2011


               
Hendra Himawan, M.Sn

M

eminjam istilah dalam struktur bahasa, dalam sebuah even pameran seni rupa sesungguhnya terdapat jalinan antara ‘subjek’ dan ‘objek’. Subjek dalam konteks ini adalah mereka yang berbicara dalam ranah presentasi wacana, yakni seniman dan kurator (atau penulis) pameran tersebut. Sebagai subjek, mereka mempunyai porsi aktif dalam menghadirkan gagasan dan mengusung wacana. Sedangkan yang menjadi objek adalah karya seni dan audiens. Mereka menjadi bagian pasif yang menerima lontaran wacana.
Sebagai subjek yang aktif dalam sebuah pameran, seniman ‘seakan’ hanya mempunyai tanggung jawab untuk mewacanakan gagasan melalui sebuah karya. Ia hanya berkomunikasi dengan audiens melalui karyanya. Saat even presentasi karya digelar (pameran), seniman ‘seolah’ serta merta berubah menjadi subjek yang diam, tidak ubahnya karya ciptaannya yang terpajang. Sementara itu, kurator mampu bergerak melintaskan gagasan, antara seniman dengan karya dan audiens yang mengapresiasi karya tersebut.
Dikarenakan porsinya yang lebih itu, yang kemudian terjadi adalah beban pewacanaan seringkali hanya ‘ditimpakan’ kepada kurator. Kurator seakan mempunyai kewenangan tunggal untuk mewacanakan suara seniman, yang senyatanya adalah subjek utama dalam sebuah pameran. Audiens pun akan merujuk apresiasinya berdasarkan bingkai-bingkai pembacaan kurator. Disinilah kemudian kesenjangan itu terjadi. Dalam beberapa catatan kuratorial misalnya, kurator lebih banyak bersikap sebagai pembaca dan apresiator atas karya si seniman, bingkai wacana yang diusung pun lebih berdasarkan pada perspektif dan anggapan personal. Jarang ada yang mampu mendedah pemikiran dan gagasan yang diusung oleh seniman secara mendalam.

Speak of dan Speak For: Dialektika Seniman dan Kurator
Konsep speak of dan speak for yang digunakan dalam tulisan ini meminjam terminologi dari kajian poskolonial, khususnya tentang posisi subjek (penjajah) dengan objek (penduduk koloni). Sebagai dasar pembicaraan, ada baiknya melihat terlebih dahulu tentang teori poskolonial dari Edward Said dalam buku “Orientalisme”. Penjajah selalu diposisikan sebagai subjek sekaligus Sang Diri (the self). Sebaliknya, penduduk koloni atau negara jajahan adalah objek yang dengan demikian menjadi Sang Liyan (the others). Dalam dialektika antar keduanya, terjadi sebuah keadaan yang tidak dapat terelakkan, yakni proses memandang-dipandang. Sang Diri akan memandang objek, terutama karena mereka merasa memiliki kuasa lebih, sedangkan Sang Liyan secara otomatis akan merasa dipandang dan inferior.
Lebih jauh lagi, teori ini direspon oleh berbagai ilmuwan dan sejarawan khususnya dari negara-negara bekas jajahan, salah satunya adalah Gayatri Spivak lewat karya Can Subaltern Speak. Tulisan yang dibuatnya lebih dari 20 tahun yang lalu mengenai posisi para subaltern atau orang yang tertindas (dalam hal ini adalah penduduk negara koloni atau bekas jajahan). Ia memperkenalkan terminologi speak of yang berarti bahwa suara-suara subaltern biasanya tidak dihadirkan secara langsung, tetapi sebaliknya justru mereka ‘diwakili’ oleh para intelektual negara jajahan (atau juga bisa disebut sebagai para subjek) dan menghasilkan sebuah tulisan yang sekadar speak for.
Jika dikaitkan dengan sebuah pameran, maka speak of dan speak for adalah sebuah proses dialektika yang akan selalu terjadi. Sang seniman yang melakukan speak of, dan kurator yang akan melakukan speak for. Meskipun demikian, penting untuk digarisbawahi, sebelum melanjutkan pada pembahasan selanjutnya, bahwa seniman dan kurator tidak lantas disejajarkan sebagai penjajah dan atau yang terjajah. Terminologi tersebut dipinjam karena dianggap mampu mewakili sebuah tindakan yang lazim dilakukan dalam proses penciptaan karya dan even pameran. Speak of di sini adalah sebuah proses di mana seniman bersuara seperti apa adanya. Mereka berbicara secara apa adanya mengenai karya, konsep, idealisme yang tersimpan, dan bahkan harapan apa yang mereka ingin lihat dari audiens setelah melihat karya mereka. Sedangkan  kurator melakukan speak for ketika mereka mewakili suara seniman untuk berbicara pada audiens lewat tulisan kurasi mereka.
Dalam kenyataannya, proses tersebut tidak lantas berjalan dengan seimbang dan lancar. Maksudnya, tidak jarang dijumpai seniman yang tidak puas terhadap hasil kurasi karya, walaupun kurator sudah mendampingi selama proses penciptaan karya. Apa lacur, ternyata tulisan kurasi seringkali hanya menyandarkan diri pada pembacaan harafiah atas karya yang dibumbui teori-teori sosial, seni, dan budaya semata. Pada satu sisi, hal tersebut memberi nilai tambah pada proses pewacanaan. Tapi di sisi lain, justru kadang seniman merasa bahwa hal semacam itu tidak mengupas karya sebagaimana yang mereka inginkan.
Oleh karena itulah, proses kurasi ini menawarkan sebuah alternatif ruang agar seniman tidak hanya diwakili dalam proses pewacanaan oleh kurator saja. Sudah saatnya mereka ikut berbicara, speak of atas karya mereka, agar audiens juga tahu apa yang sebenarnya dimaksud oleh seniman dalam karyanya. Ada energi apa yang ingin dibagi, dan ada imajinasi apa yang ingin disampaikan.

