Pengantar Kuratorial Pameran Tunggal SUPER SEMAR Yaksa Agus
Oleh  Hendra Himawan

  
Gugat dan Mantra
Nagari Amarta sedang mengalami krisis fundamental. Prabu Puntadewa yang bertahta dan memegang titah, tidak lagi memperhatikan jalannya roda pemerintahan dengan baik. Santer terdengar sang Prabu hendak menyatukan kerajaan Amarta dan Astina dibawah titah Prabu Duryudana.   Mendengar kabar tersebut, Prabu Kresna segera mengadakan sidang agung yang diikuti Baladewa, Setyaki, Somba dan Udawa untuk membahas persoalan krisis yang terjadi. Pada saat pertemuan digelar, ditengah-tengah pembicaraan, muncullah Antareja yang mengadu pada Prabu Kresna tentang sikap Puntadewa yang tidak lagi memikirkan masa depan masyarakatnya. Antareja, yang sebenarnya telah disusupi oleh Dasamuka, diliputi emosi menyalahkan Prabu Kresna yang dianggap sebagai sesepuh dan penuntun yang tidak dapat mengendalikan sikap dan perilaku Prabu Puntadewa.
Sikap Antareja yang dianggap kurang ajar dan tidak punya tatakrama, mengundang amarah Baladewa. Perang mulut yang kian memanas pun terjadi diantara mereka. Disaat perang tanding hampir dimulai, muncullah Semar melerai pertengkaran tersebut. Lalu Semar mengingatkan Prabu Kresna untuk melihat semakin parahnya Kerajaan Amarta. Semar menyindir Prabu Kresna sebagai dewa ketentraman dan Puntadewa sebagai dewa kebahagiaan tidak berbuat apa-apa ketika melihat para pemuda dan masyarakat semakin kacau balau dalam terpaan krisis yang semakin besar. Kemudian Semar memerintahkan kepada Prabu Kresna untuk menarik kembali Pandawa agar tidak berkumpul dan menyatu dengan Kurawa di Astina. Sementara Semar akan naik ke Kahyangan karena ia merasakan ada keganjilan di Kadewatan, yang menjadi sebab munculnya persoalan di Amarta. Inilah awal kisah carangan “Semar Gugat”. Gugat, karena tinggal Kresna, Wisanggeni dan Semar sendiri yang dapat bijaksana bertahan dari kemelut amarah dari krisis kehidupan yang ada.

***
                Semar merupakan tokoh yang sangat popular di kalangan masyarakat Jawa. Putera Sang Hyang Tunggal ini menjadi simbol kebijaksanaan dan gambaran dari kawula alit (rakyat kecil).  Saking populernya tokoh Semar ini, ia kerap hadir menjadi nama bagi beragam produk intelektual budaya masyarakat Jawa, ada situs Plintheng Semar, Kenthut Semar, Toko Mas Semar hingga ajian Semar Mesem misalnya.
Ajian Semar Mesem adalah salah satu pelet ampuh tingkat tinggi yang populer dikalangan masyarakat sebagai mantera untuk menundukkan hati seseorang, dimana  orang yang dituju akan takluk dengan si pemakainya, dimana setiap kata yang diucapkan penggunanya pasti dipercaya oleh orang. Ajian pelet Semar Mesem ini bermakna ‘senyum si Semar’, sebuah penggambaran dari kebijaksanaan dan kewibawaan sang Semar. Karena keampuhannya pula, ajian ini banyak digunakan oleh para PSK untuk menggait pelanggan sembari merapal ajian Jaran Goyang. Tak hanya rapal mantramnya saja yang dahsyat, keris Semar Mesem juga menjadi produk supranatural yang dikenal luas dimasyarakat. Jimat berbentuk keris seukuran korek api ini dipercaya mampu menaikkan pamor seseorang, menggaet kawan dan menundukkan lawan.

