lebih serius dan panjang itu di sini, dan juga melihat Jogja sebagai salah satu mindframe pendidikan budaya (khususnya seni rupa) di Indonesia. Untuk daerah lain tentulah kami akan mencari dan menunggu kesempatan-kesempatan itu berikutnya.
Kota ini memang selalu menarik perhatian siapapun yang pernah singgah, untuk kembali. Terlebih bagi para seniman yang pernah merasakan ‘aura imajinatif’nya- sebagaimana yang diungkapkan di atas. Lawatan ‘kembali’  Kelompok Djagoer ke Yogyakarta, mungkin membawa romantika tersendiri bagi para personelnya. Dan bahkan mungkin, menjadi ‘titik awal (lagi)’ dari perjalanan kesenimanan yang akan mereka tempuh selanjutnya. Sungguh, bagi kami, perjalanan mereka memberikan penghayatan yang lebih. Akan spirit yang harus terus dijaga, tanggung jawab yang mewujud dalam kerja keras, dan ke-bijak-an diri dalam menjalani proses kreatif. Sebuah kesantunan yang tersirat jelas dari jawaban mereka, saat kami lontarkan pertanyaan sebagai penutup perbincangan.
Melalui karya-karya yang akan dipamerkan di Sangkring Art Space Yogyakarta ini, apa yang hendak di tawarkan Kelompok Djagoer kepada publik seni, khususnya di Yogyakarta? 

Kami, Kelompok Djagoer, belum mampu manawarkan apa-apa.. hanya pemaparan proses kami.. dan rasa pertanggung jawaban kami terhadap lingkungan kesenian. Paling tidak diawali untuk diri sendiri, dan tentu "memperkenalkan diri kembali" pada lingkungan seni di Yogyakarta. Kami tidak berekspektasi jauh, tentang nilai yang kami berikan, biarlah semua mengalir lewat pemahaman masyarakat seni Yogyakarta itu sendiri.”
(+++)

­­­­­­­­­­­­­Sangkring Art Project (SAP), 1 November 2011, 19:08 wib.
___________________________________
Semua data dan keterangan di atas, diracik dari wawancara yang dilakukan penulis dengan Kelompok Djagoer, yang diwakili oleh I Wayan Arnata, via surat elektronik pada Minggu, 30 Oktober, 2011,  18:41 wib.








Hendra Himawan *)

                Tidak banyak yang tahu, lukisan candi dengan beragam fasad bangunan, relief arca yang sering dijumpai di buku-buku sejarah masa lalu merupakan hasil dokumentasi dan laporan perjalanan dinas dari pegawai VOC ataupun turis dan pelancong asing di masa Hindia Belanda. Saat itu, pemerintah Kolonial membuat proyek besar pendokumentasian daerah jajahan yang berlangsung secara massive. Mereka mengirim para schilders-teekenars berkeliling pulau Jawa dan pelosok Nusantara dengan tugas utama yakni  melukis tumbuhan, pemandangan alam, manusia, dan bangunan-bangunan candi Hindu. Salah satu hasil yang dapat kita nikmati saat ini adalah terciptanya Kebun Raya Bogor melalui program dokumentasi oleh "Komisi Reindwardt" (1817). Sketsa dan drawing menjadi senjata penting dalam kerja dokumentasi ini, mengingat tidak semua pelukis yang dikirim adalah pelukis profesional. Kebanyakan dari mereka adalah pegawai pemerintah yang mempunyai hobi, kemampuan melukis, dan menggambar. Meskipun demikian, karya pelukis non profesional tersebut justru penting bagi dokumentasi awal kekayaan alam dan budaya Hindia Belanda. Selain itu, karya mereka juga penting sebagai peletak dasar teknik realisme sekaligus menjadi pintu masuk bagi seni lukis modern Barat ke Hindia Belanda.
                Kini, saya merasakan déjà vu ketika melihat karya-karya sketsa yang dipamerkan di Tembi Rumah Budaya Yogyakarta ini. Layaknya schilders-teekenard masa itu, sepuluh sketcher dalam pameran ini juga datang dari beragam profesi, dari peneliti hingga seniman profesional.   Mereka menampilkan ragam sketsa candi dalam berbagai garis dan ekspresi. Sketsa yang diciptakan  hadir sebagai satu karya utuh, bukan semata gambar rancang bangun atau gambaran awal dari sebuah karya lukisan. Ketika dicermati lebih jauh, karya-karya sketsa ini memang mempunyai nilai lebih.  Ada nilai momentum, peristiwa, ruang dan waktu yang tidak bisa diulang. Mengingat bahwa sketsa merupakan karya spontan, yang dibuat secara langsung berhadapan dengan objek.  Subjektivitas artist, terungkap dalam  gerak spontan dan ekspresi yang lugas. Imajinasi yang hadir berbalut keinginan untuk mencermati detail fasad candi secara objektif. Sketsa-sketsa candi ini  seakan hadir  menjadi ruang penting untuk  membekukan realita dan ketakjuban, yang dengannya kita menggugah nilai dan merawat ingatan. Senyatanya, ia menjadi satu rekaman  penting peristiwa, dan mungkin bahan untuk sebuah kajian. Karya-karya sketsa ini bukan semata ekspresi jiwa murni, namun nilai dokumentasi yang tentunya bernilai lebih dari sekedar jepretan kamera.