Curating as an Ethnographical Work: Sebuah Tawaran
                Proses kerja kuratorial sebenarnya tidak jauh berbeda dengan proses kerja seorang etnografer. Dalam ilmu sosial, etnografi merupakan salah satu metode penelitian berbasis partisipasi-observasi yang bertujuan untuk mengambil data kualitatif. Secara harafiah, etnografi adalah sebuah tulisan atau laporan mengenai satu suku bangsa  tertentu yang ditulis oleh seorang antropolog atas hasil penelitian lapangan (field work) selama kurun waktu tertentu yang telah ditetapkan. Dengan partisipasi aktif ke dalam masyarakat serta in-depth interview yang mereka lakukan, seorang etnografer akan mendapat data yang akurat mengenai kondisi masyarakat di sana. Ia tidak hanya akan menyajikan sebuah laporan etnografi atas hasil rekaan semata.
Projek yang akan digarap adalah bagaimana melakukan proses  pencatatan, perekaman dan dokumentasi atas proses kreatif yang dilakukan seniman secara utuh. Hal tersebut muncul dengan berpijak pada pentingnya suara seniman dalam sebuah pameran dan esensi dari mekanisme kerja kuratorial, yang mampu menghadirkan proses kreatif dari seniman mulai dari awal hingga akhir. Mulai dari merumuskan gagasan, perihal teknis penciptaan karya, strategi presentasi, hingga siasat dalam merebut ruang apresiasi publik.
Di sini kurator akan menerapkan prinsip kerja selayaknya etnografer di mana kurator akan terlibat secara intens dengan seniman agar dapat memahami benar konteks-konteks sosial yang berpengaruh dalam setiap proses kreatif seniman. Yang membuatnya berbeda dengan kerja etnografi, dan sekaligus penting untuk digarisbawahi adalah, sajian etnografi à la kurator tidak akan sepenuhnya ditampilkan atas pandangan sepihak dari kurator. Ia akan memberikan ruang otoritas penuh kepada seniman dalam karyanya.
  Data-data dokumentasi menjadi bagian yang sangat penting dalam mekanisme kerja ini. Seniman akan menyuarakan gagasan-gagasan yang melandasi setiap karya yang diciptakannya. Catatan dokumentasi akan menjadi bahan utama sekaligus rambu-rambu objektivitas kerja kurator dalam melihat proses kerja seniman. Dengan metode kerja etnografi ini diharapkan mekanisme kerja kurasi mampu mendedah sisi-sisi lain dari seniman yang terkadang jarang diungkapkan. Kurator akan mampu membingkai wacana yang diusung seniman secara objektif dan mampu memberikan nilai lebih atas proses kreatif dan karya seniman. Dengan metode kurasi seperti ini diharapkan audiens mampu memahami maksud seniman, imajinasi seniman serta gagasan yang ingin ditawarkannya, sehingga audiens mampu untuk memberikan apresiasi yang baik tanpa kehilangan sikap kritis, sekecil apapun pencapaian seniman.


Hendra Himawan, M. Sn

Hendra Himawan, M.Sn


There is no abstract art ! You must always start with something.
Afterward you can remove all traces of reality.
 There is no danger then, anyway, because the idea of the
object will have left an indelible mark.

Pablo Picasso (1881 - 1973)
Spanish painter and sculptor


Di hadapan kita tergelar kanvas dengan warna-warna yang menyala. Garis-garis tegas dengan brushstroke yang kuat mengungkap ekspresi diri yang dalam. Figur binatang yang menjadi pokok perupaan berbalut dengan percikan warna dan tekstur berkerak, berkesan rapuh. Kisah-kisah pembantaian atas binatang menjadi narasi konseptual yang diusungnya. Inilah karya Cokorda Bagus Wiratmaja (Coky). Sebuah reaksi diri atas rusaknya alam dan ekologi. Abstraksi menjadi pilihan penting dalam mengungkapkan segenap empati. Abstraksi, hadir sebagai jalan baru dalam laku kreatifnya kali ini.