Para Semar Baru
Terlepas dari kebenarannya yang samar, munculnya Supersemar adalah wujud perlambang ‘gugatan rakyat’ (yang kala itu diwakili oleh Suharto), atas kekacauan yang terjadi di masyarakat akibat tidak berjalannya pemerintahan Sukarno. Kata ‘Semar’ yang menjadi akronim Surat Perintah Sebelas Maret ini agaknya menjadi penyemangat bagi Suharto untuk tampil layaknya lurah Karang Tumaritis, menghentikan kemelut yang terjadi. Berbekal surat itu pula Suharto meneguhkan diri menjadi penguasa dan membersihkan lawan-lawan politiknya. Sejak saat itupun Suharto pun lantas merasa luruh dengan sosok sang Semar. Maka di penghujung kepemimpinannya pun ia sempat mengumpulkan 50 dalang di Istana Merdeka untuk membuat lakon Semar Mbabar Jatidiri yang akan di pentaskan di 50 kota. Hal ini dimungkinkan karena Suharto merasa sudah tidak punya pegangan kawulo alit lagi.  Namun seakan  sebuah isyarat, rezim yang telah bertahta hingga 32 tahun itu pada akhirnya runtuh. Kejahatannya pun di’babar’kan, Suharto digugat !
Pada Mei 1998, para mahasiswa dan rakyat seakan berpadu menuntut sang penguasa untuk mundur. Diantara gelombang demonstrasi itu munculah tokoh-tokoh baru yang berdiri digaris depan seolah jelmaan Sang Semar, meneriakkan jargon-jargon perlawanan dan perubahan. Mereka suarakan kebenaran, mengkritik penguasa dengan kerasnya dan mencari kelemahannya dengan sangat jeli.
Semboyan-semboyan kerakyatan yang mereka dengungkan diatas podium demokrasi begitu memikat, serapal dengan mantram Semar Mesem, meyakinkan rakyat akan tugas suci yang mereka emban. Menjadi penyambung lidah rakyat yang berharap ludahnya menjadi ‘bara api’ (iduning idu geni), penyemangat bagi massa rakyat melakukan perbaikan. Namun apa yang terjadi kemudian, sesaat setelah Suharto lengser, kekuasaan pun berganti. Dan para tokoh baru ini serta merta menjadi pimpinan-pimpinan baru, penguasa-penguasa baru yang alpa dengan ludah mereka sendiri dimasa-masa demonstrasi. Kekuasaan yang mereka  peroleh sekarang seakan menjadi berkah yang patut dirayakan dan disyukuri.
Andai lakon “Semar Gugat”,-yang merupakan satu penggal episode dari kisah Bharatayuda ini digelar, - ia akan mampu menjadi permenungan tentang kemenangan kebaikan atas kejahatan. Namun andaikan digelar utuh, kisah Bharatayuda sesungguhnya adalah realitas panggung kengerian dunia kita, dimana kebaikan pun ternyata bisa menjadi kejam dalam memenangkan diri atas kejahatan. Kebenaran yang didengungkan pun menjadi lusuh saat telah duduk disinggasana. Kebaikanpun menjadi pudar saat tangan telah memegang kuasa. Hal inilah yang diungkapkan oleh Gabriel Garcia Marquez dengan bahasa realism-magisnya dalam novel Seratus Tahun Kesunyian, “kemenangan semacam itu hanyalah sebuah tumpukan kotoran, dan pemenang yang berkubang di atasnya hanyalah seperti seekor babi”.
***
Semar Mendem
Apa yang diungkapkankan Yaksa Agus dalam pameran Supersemar ini bukanlah sebuah upaya untuk mempertanyakan kembali ringkasan sejarah yang legam, namun potret kiasan manusia-manusia super, tingkah perilaku ‘semar-semar baru’ yang hadir menggelitik dirinya. Bagi Yaksa, sejarah begitu buram untuk selalu dipertanyakan, namun melawan absurditas adalah hal yang ingin dilakukannya.
“Sorry, Im not Criticize” #1 dan #2(2011) adalah rangkaian karya yang hadir sebagai bukti keengganannya dalam mempertanyakan fakta sejarah. Mana yang benar dan mana yang salah telah samar, semisterius keberadaan kertas Supersemar. Yaksa menawarkan kepada kita untuk menyingkap kebenaran itu berdasarkan pikiran kita sendiri. Karena narasi-narasi sejarah yang kita pelajaripun hanyalah coretan-coretan imajinasi kolektif, perkiraan dan tafsiran yang tendensius. Semua seolah menjadi sang semar yang merasa benar dalam memberi kabar. Siapa yang bersuara dan berbisik, dan siapa yang berkata  fasih, sesungguhnya tidaklah mesti bersih.  Saat semua tersamar, narasi sejarah menjadi tak lagi shahih untuk didengar.