______________
Penulis seni rupa, bekerja di Sangkring Art Space Yogyakarta





Sepenggal potret modernisme adalah cerita yang dibawakan Rosid Mulyadi dalam pamerannya kali ini. Potret dunia yang memuja peradaban tinggi, ilmu pengetahuan dan rasionalisme-akal budi. Sebuah dunia yang memuja materialisme, yang menarik semua  hubungan, kepentingan dan orientasinya kepada materi dan  gerak benda. Dunia mekanis yang kental dengan aroma mesin dan industrialisasi.
Melalui kanvasnya, ia kisahkan bagaimana kemajuan peradaban telah berdampak buruk bagi manusia dan lingkungan. Manusia telah menjadi alat mekanis, sementara alamnya terus tergerus habis.   Tubuh-tubuh kaku, gerak mesin dan simbol-simbol industrial yang riuh mengisi bidang gambar, seolah panggung drama yang mengisi adegan kolosal. Boneka kayu (semacam Pinokio dalam karangan Carlo Collodi), yang dihadirkannya secara dominan dalam sebagian besar karyanya, dimaksudkan sebagai satu simbol reproduksi mekanis, berikut alienasi yang terjadi pada manusia, di samping gambar kepulan-kepulan asap yang nampak keras.  Ia hadirkan kisah itu dalam simbol dan imajinasi, warna dan goresan yang kuat berikut teknik yang prima.
Mencermati narasi visual yang dihadirkan Rosid dalam karya-karyanya, sungguh kita menemu satu rangkaian cerita tentang realita modernitas. Ia mengawalinya dari tingkah laku manusia yang mulai rakus dan serakah. Materialisme, hedonis, dan memuja rasionalitas-individu sebagai sumber khas kebenaran, telah membuat manusia menjadi haus kuasa, dan berani merampas hak sesamanya. Secara lugas Rosid mengungkapkannya dalam karyanya, Free and Rational Beings (2011). Ketamakan diri yang menuntut industrialisasi tinggi, telah mengakibatkan rusaknya ekologi. Kini, tiada lagi ladang hijau tempat bermain. Semua berganti bangunan tinggi, deru mesin dan kepulan asap industri. Dunia penuh asap, merah panas, dan gelap. Sebagaimana tersurat dalam karyanya K(now) (2011), dan Living Underconstruction (2011). Fenomena dan bencana yang terjadi karena rusaknya alam akibat limbah industri saat ini, telah menjadi mimpi buruk bagi manusia. Belum lagi pemanfaatan energi yang semena-mena berikut bayangan terjadinya global warming dan membekunya bumi. Semuanya  dihadirkannya  dalam karya Nightmare (2011) dan Musim Dingin (2011).
Hard Moment (2011) dan Between Sadness and Hard Decision (2012) menjadi satu potret akan dilema yang dihadapi manusia, kala dihadapkan pada pilihan dan konsekuensi, antara kemajuan teknologi dan rusaknya tempat hidup. Sementara posisi dan eksistensi diri manusia mulai rapuh dan semakin terasingkan (teralienasi). Tak ubahnya mesin yang dipaksa untuk terus berproduksi, demi kemajuan modernisasi dan industrialisasi. Manusia tak berdaya dan seakan dipaksa menyerah. Dan bahkan kebebasan dan kemerdekaan mereka pun terjerat, semua digambarkannya dalam karya Menyerah (2011) dan The Sick Boy (2011).
Segenap kisah yang disuarakan Rosid bukanlah sekedar potret akan keluh kesah akan chaosnya kacaubalaunya dunia, justru sebaliknya. Melalui karya-karyanya, ia ingin menyematkan keyakinan dan spirit positif bahwa tidak ada kata terlambat untuk mulai melakukan perubahan. Menghargai lingkungan, menghargai pemikiran, dan pengetahuan sejatinya mempunyai tujuan mulia, bagaimana manusia menghargai eksistensi dirinya. Pola pikir dan pandangan materialisme yang selama ini dianut seharusnya menjadi satu cara manusia berfikir tentang eksistensi Tuhannya. Materi (benda, teknologi dan hasil budaya manusia lainnya) adalah alat untuk memahami dan menjelaskan eksistensi sang Pencipta atas manusia. Melalui karya-karyanya, Rosid mengajukan tawaran untuk melihat makna disebalik realita yang ada, menelusuri nomena disebalik fenomena. Ia pegang pandangan idealisme yang teguh bahwa, setiap kejadian adalah sebuah jalan untuk membuka dimensi spiritualitas diri manusia dengan sang Pencipta. Sepenggal pemahaman tentang eksistensi diri manusia, dalam ragam karya dan buah fikirnya.  (Hendra Himawan).