Empati dan Abstraksi : Jalan Estetika

“Just as urge to empathy as a pre-asumption of aesthetic experience finds its gratification in the beauty of the organic, so the urge to abstraction finds its beauty in the life -denying inorganic, in the crystalline or in general terms, in the abstract law and necesity” (Willhelm Worringer, 1907).
Seratus tahun yang lalu, pada 1906, Willhelm Worringer seorang sejarawan seni di University of Bern, Switzerland mengajukan disertasinya yang berjudul “Abstraktion und Einfuhlung (Abstraksi dan Empati)” kepada Heinrich Wolflin, George Simmel dan Arthur Wesse. Tesis utama dalam essay ini adalah sebuah pendekatan baru dalam memahami estetika yang merepresentasikan jalan yang berbeda untuk menemukan realitas di sebalik kanvas. Gagasan Worringer berawal dari pernyataan bahwa keindahan datang dari perasaan diri yang mampu menuntun kita mengidentifikasi diri dengan dunia luar dan objek itu sendiri. Ia berpendapat bahwa seni representasional lahir dari “objektivitas yang terpancar dari dalam diri kita”, cerminan dari sebuah keyakinan dan kepercayaan diri, sebagaimana yang  diyakini para seniman masa Renaissance. Sensitifitas diri seniman dan upaya untuk memahami natur secara lebih emosional adalah ‘konsep Empati’ yang diajukan Worringer sebagai tesisnya. Dan tesis  ini menjadi produk intelektual yang penting dan berpengaruh dalam teori estetik di akhir abad ke 19. Abad di mana romantisisme dan sentimentalitas hadir memberikan penekanan atas beragam upaya kultural yang hadir secara sensitif, emotik dan acuan pemaknaan yang lebih atas lingkungan sosial di sekitarnya.
                Menarik konsep Empati ke dalam proses kreatif Coky, kita akan menemukan garis merah yang kuat. Betapa tidak, ia mendasarkan seluruh narasi tematik karya-karyanya dari perlakuan manusia atas binatang-binatang yang seharusnya dilindungi. Bagaimana perburuan dilakukan dengan dalih komoditas dianggap sebagai sebuah kewajaran. Potret keji pembantaian binatang seolah paradoks dengan teriakan kemanusiaan yang seringkali terdengar. Coky sering bercerita bagaimana ia miris melihat seekor gajah yang dibantai sekedar diambil gadingnya, ataupun anjing pittbull yang dipotong telinganya agar terkesan garang. Andaikan itu dilakukan pada manusia, apa jadinya?
Ungkapan Coky ini, adalah sebuah landasan sikap empati yang tinggi. Understanding another’s feelings, upaya yang dilakukannya untuk mengerti dan memahami lebih dalam tentang alamnya. Bagaimana kerusakannya hingga bagaimana amuk murkanya.  Dari empatinya ini lahir pula kesadaran baru untuk memahami konteks diri dengan alam dan lingkungannya. Ada ikatan yang senyatanya tidak terlepaskan. Jauh dari perkara mengeksploitasi atau memanfaatkan potensi, bagi Coky, alam telah menjadi entitas psikis yang hadir kuat dalam hidup dan kekaryaannya. Empati sebagai nalar estetika, telah menuntunnya mengidentifikasi diri dengan dunia luar, memaknainya lebih dalam, dan menghadirkannya dalam objek yang berkarakter. Sensitifitas diri tercerna kuat dalam karya-karyanya.  Empati muncul bukan sekedar dorongan konseptual dan narasi dasar, namun terlampiaskan secara kuat dalam kanvas. Attribution of feeling to an object, segenap perasaan diri dan emosi, dituangkannya dalam warna dan object yang menggugah. Ada gairah (passion) dan keharuan (affection) yang berpadu disana.
Merunut kembali konsep empati yang ditawarkan Worringer dalam kajian estetikanya, konsep ini tidaklah sekedar menilik upaya-upaya yang mendorong perasaan seniman berempati atas sesuatu, namun lebih jauh dari itu, empati mampu mendorong seniman untuk “mengabstraksi”. Sebagai contoh dorongan murni untuk mengabstraksi ini dapat kita temui dalam ekspresi seni Mesir Kuno, seni Bizantium, seni Islam, seni tradisional dan primitif, hingga ekspresionisme dalam sejarah seni rupa modern. Inilah yang diajukan Worringer selanjutnya, abstraksi hadir sebagai jalan baru untuk meretas realita dunia luar. Abstraksi hadir sebagai “reaksi atas sesuatu yang menakutkan” berikut “aspek kekhawatiran terhadap realitas”. Dualitas reaksi estetik, ini menurut Worringer dapat digunakan untuk menjelaskan variabel gaya dalam sejarah seni. Dalam periode sejarah yang gelisah dan tidak menentu, seniman banyak mencari objek-objek abstrak dari kelemahan diri dan tampilan yang samar, dan menstranformasikannya dalam sesuatu yang nyata, absolut, satu bentuk ikatan transenden.
Istilah ‘abstraksi’, memang istilah yang seringkali labil. Beragam penjelasan selalu merujuk pada bentuk, padahal senyatanya ‘abstraksi’ lebih merujuk pada ‘dimensi proses’. Secara definitif ia merupakan gagasan general atau konsepsi yang dibangun atas beragam teori yang berpijak pada gejala atau peristiwa yang kongkret. ‘Abstraksi’ juga  identik dengan ‘konseptualisasi’, sebuah proses filsafati  yang dilakukan oleh seseorang untuk membangun konsep diri berdasarkan pada pengalaman atau dari konsep lain yang telah dibangun. Ada mekanisme identifikasi diri dan pola pikir lateral yang diupayakan hadir. Jadi, persoalan abstraksi bukan sekedar perkara menyederhanakan bentuk atau latar peristiwa yang diamati, namun lebih jauh, ‘abstraksi’ adalah persoalan ideologis. Ada spirit estetik yang menjadi landasan dalam membangun visual. Ada cara pandang lain yang diupayakan seniman sebagai sebuah strategi perupaan.
Melihat ke dalam kanvas Coky, abstraksi atas objek-objek yang dilukisnya hadir dari buah empati diri. Ia adalah reaksi atas rasa iba yang mendalam kala melihat pembantaian binatang,  ada kekhawatiran yang berkecamuk saat ekosistem itu pelan menghilang. Realita banal manusia mengeksploitasi alam, telah membangkitkan rasa haru. Proses filtrasi, ekstraksi dan penghayatan atas peristiwa yang dijumpainya berbumbu ‘ketidaktegaanya’ mengungkapkan peristiwa secara lugas, merujuknya untuk mengungkapkan gagasan visual dengan abstraksi. Ia mengungkapkan kekejian yang terjadi dengan visualitas yang ‘santun’, tanpa kehilangan greget dan taksu. Intensitas peristiwa dan momen empatik dihadirkannya dalam tensi yang kuat, melalui garis-garis yang ekspresif serta warna yang kuat dan mahal. Melalui abstraksi yang dihadirkannya, kita dapat melihat bagaimana Coky mengidentifikasi diri dalam membaca realitas di sekitarnya. Dengan abstraksi ia kemukakan pandangannya. Tidak linier, pun tidak mengawang. Abstraksinya hadir murni dari realitas yang dimaknai secara lugas, dihadirkannya secara matang dan tetap berdasar pada identifikasi dasar objek, bukan simbolisme yang mengarah pada abstrak murni  yang terkadang sulit dipahami. Objeknya masih bisa terbaca dengan baik. Nalar visual yang digunakan pun mampu mewakili nalar konseptualnya. Ia hadirkan sisi esensial dari narasi yang ingin diungkapkannya.
Abstraksi memang menjadi sebuah gejala dan referensi yang banyak digunakan dalam seni modern Barat, meskipun abstraksi biasa dijumpai dalam seni-seni kuno dan dalam produk artistik beragam kebudayaan. Seni abstrak hadir dari identifikasi dan pengenalan atas objek, kemudian seniman menyederhanakannya untuk menunjukkan hal esensial yang hadir dari sebuah objek. Kubisme adalah contohnya. Salah satu genre seni rupa yang berpijak pada abstraksi atas lukisan-lukisan  still life. Kubisme lahir pada tahun 1907, dimana ia mengancang reaksi pada pandangan impressionism dan postimpressionime tentang objek representasional. Picasso (1881-1973) secara frontal menginterpretasi pandangan Cezanne melalui Demoiselles d'Avignon (1907, Museum of Modern Art, New York City), dan George Brague (1882-1963) melalui Houses at L'Estaque (1908, Kunstmuseum, Bern, Switzerland), melalui pencarian intensitas artistik dari patung-patung primitif Afrika dan Iberia, yang merupakan hasil dari abstraksi bentuk-bentuk alam secara geometrik.
Non objektif atau seni nonrepresentasional hadir sebagai fase berikut dari abstraksi dimana referensi-referensi untuk mengidentifikasi objek kemudian dieliminir. Ia tidak akan berpijak lagi pada struktur dasar objek ataupun referensi atas hadirnya objek. Abad ke 20 menjadi era radikal, dimana dalam perspektif seni modern Barat, mulai mengabaikan segenap referensi untuk mengidentifikasi objek. Abstraksi, kemudian hadir murni dalam beragam pendekatan artistik. Mulai dari ritme dinamis Pollock dalam karya Black and White, sudut-sudut geometrik dari Composition with Red, Yellow, and Blue (1937-1942, Tate Gallery, London) karya Piet Mondrian, dimana garis dan bidang persegi yang dibuat mengesankan presisi mekanis dari pembuatan mesin. Hingga seniman German Kurt Schwitters, yang mencampuradukkan koran bekas, stempel dan objek-objek temuan  dalam Picture with Light Center (1919, Museum of Modern Art, New York City).