Link berita :






Rememori
Baliho besar terpasang tinggi disamping Gedung Agung Istana Negara Yogyakarta itu seakan membelalakkan mata. Menatap lukisan didalamnya menghantarkan imajinasi tentang memori yang teringat didalamnya. Sebuah catatan sejarah yang mengenang perjuangan pelukis dalam kontribusinya terhadap perjuangan bangsa ini. Sebuah catatan dokumentasi pejuang revolusi terreproduksi secara jelas didalamnya. Kawan-Kawan Revolusi, sebuah lukisan potret dalam satu frame wajah-wajah rekan-rekan pejuang Sudjojono, Bapak Seni Lukis Modern Indonesia[1].Gambar itu sangat menarik, betapa tidak, lukisan Sudjojono ini- diantara sekian banyak lukisan revolusionernya- menjadi satu petanda penting dalam sejarah perjuangan bangsa ini melawan kolonialisme.
Lukisan – lukisan dokumentatif ini menjadi satu penanda penting juga terhadap respiritualisasi para seniman pasca pergolakan Clash 2 di Yogyakarta. Dalam sebuah catatan, selepas perang, seniman banyak yang kembali melukis bunga, perempuan-perempuan dan pemandangan alam, pada saat itu seniman mulai kehilangan semangat untuk menggambarkan semangat revolusioner yang sedang dibangun Sukarno. Gelagat ini ditangkap Sukarno. Kemudian ia memerintahkan para seniman-pada waktu itu seniman SIM tahun 1949- untuk mendokumentasikan kembali pergolakan politik dalam karya-karyanya. Imaji-imaji tentang peperangan dalam memori mereka muncul dalam karya-karya api revolusi, Sudjojono, Hendra Gunawan, Affandi dan kawan-kawan, yang sekarang terpampang megah dalam Istana Negara di Yogyakarta[2]. Gagasan  redokumentasi karya-karya revolusi Sudjojono dan kawan-kawan ini mengacu pada lukisan-lukisan seniman Rusia seperti Vasily Surikov, Victor Vatsenov, Ilya Repin dan lain-lain.
Semangat revolusi dalam lukisan realisme kembali bergolak, mencatat semangat zeitgeist revolusionarisme Sukarno.

Goresan Revolusi
                Soekarno menjadi penyemangat revolusi bagi para seniman pada waktu itu. Bagaimana kedekatannya dengan Jepang pada awal pergolakan Revolusi, telah menggerakkan para seniman untuk berkarya demi perjuangan bangsanya. Kita bisa mencatat bagaimana hasrat yang kuat dari Sukarno dan kawan-kawannya untuk membangun kesenian dan kebudayaan revolusioner Indonesia didukung oleh Letnan Imamura, petinggi Jepang di Indonesia. Inisiasisi ini kemudian diwujudkan dengan bergabungnya seniman-seniman Jepang dan Indonesia. Hingga pada April 1942 (atau 2602 menurut tahun Jepang) persekutuan itu terwujud di Jakarta. Bulan September 1942 terjadilah pameran karya seniman Indonesia-Jepang pertama[3]. Politik kebudayaan yang dibangun Sukarno dengan dengan Jepang, dimulai pada pertengahan bulan Maret 1942. Saat pemerintah Hindia Belanda jatuh ke tangan Jepang, sebuah gerakan simpatik mengalir dari Jepang. Proses pembangunan kesenian dan kebudayaan ditawarkan, suatu hal yang tidak pernah diperhatikan pemerintahan penjajahan Belanda dengan Politik Etis-nya. Semboyan politik Jepang yang didengungkan kala itu adalah Bersatoelah Bangsa Asia. Sementara semboyan yang lebih spesifik, yang di antaranya berkait dengan kebudayaan adalah Ajia-no Ajia atau Asia untuk Asia. Bung Karno merasa bahwa inilah saatnya kesenian Indonesia, sebagai bagian dari kebudayaan Indonesia, bangkit. Untuk itu diperlukan kerja sama antara pemerintah pendudukan Jepang dengan bangsa Indonesia[4].
Semangat besar  Sukarno mendorong seni revolusional muncul sedemikian kuat. Upaya –upaya yang dilakukannya dengan mendekati Jepang dilakukan dengan mendukung  pembangunan Keimin Bunka Shidoso atau Pusat Kebudayaan pada 1 April 1943. Dengan pendirian lembaga ini, Bung Karno sebagai penggerak kemajuan (dan kemerdekaan) bangsa semakin memperoleh peluang untuk bangkit.[5] untuk menggali semangat  nasionalisme  para seniman dengan menempatkan seniman pribumi dalam organisasi tersebut.[6]
Nasionalisme Soekarno juga sangat terlihat akan sikap sentimentalismenya terhadap kesenian dan kebudayaan Barat pada jaman pendududukan Jepang. Hal ini dapat kita cermati dari sikap Sukarno yang tak ingin mendekati komunitas perupa Hindia Belanda yang memusat di gedung Bataviasche Kunstkring, di jalan Heutszboulevard no1 (kini jalan Teuku Umar), Jakarta[7].  Semacam tautan lurus dengan Sudjojono saat menolak pandangan “mooi indie”, Sukarno pada saat itu mencari jiwa zaman bangsanya. Menghantarkan seniman kearah gerbang penyadaran revolusioner bangsanya. Menyemaikan benih nasionalime didada para seniman, meskipun harus dibumbui dengan “persekutuan-persekutuan”![8]

Raba Estetika Soekarno
                Melihat foto Soekarno dengan mengepalkan tangan di depan lukisan Kawan-Kawan Revolusi, menyiratkan bagaimana api revolusi dan nasionalisme begitu menggelora. Bagi setiap orang yang menatap tentulah akan beranggapan bahwa semangat revolusi ini tercermin dalam semua karya koleksinya. Namun ternyata anggapan itu bisa melenceng keliru. Pilihan koleksi karya Soekarno sungguh sangat beragam. Kebanyakan karya koleksinya bertemakan manusia (wanita), landskap, still life, lingkungan dan bunga-bunga. Sementara lukisan yang bertemakan revolusioner justru kurang dari 10%!
                Sebagaimana yang dituturkan oleh Sitor Situmorang, Sukarno menggunakan “paradigma estetik” dalam menilai, tidak piktoral ataupun literal. Pepatah  “A thing is joy forever” yang acapkali di ujarkan oleh beliau agaknya menjadi prinsip penilaiannya, sebuah pepatah yang berartikan keindahan adalah sesuatu yang kekal. Bagi Sukarno, teknik menjadi satu pertimbangan penting dalam menilai presentasi sebuah karya. Karena teknik yang digubah dengan apapun akan menghadirkan keindahan.
                Dalam pandangan Guruh Sukarno Putro, bagi orang yang berpandangan sempit dan hiperbolik, tentu lukisan-lukisan Soekarno lebih banyak dikaitkan dengan gelora revolusi, namun karya-karya bertema “revolusi “ itu tidak serta merta dikaitkan dengan visi estetik pribadi Sukarno. Semuanya lebih dikaitkan dengan konteksnya, situasi dan kondisi Negara pada saat itu.
                Berkaca dari pandangan ini, potret Sukarno didepan lukisan Sudjojono, Kawan-Kawan Revolusi, merupakan sebuah sistem untuk membangun apresiasi public akan visi estetik revolusioner yang gencar dikumandangkannya. Sukarno memainkan peran bagaimana nasionalisme itu harus ditumbuhkan. Dan salah satu cara yang digunakan adalah dengan membuat simbolisasi, redokumentasi memori, membekukan ingatan untuk melawan lupa. Potret ini tidak bisa menidentikkan gelora yang terpancar dari dalam semanagtnya, bahwa revolusi kebudayaan harus bejalan seiring, mendukung revolusi perjuangan. Dan visi estetiknya terhadap eksotika negerinya (perempuan, keindahan alam dsb), tiada lain merupakan ekstase nasionalisme pribadi yang jauh  dari hiruk pikuk genderang revolusi.      
                Namun Sukarno yakin, bahwa seniman adalah agen perubahan dinamika kehidupan Negara. Sejarah mencatat hanya pada pemerintahan Sukarno lah, seniman bebas keluar masuk istana. Baginya, mengatur politik harus melibatkan seniman, mengatur diplomasi harus melibatkan seniman hingga mengatur tata kota pun harus melibatkan seniman. Lagi-lagi sejarah mencatat bahwa Henk Ngantung pernah diangkat menjabat sebagai Gubernur Jakarta[9].
                Disinilah sebuah catatan menarik, seni akan dimaknai dalam konteksnya masing-masing.
Bersandar Di Samping Kawan-Kawan Revolusi
                Sukarno berdiri tepat disamping lukisan itu. Rautan penuh gelora memancar dari mukanya, menyiratkan dia adalah bagian dari Kawan-Kawan Revolusi. Tangannya yang menggenggam erat seakan menahbiskan semangat keyakinan, bahwa seniman adalah pengikat memori sejarah bangsanya, seniman adalah perekam jejak patriotik para pejuangnya, dan seniman adalah pengingat nilai revolusioner bagi rakyatnya.