Figurasi dan Abstraksi Gestural : Jalan Visual

                Dulu ia dikenal identik dengan lukisan ikan. Arwana dan piranha adalah objek yang sering berenang dalam kanvasnya. Gerak ikan yang dinamis berikut warna-warna yang menyala menjadi ciri khas tersendiri.  Pemahamannya akan objek ikan, mulai dari bentuk, gerak, hingga detail-detail anatomi seakan telah mendarah dalam laku kreatifnya. Ia hafal betul gestur ikan saat berenang maupun melompat. Identifikasi akan objek yang secara cermat dilakukan menjadi kekuatan tersendiri dalam proses penciptaan karyanya. Bukan tanpa alasan andaikata ia melukis ikan. Kegemarannya memancing di pantai sejak kecil bersama sang kakak, menjadi latar tersendiri dalam laku artistiknya. Pantai-pantai di sekitar Tanjung Nusa Dua, Bali menjadi saksi atas laku sehari-hari Coky,  yang kesemuanya terinternalisasi dalam proses kreatifnya hari ini.
                Ia memang pelukis yang sangat terinspirasi akan alam. Sangat terinspirasi. Bagaimana ia bercerita tentang sawah-sawah di Bali yang semakin sempit, pantai-pantai yang tidak lagi asri, hutan-hutan yang dibabat habis, hingga binatang-binatang yang mulai punah. Bukan sekedar mengkisahkan kembali apa yang dilihat dan dialaminya, lebih jauh lagi semuanya diungkapkan dalam visual yang satir.
                Sebagaimana karya-karyanya di awal proses kreatifnya, ia banyak bercerita tentang rusaknya alam. Idiom ikan sebagai buah dari kegemarannya menjadi subjecmatter yang sudah dipahaminya luar dalam. Bentuk, gerak hingga anatomi luar dalamnya! Identifikasi objek yang dilakukannya secara detail, sekan menjadi metode tersendiri bagi proses penciptaan karyanya hingga kini. Maka bukan tanpa alasan pula andaikata Coky memahami detail objek yang dilukisnya.
                Coky menghadirkan bentuk-bentuk binatang dalam warna dan gerak yang dinamis. Ritme visual yang hadir mencerminkan kekuatannya akan aspek-aspek desain elementer (nirmana) berikut spontanitas dan gestur objek yang luwes. Sekilas, Coky memeluk ekspresi dua genre besar yang berbeda di dalam kanvasnya, kubisme dan  ekspresionisme Jerman. Upaya analitis bentuk a la kubisme Picasso bertemu dengan brushtroke yang energik dan impulsif abstrak ekspresionis Jerman, padu dalam gurat pisau paletnya. Sebuah upaya yang seirama dengan Seong Moy, Louis Shanker, Adja Yunker dan cukilan grafis Arthur C. Danto. Bukan mengada-ada andaikan penulis menautkan abstraksi Coky dengan model ekspresif seniman-seniman avant gardist diatas. Model penciptaan dan pemahaman narasi bagaimana aliran kubisme memicu lahirnya seni abstrak, dimana abstraksi menjadi referensi utama disana.
                Mengapa kubisme menjadi dasar penting dalam melihat karya Coky? sebab sebagaimana narasi sejarah mencatat, genre ini banyak mempengaruhi lahirnya genre-genre baru dalam seni modern.  Mereka mengembangkan abstraksi a la kaum kubism dengan bahasa dan ideologi yang berbeda. Futurisme Italia, Fortisimo Inggris dan Russian Rayonism adalah genre yang lahir dengan berpijak pada fragmentasi aliran kubisme. Gerakan Konstruktivisme, Suprematisme Rusia, hingga pergerakan De Stijl di Belanda, juga hadir terpengaruh fragmentasi geometrik kubisme dan mengabstraksikannya secara total. Kubisme memberikan pengaruh yang besar terhadap lahirnya Ekspresionisme Jerman yang menggunakan bentuk dan figurasi objek  untuk mengekspresikan perasaan diri seniman secara utuh dan emosional.  Gerakan Dada, secara provokatif  mengabstraksikan gambar dengan teks dan ‘benda seni’ dengan ‘benda sehari-hari’, dimana prinsip ini sangat dipengaruhi oleh metode kolase dari kaum kubis. Gerakan Surealisme yang tumbuh di kisaran 1920 hingga 1930 an berhutang budi pada kubisme lewat intensitas visual yang ambigu. Dan gerakan Abstrak Ekspresionisme pada 1940 dan 1950 berhutang pada gerakan Kubisme  atas dorongan akan kedataran bidang gambar.
Lukisan Coky, meskipun kental dengan figurasi dan abstraksi gestural, ia tidaklah dapat serta merta dimasukkan dalam tradisi visual realism a la Erwin Panofsky yang menekankan pada imitasi dan mimesis sebuah objek. Visualitas yang dibuat Coky, mempunyai kadar intensitas yang lebih dalam. Disematkannya bahasa ungkap universal yang kadang sering diabaikan (empati). Setiap elemen yang hadir adalah refleksi visual, ungkapan-ungkapan logis, petanda sensitifitas, dan kesadaran akan karakter khas dari figur yang dipresentasikannya. Pandangan Wassily Kandinsky (1866-1944), dalam  Concerning the Spiritual in Art (1912), yang berisikan  teori dasar dalam abstraksi, menjadi pegangan utama dalam proses kreatif Coky. Semangat Kandinsky dalam membangun abstraksi dan kerja-kerja figuratif dengan karakteristik warna yang brilian dan susunan objek yang kompleks menjadi inspirasi tersendiri dalam kerja kreatifnya.
                Saat melukis, Coky mendekatkan prosesnya dalam metodologi kerja yang cermat. Pertama dia akan mempelajari bentuk dan gestur dari objek binatang yang akan dilukisnya. Beragam kemungkinan visual diupayakan dengan melihat objek dari beragam sudut. Setelah rancangan bentuk terbayangkan,  ia mulai melepas catnya di atas kanvas secara ekspresif. Awalnya dia tidak mengejar presisi bentuk, namun melepaskan garis-garis yang bebas meliuk. Garis inilah yang menjadi dasar terbentuknya gestur-gestur binatang yang hendak di lukisnya. Garis-garis ekspresif, yang tidak beraturan, menjadi dasar baginya untuk membangun komposisi bidang dan pengaturan warna. Karakter garis yang tegas, berpadu dengan bentuk bangun dasar adalah ciri kubis yang menginspirasi Coky. Pola kerja dengan menumpuk warna hingga 4 kali lapisan, dari warna terang ke warna gelap, dengan berpedoman pada pantone atau lingkaran warna, untuk menghasilkan warna dan kedalaman bidang, berikut mencari esensial bentuk adalah sintesa yang khas dari kubisme synthetic. Inilah pola kerja yang diupayakannya. Sedangkan goresan palet dan lelehan-lelahan warna yang basah, berikut sapuan kuas yang tegas adalah pendekatan dominan Coky atas abstrak ekspresionisme yang hadir dengan konsentrasi dan intensitas yang tinggi. 
                Melihat lukisan Coky, mengajak kita untuk melirik  suasana dunia seni di era 40 an dan 50 an, waktu dimana action painting  atau istilah yang sering digunakan Clement Greenberg, Abstrak Ekspresionime, mendominasi setiap studio seniman. Senyatanya penulis mencatat adanya dorongan dari diri Coky untuk mengikuti pandangan Greenberg yang mengagungkan seni nonfiguratif, namun dorongan itu masih disimpannya. Ia masih menikmati eksperimentasi gaya dengan momen-momen artistik yang tidak terduga. Ia setia menunggu lelehan cat yang hadir dari percikan kuasnya, menunggu  gurat-gurat tekstur yang terbangun dari pisau paletnya dan mencari kemungkinan bentuk dan menyelami warna. Akhirnya, berbagai garis-garis bebas, brushtroke yang keras, lelehan dan percikan warna berpadu  mendukung citra bentuk yang dipresentasikannya.
                Dengan melucuti segenap narasi yang berkaitan dengan subjekmatternya, gejala dan peristiwa yang melatarbelakanginya, Coky mengabstraksikan bentuk binatang dengan aksentuasi simbolis pada gestur maupun bagian tubuh yang ‘terluka’. Ia juga melucuti rincian anatomis yang beragam dari obyek yang hendak dibuat, mengulang dan menumpuknya untuk menemukan figurasi bentuk yang diinginkan. Disini, figurasi binatang menjadi satu poin penting Coky untuk melihat intensitas mana yang hendak ia tonjolkan. Sisi mana yang mampu mewakili setiap narasi yang hendak dibangunnya. Gestur binatang menjadi pijakan penting untuk menceritakan narasi tersebut. Gerak amuk banteng, tubuh tegap pitbull, lengkingan gajah yang terluka hingga ringkuk manja sang panda, menjadi perhatian Coky. Darah dan luka akibat pembantaian dan perlakuan keji, menjadi ceruk-ceruk penting yang hadir mengikat narasi.
                Melalui abstraksi ia tekankan pemaknaan yang lebih. Bukan sekedar pengkabaran akan peristiwa yang ada, namun lebih dari itu, sikap empati tersirat kuat dalam gores warna abstrak. Ia sangat percaya akan elemen-elemen formal seperti garis, warna, bidang, pencahayaan dan komposisi mampu mewakili pemikirannya. Mereka berdiri secara independen dan tidak terbatasi. Ada analisis fisik dan pertimbangan emotik atas hadirnya elemen-elemen artistik tersebut, ada upaya-upaya logis berikut integralitas internal sebagai buah dari kepercayaan akan konsep dan nalar visual yang hendak dibuat. Ia tidak sekedar mengejar aspek artistik saja. Kanvasnya mampu berkisah akan pengalaman fisis yang menyentuh sisi-sisi transendental, dimana semuanya meluruh. Melalui karya-karya ini Coky pertemukan figurasi modern dan abtraksi gestural dalam bahasa ekspresionisme. Sebuah cara pandang abstraksi yang lain, tidak linier dan ketat, pun tidak asal ‘artistik’ dan serampangan!











  
   
Jula-Juli Romy:
Kidung Visual dan Spiritual

(Catatan Kuratorial 
Pameran Tunggal Romy Setiawan
 "HA..HA..HA..HA" Bentara Budaya Yogyakarta, 2011)  

Hendra Himawan S.Sn*



(satu) Latar  Ludruk dan Satire


Bekupon Omahe Doro, Melok Nipon Soyo Sengsoro
(Cak Durasim , Loedroek Organizatie (LO), 1933)



 “PURNAMA JAYA” adalah grup ludruk asal Desa Kemiri, Pacet, Mojokerto. Di era 90-an, grup ini sempat berjaya yang ditandai dengan tingginya tawaran pentas keliling. Para pemainnya juga berasal dari penduduk desa sendiri. Dari Kediri, Tuban hingga Banyuwangi, grup ini melantunkan jula-juli. Ludruk ini dipimpin oleh Purhadi, seorang guru di SMK Negeri Pungging, Mojosari, yang tak lain adalah ayahanda Romy. Dalam irama gending dan geliat Ngremo, Romy dibesarkan. Masih segar diingatannya saat ikut rombongan ludruk pentas dari dusun ke dusun, maupun menyimak latihan di balai dusun.
Memori tentang ludruk dan jula-juli inilah yang terinternalisasi dalam proses kreatif Romy. Entah disadari atau tidak, gaya humor ‘sampakan’ (parikeno) menjadi spirit dalam goresan pensil maupun pokok perupaannya. Humor ludruk yang terkesan  ‘saru’ dan ‘kasar’, mlipir dari pinggir, disuarakan rakyat ‘pinggiran’, adalah strategi yang digunakannya untuk mengungkapkan gagasan.

Humor dalam pandangan Romy, sangat berbeda dengan banyak pandangan awam. Melihat kedalam lukisannya, seakan tersirat sebuah alasan persaksian bahwa humor yang terselip dalam karikatural objek adalah sebuah sketsa vibrasi keluhan dan potret sosial dari lingkungan sekitar. Baginya, tertawa bukan penjelmaan dari ekspresi membuka mulut lebar-lebar lalu terbahak-bahak, melainkan sebuah kegetiran untuk menumpahkan fantasi senyum. Dimensi inilah yang menguatkan aspek-aspek humor menjadi medan penumpahan dan emphasis keseriusan untuk menjadi ‘satire’.


Inilah yang kemudian menjadi dalih penciptaan Romy. Wacana yang diusungnya berpijak dari kenyataan sehari-hari, -meski hadir dalam bingkai imajinasi. Hal yang sama terjadi dalam ludruk di mana parikan-parikan ludruk selalu menyentil ketajaman nurani sekaligus mengoyak kesadaran manusia. Meski dihadirkan dengan bahasa metafora, sasaran parikan tetap dikenali penontonnya. Spirit yang sama dengan adegan ‘Goro-Goro’ yang menempati petak marjinal  dalam dunia pewayangan. Adegan ini selalu dinantikan oleh penontonnya meski ditempatkan pada  dini hari  menjelang fajar. Pada adegan itulah para Punakawan hadir menciptakan ke-jenial-an humor satire. Dalam skenario dalang, Ki Semar akan ngejowantah, merefleksikan kekinian yang dilindapkan dalam bahasa ‘pasemon’.

Humor Romy adalah antiklimak. Saat realita kepedihan ditertawakan, dan setiap tawa seakan hanya berujung pada kucuran air mata. Sense of humour  menjadi jalan untuk mengungkap kesialan hidup dan pupusnya kepekaan dari indera kita. Baginya, di tengah dentuman modernism, humor telah meruang dan mengaklamasikan diri menjadi arena katarsis yang meletup dari kemajemukan dan kegelisahan psikis manusia dalam menyikapi hidup.

‘Panggung Humor Romy’ ini memang tidak bisa dilihat sekilas. Ia adalah humor yang berfikir. Kata ‘lucu’, mungkin hanya akan kita lihat dari bentuk figure dan beberapa adegan yang dihadirkannya. Namun lebih jauh dari itu, senyatanya humor Romy harus dilihat dalam pengamatan yang lebih mendalam. ‘Kelucuan’ itu diletakkannya dalam dimensi konotasi  fase kedua, ketiga dan selanjutnya. Butuh pemikiran lebih dan pemahaman yang luas untuk ‘berjabat tangan’ dengan humor-nya.  Tapi inilah jula-juli humor Romy. Ia hadir dalam belitan tanda, dalam figure yang riuh dalam bentuk objek yang karikatural.