                Memandang bagaimana Sukarno begitu kuatnya mengekspresikan semangat itu, saya merasakan bagaimana Kawan-Kawan Revolusi menjadi catatan bagaimana sang pemimpin besar Revolusi membangunkan kepercayaan bahwa ada nasionalisme yang akan terus tumbuh, akan terus diingat, akan terus digelorakan oleh para seniman. Ia menjadi jiwa jaman, menjadi penerus gelora Kwan-Kawan Revolusi.





[1] Menyatakan Sudjojono sebagai Bapak Seni Lukis Modern Indonesia kiranya bukan sesuatu yang perlu diperdebatkan meskipun asumsi-ini masih belum teruji dalam historiografi seni rupa kita.
[2] Pada awalnya lukisan-lukisan ini terpampang di Istana Merdeka Jakarta, namun sekarang dipindahkan ke Istana Negara Yogyakarta.
[3] Agus Darmawan T dalam Bukit Bukit Perhatian, Penerbit Gramedia, Jakarta.
[4] Henri Cartier Bresson dalam Harian Suara Pembaruan Online.
[5] Adapun pendirian lembaga itu tertulis demikian, sebagaimana dimuat dalam pemberitaan majalah Djawa Baroe, no.3, tahun 2603, Jakarta. “Sedjak 1 April 2603, di Djakarta, Poesat Keboedajaan atau Keimin Boenka Shidosho, didirikan sebagai satoe tjabang loear Goensei Kanboe Sendehoe, dikepalai oleh seorang Tjo; dan terbagi dalam 5 bahagian: Bhg. Loekisan dan Oekiran, dengan anggota badan pimpinannja: T.Kohno. Bhg.Kesoesastraan, dengan anggota badan pimpinannja: Takeda. Bhg.Moesik, dengan anggota badan pimpinannja: N.Lida. Bhg.Sandiwara dan tari menari, dengan anggota pimpinannja, K.Yasoeda. Bhg, Film, dengan anggota badan pimpinannja: Soichi Oja.” Lihat dalam Agus Darmawan T dalam Bukit Bukit Perhatian, Penerbit Gramedia, Jakarta.
[6] Keimin Bunka Sidosho no.2, 26 Desember 2603, muncul nama RM Soebanto Soerjosoebandrio, Setioso, Emiria Soenasa, GA Soekirno, Mohamad Saleh, S Toetoer, Soerono, Abdul Salam dan Sastradiwirja. Para bumiputera ini diangkat sebagai asisten pemimpin Badan Pemeliharaan Seni Rupa Keimin Bunka Shidosho Jakarta. Para pemimpin yang dimaksud adalah Saseo Ono, T Kohno, Yasioka dan Yamamoto, yang semuanya keluaran akademi seni rupa Jepang. Masuknya nama-nama nasionalis itu didasari prinsip asimilasi antar organisasi. Karena Bung Karno merasa bahwa beberapa saat sebelum hadirnya Keimin Bunka Sidosho, di Jakarta telah berdiri lebih dahulu Poetera atau Poesat Tenaga Rakjat. Poetera dibentuk oleh "Empat Serangkai" Mohamad Hatta, Ki Hadjar Dewantara, KH Mas Mansyur dan Bung Karno sendiri pada bulan Maret 1943.  Di dalam Poetera, ada seksi kebudayaan yang mengurusi seni rupa Indonesia, dengan Dullah, Sudjojono, Agus Djaya, Basoeki Abdullah sebagai tokoh dan pelatihnya. Persekutuan perupa Indonesia - Jepang ini mendatangkan kegairahan yang luar biasa bagi dunia seni rupa Indonesia. Lalu pameran-pameran pun banyak diadakan. Sejak Jepang menduduki Indonesia sampai dengan April 1944, ada 14 acara pameran terselenggara. Bahkan di gedung Keimin Bunka Sidosho yang terletak di jalan Noordwijk (kini jalan Juanda) 39 Jakarta, terselenggara pergelaran Tenno Heika: Techo-setsu, atau pameran peringatan ulang tahun Kaisar Jepang. Di sana, karya 60 pelukis Indonesia dipajang, dan ditonton oleh 11.000 orang dalam 10 hari! Bahkan pemerintah Jepang membeli 9 lukisan untuk diikutkan dalam pameran keliling Asia Timur Raya. Bedakan kenyataan ini dengan situasi seni rupa Indonesia pada zaman kolonial Belanda.