Gambar-gambar karikatur dalam lukisan Romy adalah lindapan potret permasalahan masyarakat yang menyentuh sublimasi kemanusiaan. Ia berbicara banyak hal. Mulai dari piknik à la kaum kecil, hingga persoalan nuklir. Dari mimpi ingin terbang hingga group musik spiritual. Ia menyentuh sisi liar dalam diri manusia hingga eksistensi Tuhan yang kadang terlupa. Pameran ini seakan menegaskan bahwa humor adalah hal yang esensial dari hidup manusia, dan ia mampu menjadi jalan untuk menuju ‘kesadaran diri’. Mengajak manusia untuk membangkang sejenak dari kejumudan hidup, mengintip realitas sebenarnya dari balik jendela. Merasakan kepekaan diri, membangkitkan kesadaran untuk berfikir santun tanpa kehilangan kata senyum.
 Humor Romy kadang menampar tepat di muka kita, walaupun satire humor itu tidak dalam kapasitas pukulan hook yang mematikan. Kadang ia mengajak kita untuk menertawakan sesuatu dibalik jendela yang dibuatnya, yang sekaligus menertawakan diri kita sendiri.  Keampuhan humor Romy terletak di kesanggupannya untuk merogoh pikiran kita sedalam-dalamnya, hingga menyentuh vibrasi emosional kita. Humor dalam lukisan Romy adalah humor yang hadir dalam kematangan berfikir. Tidak hanya joke-joke ringan, kelugasan wajah, ataupun gerak verbalistik yang memancing tawa. Humor dihadirkan sebagai citra dari perenungan yang dalam, meregum kecerdasan dan ke-jenial-an.
Melihat gaya berfikir dan strategi narasi Romy dalam lukisannya, kita akan diingatkan dengan siasat  ludruk Cak Durasim. Bagaimana ia melakukan kritik satire lewat secara gencar terhadap pemerintah Jepang dalam parikan “Bekupon Omahe Doro, Melok Nipon Soyo Sengsoro” (Pagupon rumah burung dara, ikut Nippon tambah sengsara). Parikan satire yang hadir dalam ludruk senyatanya mampu menumbuhkan kekuatan dan akumulasi energi psikis rakyat Surabaya atas pendudukan Jepang.
Coligo in sole, ungkapan latin yang berarti ‘melek tetapi tidak melihat’, adalah gambaran yang mungkin tepat dengan kondisi kita saat ini. Sebuah analogi atas masyarakat yang membutuhkan humor agar tetap ‘melek’, terjaga dan tersadar sisi lahir maupun batinnya.  Humor menyelinap dalam sisi keangkuhan manusia, ketulian pendengaran, kebutaan penglihatan dan ketumpulan nurani, yang entah disengaja ataupun tidak. Dalam lukisan Romy, humor hadir mentahbiskan diri sebagai ‘institusi’ yang mampu memicu lahirnya kritik diri. Layaknya anak kecil yang melantunkan kepolosan, ia memprioritaskan pada pelepasan nilai-nilai kebenaran. Humornya, bukan sekedar ampas pelepas penat, apalagi “kentut emosi” yang lekas menguap.