[8] Ada sebuah pembahasan yang menarik tentang Sukarno dalam persekutuannya dengan Jepang. penggunaan kata persekutuan ini lebih dititik beratkan pada hubungan-hubungan kerjasama yang dipererat dengan hubungan yang lebih personal. Sukarno mengawini Naoko Nemoto, seorang gadis Jepang, pada 3 Maret 1962. Naoko, kelahiran Tokyo 6 Februari 1940 adalah gadis cantik yang ingin jadi pelukis. Ia juga bercita-cita menjadi pengarang dan kritikus sastra. Ia pun suka menyanyi serta menari klasik Jepang. Bahkan bermain drama pada perkumpulan Sishere Hayakama Art Production di Tokyo. Bung Karno pertama kali berjumpa dengan Naoko di Hotel Imperial Tokyo. Kecantikan Naoko memekarkan cintanya. Namun lebih dari segalanya, hasrat dan keleburan Naoko kepada senilah yang menjerat hati Sukarno. Pada hari-hari selanjutnya, Naoko Nemoto diberi nama baru oleh Bung Karno: Ratna Sari Dewi. Bung Karno yang senang melukis, dan Ratna Sari Dewi yang sangat apresiatif kepada seni rupa, membawa mereka berjalan di koridor lain. Menurut Dullah dan Lim Wasim (para pelukis Istana Presiden), pada tahun 1964, Ratna Sari Dewi melakukan lobi-lobi di Jepang. Hasilnya, sebagian koleksi Bung Karno yang dibukukan dicetak oleh Percetakan Toppan,Tokyo. Buku monumental ini revisi dan wujud baru dari buku koleksi Bung Karno sebelumnya yang dicetak di Tiongkok.

[9] Agus Darmawan T dalam Bukit Bukit Perhatian, Penerbit Gramedia, Jakarta.