(dua) Drawing dan Jelajah Estetik
Teknik drawing adalah salah satu kekuatan Romy dalam berkarya. Bagaimana craftmanship yang dimilikinya, tergurat dalam detail-detail arsiran (hatching) dengan intensitas yang mampu menciptakan ‘kedalaman’ tersendiri. Drawing, pada tingkat pengertian yang paling sederhana adalah dasar bagi segala hal dalam seni rupa. Ia menjadi bagian yang paling fundamental sekaligus populer sebagai media ekspresi publik sepanjang sejarah.  Drawing atau gambar mampu berdiri sendiri sebagai fakta kasat mata yang mampu memperlihatkan pikiran dan dan perencanaan seniman dalam jelajah kreativitasnya.
Pada tingkat pertama, drawing dapat diidentikkan dengan sketsa, yakni sebuah catatan atau rekaman atas objek dan peristiwa yang digambar dengan cepat, yang dianggap menarik oleh penggambar. Bagi seniman, gambar kasar ini biasanya akan diteruskan untuk membuat karya berikutnya. Kedua, gambar hadir sebagai sebuah karya yang utuh dan berdiri sendiri. Ia mampu mewakili segenap pernyataan seniman, tanpa perlu dilanjutkan lagi untuk menghadirkan karya yang baru. Pada tahap ini, drawing seringkali dianggap hanya sebatas teknik perupaan, padahal senyatanya tidaklah demikian. Käthe KollwitzMax BeckmannJean DubuffetEgon SchielePaul KleeOscar KokoschkaAlphonse MuchaM. C. EscherAndré MassonJules Pascin, dan Pablo Picasso adalah beberapa seniman yang banyak menggunakan drawing sebagai media perupaan karya.
 Drawing secara tradisional selalu monokromatik, meskipun terkadang menggunakan beberapa warna sebagai elemen pendukung. Dalam Gerald F. Brommer, Exploring Drawing. Worcester, Massachusetts: Davis Publications. 1988, dan Betty Edwards, The New Drawing on the Right Side of the Brain, Harper Collins Publishers Ltd; 3Rev Ed edition, 2001, diungkapkan bahwa di era modern ini kehadiran drawing dengan menggunakan pensil warna, telah mendekati bahkan melintasi batas antara ‘drawing’ dan ‘painting’. Namun, senyatanya dalam terminologi Barat, ‘drawing’ dan ‘painting’ jelas berbeda meskipun menggunakan media dan alat yang sama. Penggunaan media kering juga sering diasosikan dengan ‘drawing’, sebagaimana penggunaan kapur  pada lukisan pastel. ‘Drawing’ akan lebih diidentikkan dengan media untuk melakukan eksplorasi, observasi ataupun strategi dalam mengatur komposisi visual. Namun terlepas dari permasalahan ini, drawing merupakan satu hal penting yang digunakan  dalam persiapan melukis.
Dalam karya Romy, drawing hadir sebagai media dan teknik yang berdiri sendiri. Pensil di gunakan Romy untuk mendokumentasikan seluruh gagasannya. Menurutnya, drawing dipilih karena ia mampu melakukan kontrol yang lebih saat membuat sebuah karya. Berbeda dengan cat minyak yang lama kering dan butuh kepiawaian khusus atau cat akrilik yang lebih cepat kering, dengan pensil, Romy mampu menaklukkan kanvasnya. Lebih lanjut, diakuinya pensil memang mempunyai berbagai kelemahan dalam mengejar intensitas dan kepekatan warna, untuk itu ia meng-combine dengan beberapa media.
Dalam prosesnya, ia menggunakan beragam jenis pensil, mulai dari pensil tipe B untuk membuat sketsa hingga pensil tipe H untuk membuat beragam ornamen dan ‘konstruksi’ dalam lukisannya. Pensil tipe B ia gunakan untuk mengejar kepekatan warna sekaligus lebih lunak dipakai. Penggunaan beberapa jenis pensil ini diupayakan untuk menetukan value dan tekstur arsir yang diinginkan sekaligus mampu menghasilkan efek visual yang beragam.
Ragam teknik arsiran juga digunakan Romy untuk mengkontrol tampilan visual yang hendak dibuat. Pada beberapa bagian ia menggunakan garis paralel, diagonal dari kanan ke kiri. Konsep utama dari arsiran (hatching) adalah bahwa kepadatan, jumlah, dan ketebalan garis akan sangat memengaruhi efek bayangan yang dihasilkan. Dengan meningkatkan kepadatan, jumlah, dan jarak antar garis, maka bayangan yang dihasilkan semakin gelap, begitu pula sebaliknya. Beberapa diantaranya ia menggunakan arsiran melintang (cross-hatching) untuk mengejar blok dan pewarnaan yang lebih gelap. Kontras bayangan dicapai dengan mendekatkan dua jenis hatching yang berbeda sudut garisnya. Sebagai hasilnya, variasi garis ini mampu memberikan ilusi warna dan menghasilkan imaji yang realistis. Broken hatching (intermitten line) atau arsiran patah-patah digunakan Romy untuk membentuk kesan cahaya dan volume pada sebuah bidang. Dengan mengkontrol intensitas patahan arsiran, maka gradasi warna akan mudah dicapai.
Untuk membuat arsiran yang halus dan memperlihatkan tekstur yang kuat, ia menggunakan pensil mekanik dengan jenis 2B. Huruf B menginformasikan ketebalan (boldness), yang berarti kandungan grafitnya lebih banyak dibandingkan dengan tipe H. Pensil mekanik 2B yang digunakan mempunyai ketebalan garis 0.5 mm dengan panjang batang 7,5 cm. Untuk sebuah lukisan, Romy akan menghabiskan 100 hingga 200 batang pensil mekanik, tergantung dari kerumitan visual dan intensitas warna yang diinginkan. Peenggunaan pensil jenis mekanik ini diakuinya lebih mempermudah pengerjaan karya karena mempunyai kandungan graphite yang lebih padat, sehingga tidak terlalu boros dan lebih praktis karena tidak perlu menggunakan rautan.
Dalam karya Romy, akan kita temui arsiran yang cenderung lembut hingga terkesan ia menggunakan teknik dusel dalam drawingnya. Padahal senyatanya tidak, arsiran lembut yang dibuatnya adalah salah satu bentuk teknik shading, adalah tehnik memvariasikan intensitas warna pada bidang gambar, semisal untuk mempresentasikan bentuk bayangan. Teknik ini juga digunakan untuk menghasilkan efek  refleksi sinar, bayangan hingga pencahayaan gambar secara realistik.  Efek dari teknik shading ini didapatkan dengan membuat arsiran yang lembut dan intens. Teknik ini ia hadirkan dalam beberapa karyanya, seperti Jangan Takut Bermimpi ( 2011), Play and Pray (2011) dan Yin Yang (2011). Selain menggunakan pensil, Romy juga menggunakan media seperti graphit dan akrilik untuk menghasilkan beberapa efek visual seperti berasap, kesan basah dan kering dan beberapa efek lainnya.
Pengukuran dimensi gambar dan keruangan juga menjadi beberapa hal penting dalam proses penciptaan karya Romy. Hal ini dilakukan untuk mempertimbangkan keberadaan subjek yang akan dihadirkan. Alat seperti penggaris dan jangka digunakannya untuk membuat layout dan pembagian keruangan. Adapun perspektif ruang yang dibangun, ia menerobos kaidah perspektif linear à la Renaissance, yang membagi menjadi beberapa titik poin perspektif (2,3 atau lebih). Ia mencampur adukkan titik-titik perspektif itu sesuai dengan keinginannya. Ada beberapa karya yang dihadirkannya dalam titik pandang atmospherik dimana objek digambarkan secara foreground, dicampurkannya dengan perspektif  yang ‘juktapose’, sebagaimana perspektif yang berlaku pada relief candi ataupun wayang beber. Objek yang dekat diletakkan di bawah, dan yang terlihat jauh di letakkan di atas, berurut secara vertikal. Ketidakberaturan perspektif adalah hal yang ingin dicapainya.
Dalam pokok perupaan, bentuk objek yang diciptakan oleh Romy banyak terinspirasi oleh figur-figur kartun dalam film animasi, mainan anak-anak, berikut figur imajiner yang diciptakannya sendiri. Beberapa bentuk yang diciptakannya banyak pula yang berawal dari deformasi dari binatang-binatang yang ada disekitar kita. Beberapa figur juga diinspirasi dari tokoh-tokoh dalam dunia pewayangan.  Kemampuannya untuk menjelajahi setiap aspek artistik diwujudkannya mulai dari motif kayu, bebatuan, kain batik, tumbuhan hingga kerak-kerak konstruksi bangunan. Luasnya penjelajahan artistik ini pula yang menghantarkan Romy memasuki ruang-ruang wacana yang tidak berbatas dan sengaja untuk tidak ia batasi, sekaligus menunjukkan luasnya keinginan dan gagasannya. Kesan cerewet serta merta memang menjadi prasangka saat melihat karya-karya ini, namun sejatinya ia mampu membingkai semua permasalahan dalam wacana yang kuat, reflektif sekaligus mewadahi apresiasi publik secara lapang tanpa kehilangan ruang kritisnya.

(tiga) Dari balik ‘jendela’
Dalam pameran ini, Romy menghadirkan jendela sebagai elemen artistik untuk membingkai setiap gagasannya. Menggunakan kayu jati yang dipolitur dengan gurat tekstur yang masih dibiarkan kentara, bentuk masif diperlihatkannya dengan kuat. Sebagai pendukung narasi dalam karya-karya ini, ia menambahkan pegangan jendela dengan engsel berwarna perak untuk menghadirkan kesan yang lebih familiar dengan keseharian kita. Sebuah daun jendela yang kita buka setiap hari, dan menutupnya saat senja menjelang.
Sebagai elemen sekunder dalam sebuah rumah, keberadaan jendela seringkali abai untuk dimaknai keberadaannya sebagai bagian dari sebuah rumah. Padahal kenyataannya jendela itu adalah elemen yang penting. Dibandingkan dengan pintu, jendela menjadi ruang bagi pemilik rumah untuk berinteraksi dengan dunia luar tanpa kehilangan ruang privasinya. Melalui jendela, seseorang mengerti apa yang sedang terjadi di dunia luar. Merasakannya, meski hanya sekedar mengintip atau mengintai.
Menarik konsep tentang jendela dan menautkannya dengan proses kreatif Romy, sungguh kita akan menemukan benang merah yang terajut erat. Bagaimana ia menggunakan drawing sebagai bahasa primer dalam mengungkapkan gagasannya, disaat orang lain begitu mengunggulkan cat minyak, akrilik bahkan digital printing sebagai bahasa ungkap. Drawing adalah teknik yang selama ini di-sekunder-kan dalam seni lukis, meskipun ia menjadi elemen paling mendasar dalam sebuah proses penciptaan karya.
Membaca lebih lanjut proses kreatif yang dilakukannya, jarang ia membidik sesuatu permasalahan mainstream secara lugas dan frontal. Ia hanya mengintip apa yang sedang terjadi di luar tanpa mau ikut campur dan berbicara banyak. Karya-karya yang dihasilkannya selalu menghadirkan sisi paling lumrah dari realitas yang ada, namun senyatanya mengancang permasalahan yang besar. Layaknya mengintai dibalik tirai, ia menjaga privasi maksudnya. Setiap gagasannya hadir melalui jeratan simbol yang memicu ribuan makna. Ia selalu membidik persoalan dengan berjalan di pinggir (jawa: mlipir), dan dari pinggiran itulah ia bersuara. Melalui jendela ini pula ia mengajak audiens untuk merefleksikan diri. Ibarat kaca jendela yang acapkali dikenakan untuk bercermin, realitas yang ada di luar jendela adalah cermin hidup kita. 
Sekilas melihat ‘jendela-jendela’ yang membingkai karya Romy ini, kesan seragam memang sengaja dihadirkannya. Baik dari bentuk, warna hingga penempatan elemen komplemennya, pegangan jendela dan engsel. Penyeragaman bingkai visual ini diupayakan untuk memberikan sebuah penegasan di mana seluruh karya mempunyai bingkai permasalahan yang sama, mengusung wacana yang sama, meskipun di hadirkan visualitas yang beragam. Melalui jendela-jendela ini, ia mengajak kita untuk melihat realitas yang ada. Menyindir setiap polahnya, menertawakan setiap pongahnya.