Aku, Sukarno dan Kawan-Kawan Revolusi

Posted on

Sabtu, 12 Mei 2012

Category

,


Oleh : Hendra Himawan. S. Sn *



Kesenian merupakan salah satu cerminan dari tiang pancang kebudayaan yang  wajib hadir dalam sebuah peradaban. Berjalin pidan dengan pendidikan, kesenian menjadi satu pilar yang mengangkat harkat dan keberadaban sebuah masyarakat. Berbincang tentang wacana revolusi budaya yang dicanangkan oleh Pemerintah Kota sebagai sebuah misi pencitraan Solo Kota Budaya yang hingga kini masih belum menyentuh dimensi esensial dan cenderung hanya dinisbatkan sebagai  serum investasi capital, sesungguhnya ranah kesenian dengan pendidikan seninya menjadi sebuah kanon penting untuk melihat sejauh mana kemampuan  yang dimiliki  oleh jaringan sosial kebudayaan (pemerintah, elemen masyarakat dan institusi pendidikan seni) melakukan aksi membangun atmosfer berbudaya. 
Seni rupa adalah salah satu cabang kesenian yang tumbuh dan berkembang di kota budaya ini. Beragam even pameran sering diadakan dalam rangka memberi ruang apresiasi sekaligus edukasi  kepada publik yang lebih luas. Namun andaikan kita cermati, sesungguhnya perkembangan seni rupa kita mendapatkan porsi perhatian yang masih sangat kurang. Hal ini dapat kita lihat dari gaung perhelatan maupun pewacanaan seni rupa kita yang masih jauh dibandingkan dengan ruang seni pertunjukan yang telah menjadi ikon kota Solo. Patut disayangkan jika kita melihat begitu banyak potensi dan modal kultural yang telah dimiliki kurang begitu dimanfaatkan keberadaannya. Dan andai dikaitkan dengan konteks kebudayaan diatas, tentunyalah institusi pendidikan, khususnya pendidikan seni rupa, menjadi ujung tombak  dalam membangun laju perkembangan dunia seni rupa kita.
Institusi pendidikan (baik tinggi maupun menengah) seni rupa merupakan pilar penting dalam menyangga medan sosial seni rupa. Institusi pendidikan seni menjadi center of knowledge bidang kesenian, dimana di dalamnya tumbuh gerak kreasi, penciptaan karya, pengkajian seni hingga pewacaan seni rupa yang mampu memberikan ruang interpretative membangun dan mengembangkan seni rupa kepada masyarakat luas. Namun sejauh ini institusi pendidikan seni  (rupa) kita masih terlihat berdiri dalam diam, bersifat ‘dingin’ terhadap wacana kesenian, bahkan mungkin di institusinya masing-masing. Andaikata di persilahkan untuk menggerakkan laju seni rupa dalam lingkup yang lebih luas, mungkin seni rupa kita akan melaju dengan pesat, namun senyatanya seni rupa kita masih terkesan adhem ayem saja. Sesungguhnya apa yang sedang terjadi dengan pendidikan seni rupa kita sehingga gaungnya masih sebatas ruang kelas dan kurikulum-kurikulum yang cenderung literer dari tahun ke tahun? Apakah wacana pemikiran seni rupa masih membeku dalam teori-teori dan  buku-buku baku saja?
Paradigma pendidikan seni sewajarnya harus terus menerapkan pola-pola pengembangan diri, terus menerus melakukan inovasi, baik dari kurikulum, materi pendidikan maupun aktualisasi pengetahuan. Pengembangan etika akademik harus dilakukan dengan mengoptimalkan segenap modal kultural (meliputi pendidikan, intelektualitas, keterampilan, dan keahlian) yang telah dimiliki oleh civitas akademikanya. Sesungguhnya institusi pendidikan seni merupakan muara bagi modal kultural ini. Mahasiswa mendapatkan wacana, pengetahuan dan keahlian sebagai modal kultural dalam menciptakan sebuah karya seni. Logikanya andaikata modal kultural ini terpenuhi dengan baik, maka akan tumbuh suasana intelektualitas yang progresif dan kritis, sekaligus lahir karya-karya seni yang menggugah dan apresiatif. Dialektika kreatif harus terus diasah agar para mahasiswa seni rupa tidak lagi terbelenggu pada bangku-bangku teori lama dan praktek-praktek kesenian yang (masih) konvensional dan konservatif serta mampu untuk mengaktualisasikan diri dalam ranah wacana maupun penciptaan karya yang lebih uptodate.
Institusi pendidikan seni juga dituntut untuk mampu menghadirkan habitus yang kokoh dalam pola pendidikan dan lingkungan akademisnya, sekaligus mampu menciptakan ruang ilmiah yang kritis dan progresif dalam wilayah kreatif para dosen dan mahasiswanya. Meminjam istilah Pierre Bourdieu, konsep habitus adalah hasil keterampilan yang menjadi tindakan praktis (yang tidaklah harus selalu disadari) yang kemudian diterjemahkan kedalam suatu kemampuan yang alamiah dan berkembang dalam lingkungan social tertentu. Konsep habitus ini menjelaskan bahwa keterampilan individu dalam memperoleh kekuasaan dalam sebuah medan sosial ditentukan oleh lingkungannya. Dalam hal ini dapat kita asosiasikan dengan lingkungan akademisnya.