(empat) Hitam dan Putih : Warna-warna Spiritualitas
                Lukisan Romy, menghadirkan warna-warna monokromatik.  Dominasi warna hitam hadir sebagai efek dari material pensil yang digunakan. Warna hitam dalam definisi ideal adalah representasi ketidakhadiran sedikit pun warna atau cahaya di dalam sebuah ruang gelap. Dalam seni rupa, hitam sering digunakan dalam penyajian karya, mengingat hitam yang didampingkan dengan warna lain mampu memperkuat kesan warna tersebut. Hitam juga bersifat kuat, sehingga tidak mudah dikotori warna lain. Cahaya yang mengenai bidang hitam pun cenderung terserap maksimal.
Dalam banyak kebudayaan, hitam sering diasosiasikan sebagai hal buruk seperti  ilmu hitam, gelap mata dan duka cita. Namun ditemukan pula pengaruh positif dari penggunaan hitam, seperti memperlihatkan ketegasan. Warna putih kanvas, dimaksimalkan oleh Romy untuk menunjukkan volume, ruang dan kebentukan objek.
Seakan tanpa disadari, dwiwarna dominan ini mendorongnya lahirnya lambang-lambang ‘suci’ yang tersemat dalam karya-karyanya. Beberapa lambang Yin Yang  hadir membingkai makna warna. Yin Yang merupakan perlambangan dari Tao dengan bulatan yang dibagi menjadi dua garis lengkung warna hitam dan putih , Yin (sisi warna hitam) membawa arti konotasi kejahatan, lemah, negatif, wanita. Sedangkan Yang (sisi warna putih) membawa arti konotasi kebaikan, kuat, positif, lelaki. Dalam pemaknaan  yang harafiah, lambang warna ini menandakan mekanisme  dunia yang tidak pernah memiliki kebenaran mutlak dalam kebenaran ada kesalahan begitu juga sebaliknya dalam kejahatan ada kebaikan yang dikandung. Prinsip Yin Yang (negatif positif) memiliki sifat dualism . Dingin dan panas, siang dan malam, musim dingin dan musim panas, utara dan selatan, api dan air, perempuan dan laki-laki, genap dan ganjil, feminin dan maskulin, hitam dan putih, bumi dan langit, bumi dan matahari, bundar dan persegi. Prinsip ini pun bukan hanya dimonopoli masyarakat China, karena masyarakat Bali pun menghadirkannya dalam kain poleng (bermotif kotak-kotak hitam putih), perlambang harmonisasi tenaga negatif dan positif semesta.
Prinsip Yin Yang menekankan bahwa tidak ada Yin atau Yang yang mutlak. Setiap Yin akan memiliki sedikit Yang dan sebaliknya, sebagaimana lambang Tai chi di mana bagian hitam memiliki titik putih, dan putih dengan titik hitam. Gambar Tai chi dalam karya-karya Romy ini mengilustrasikan prinsip Yin Yang secara sempurna. Andaikan Yin mutlak sampai terjadi, maka bahayanya akan sama bila Yang mencapai titik mutlak. Contohnya, seorang laki-laki seyogyanya dilahirkan dengan lebih banyak sifat Yang (maskulin) dari pada Yin. Namun bila ia tidak memiliki sedikitpun sifat Yin, ia tidak memiliki daya imbang dan ini akan sangat merugikannya. Sebaliknya, prinsip Yin dan Yang tidak boleh pula mencapai titik imbang (equilibrium) karena sesuatu yang terlalu seimbang tidak mendatangkan perubahan atau kemajuan. Equilibrium akan mengakibatkan stagnasi, dan saat terjadi stagnasi maka tidak akan ada kegairahan, dan saat ini terjadi maka waktu tinggal menunggu ajal atau kematian.
Menyandarkan paparan tersebut ke dalam karya Romy, warna hitam dan putih yang dituangkan dalam arsiran yang lembut, bersitekun seraya berdzikir, telah menjadikan Romy menggayuh batas-batas kesadaran spiritual, intuitif dan meretas linearitas (lateral). Kedua warna itu telah menghantarkannya dalam pehaman atas keseimbangan yang tidak boleh melebihi batas kemutlakannya. ‘Hitam’ tidak boleh menjadi legam, ‘putih’ tidak boleh mengaburkan, hal inilah yang mesti berlaku baik dalam pemikiran ataupun realitas manusia. Spirit keseimbangan inilah yang bersenyawa dalam setiap karya yang dipamerkan. 

(lima) Antiklimak!
Sekali lagi, lukisan Romy adalah sebuah antiklimak! Dimensi humor yang terbahak dan dipenuhi gelak, sudah dilewatinya. Refleksi diri dalam rentang keseimbangan antara hal yang remeh dalam keseharian dan sesuatu yang berat dipertemukan dalam bahasa visual yang agitatif. Setiap karyanya hadir sebagai antiklimak dari peradaban unggul manusia, dicirikannya dengan bangunan-bangunan tinggi dengan konstruksi yang berjalin pidan, penuh sesak dengan populasi massa yang banyak. Riuhnya peristiwa dan orientasi akan materi telah membuat sebagian orang atau entitas mulai mempertanyakan nilai-nilai spiritualitas dan religi. Di tengah kebimbangan dan akar kultural yang hilang, mereka menciptakan lambang-lambang spiritual yang dekat dengan kehidupan mereka sendiri, dalam pandangan mereka, Tuhan tidak lagi berada dalam satu tahta, Dia bisa hadir dimana saja dalam bentuk apa saja.

Tuku ketan campure gulali, pameran niki Jula-Juli ne Romy
Yu Painten klélékén timbo, cekap semanten atur kawulo

Yogyakarta, 4 Juni 2011

*kurator adalah sahabat dekat Romy dan pecinta musik dangdut!

Catatan media :