Institusi pendidikan seni kita sudah saatnya membangun pola pendidikannya dalam suatu sistem habitus yang kokoh, sehingga mampu menciptakan ruang ilmiah yang kritis dan progresif. Sebuah sistem yang kuat, yang tidak akan mudah digoyang dengan permakluman dalih rentang waktu studi yang relatif pendek. Dengannya akan terbangun sebuah ruang  yang kondusif bagi dialektika kreatif  yang akan berujung pada ekselensia seni rupa kita. Maka dapat dipastikan pula bahwa produk-produk intelektualitas dari sistem ini akan melahirkan pemikiran-pemikiran yang progresif dan menggugah. Persoalan kemudian bahwa sistem ini membutuhkan ahli-ahli yang memungkinkan sistem ini bekerja dengan baik, adalah sebuah pekerjaan rumah bagi kita untuk menakar kembali “kontekstualitas” kemampuan diri kita akan paradigma kesenian yang sedang berkembang.
Selain membangun iklim intelektualitas yang  kreatif dan kondusif bagi proses akademik institusi pendidikan seni harus mampu menyiapkan kurikulum yang mampu mendidik dan membekali  para mahasiswanya menjadi Integrated Professional Artist (seniman yang terintegrasi secara professional), dimana mahasiswa mempunyai kemampuan teknik (technical ability), kecakapan sosial (social skill) yang baik, berikut perangkat-perangkat konseptual (skill of conceptual) dalam membangun idealism berkeseniannya. Disamping itu pula mahasiswa juga dibekali dengan kesadaran intelektual untuk memahami konvensi-konvensi berikut kontekstualitas perkembangan kebudayaannya.
Kecakapan teknik (technical ability) yang diajarkan tentunya merupakan kecakapan dasar yang harus dikuasai oleh masing-masing mahasiswa. Dimulai dari bagaimana menemukan ide, mengolah gagasan, kemudian mengeksekusinya dalam sebuah karya seni yang menuntut kerajinan tangan seniman, hingga mekanisme diseminasi atau penyebarluasan karya agar dapat diapresiasi dengan baik oleh publik. Kemampuan konseptual (skill of conceptual) wajib di ajarkan dan dimiliki oleh para mahasiswa dalam membangun idealism berkarya dan berkeseniannya. Hal ini dimaksudkan agar terlahir karya-karya seni yang progresif, tidak konservatif, kaya akan wacana pemikiran, sarat dengan muatan estetik dan mampu menjiwai zamannya (zeitgeist), dalam atmosphere lokalitas maupun jiwa sphere internasional. Sedangkan kecakapan sosial (social skill) harus dimiliki oleh para mahasiswa agar mereka mempunyai kepekaan sosial terhadap lingkungan dan fenomena disekitarnya, agar karya-karya yang mereka hasilkan mempunyai daya gugah terhadap masyarakatnya. Para mahasiswa mampu mempresentasikan proses kreatif yang telah dijalani kepada publik seni rupa yang lebih luas, hingga tercipta sirkulasi intelektual (wacana dan estetika) di dalamnya. Bagaimana para mahasiswa mampu memposisikan diri dalam jejaring sosial seni rupanya secara optimal, melakukan proses intermediasi dalam medan yang lebih komplek,  bersinergi membangun iklim kesenian yang kondusif dan progresif.
Dengan mengoptimalkan segenap potensi maupun langkah strategis dalam ranah akademik yang telah dimiliki, diharapkan institusi pendidikan seni kita mampu  menjadi garda depan perkembangan seni rupa di kota kita tercinta. Dengannya pula diharapkan setiap institusi pendidikan seni mampu terus menerus meningkatkan kompetensi yang dimiliki demi terciptanya iklim akademik yang progresif dan kontributif. Menjunjung tinggi nilai-nilai ilmiah, etika berikut estetika yang dimiliki,  menjaga standar profesionalitas dan standar kualitas akademik , adalah sekian nilai yang harus terus  dijaga oleh institusi pendidikan seni dalam mencetak  seniman  professional yang mampu menghargai aspek etika profesi sebagai pencipta maupun pengkaji seni rupa yang kreatif, inovatif dan professional, yang mampu dipertanggungjawabkan secara etik, moral, kepentingan masyarakat dan akademik dalam kontek kebudayaan global. Nilai-nilai penting ini pulalah yang  harus menjadi landasan bagi pembuatan kebijakan akademik dan terus dikembangkan melalui berbagai instrumen serta dilaksanakan secara komprehensif beserta jaminan mutu, pemantauan dan evaluasinya sehingga menjadi budaya kreatif di lingkungan institusi pendidikan seni  dan yang lebih luas lagi, seni rupa Kota Solo.
*) Penulis adalah masyarakat seni rupa Surakarta, Mahasiswa Pascasarjana ISI Yogyakarta.