Anonime #1 (2011) menggiring kita untuk mengiyakan narasi  tentang tokoh yang dimaksudkannya. Sosok figur yang dihadirkan terkesan tak tertebak, tak terpersonifikasikan. Namun visualitas yang dibangun Yaksa mampu  menohok kita akan ingatan sejarah dibalik kehadirannya. Mesti tersamar tapi kita mengenalnya. Sebagaimana samarnya sang Semar, kebenaran dan titah kiprahnyalah yang membuat kita bisa mengerti kehadirannya meski hanya dalam bayang siluet.
  “Tangan Kiri dan Kaki Kanan”, (2011) adalah gambaran Yaksa akan ‘semar-semar baru’ yang telanjang dipanggung demonstrasi. Lantang teriakan mereka merapal jargon perjuangan layaknya pelacur yang merapal ajian. Tangan kiri yang teracung tinggi tak lebih layaknya keris jimat yang menjadi ‘lantaran’  mereguk kuasa dikemudian harinya. Inilah potret ambigu ‘para semar baru’. Satu sisi mereka berontak penguasa, disisi lain mereka meminta kuasa. Sebuah  parodi liris yang mensahkan kita untuk tersenyum miris.
Dalam karya “Laga Pahlawan #1”, seakan Yaksa semakin menegaskan maksudnya. Sosok manusia yang bersuara atas nama rakyat, lantang berteriak memegang pengeras suara dan berdzikirkan bara api ditangan kirinya.  Namun moncong TOA yang terbalik adalah sesungguhnya adalah sindiran Yaksa akan realitas diri dan kebenaran yang mereka perjuangkan. Saat cita-cita demonstrasi tercapai, mereka memakan kata-kata mereka sendiri, mengabdi pada kekuasaan yang sedari dulu mereka hujat. Mereka menjilat ludah sendiri karena sudah terlampau lama menelan air liur, tergiur tahta kuasa.
Kekuasaan memang selegit Semar Mendem, panganan dari beras ketan berbalut crepe yang berisi daging cincang. Namun tidaklah semestinya ‘para semar’ itu mendem (mabuk) kekuasaan, yang kemudian mencincang kebenaran dan nilai kemanusian yang harusnya selalu mereka perjuangkan. Sejatinya Semar merupakan gambaran perpaduan dari rakyat kecil sekaligus dewa Kahyangan, maka suara Semar, suara rakyat kecil sesungguhnya adalah suara Tuhan yang semestinya didengar penguasa dan penghuni istana.
***
Anggaplah pameran ini sebuah lakon, Semar Mbangun Kayangan adalah lakon yang ingin dimainkan Yaksa. Kayangan yang dimaksud adalah jiwa, rasa, dan ruhani, nilai-nilai kebenaran yang semakin menghilang dari kehidupan. Yaksa tidak ingin menguak buruk baiknya sejarah, atau menghujat para penguasa, karena sesungguhnya kekuasaan itu memang semestinya bertumpu pada nilai-nilai kebenaran. Semestinyalah para penguasa memungut aspirasi dan kehendak rakyatnya dengan lapang dada tanpa rasa curiga.
Sayangnya, masa kita kini adalah masa Kalabendu. Banyak roh-roh jahat bergentayangan merasuki siapa saja. Karena itu, orang yang dulunya kelihatan baik pun bisa terkena kutukan Kalabendu dan menjadi jahat. Dalam jagad pewayangan, krisis dan kemelut Kalabendu digambarkan dalam adegan Gara-Gara. Tetapi dalam wayang, Gara-Gara bukanlah akhir dari cerita, justru karena adanya Gara-Gara –lah kita akan memasuki alam ketentraman. Dan  Gara-Gara itu tidak akan mungkin reda hingga datangnya Ki Lurah Semar Badranaya.
Lantas siapakah sejatinya sang Semar yang kita harapkan itu?, yang mampu meredakan Gara-Gara, tanpa perlu kita curigai kepribadiannya? Saya, Anda atau kita semua? Dalam pameran ini mari kita berdoa bersama, sembari menikmati semar mendem, sembari menunggu Sang Semar !

Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana ISI Yogyakarta, menulis dan berkarya di Yogyakarta.

 Catatan Media :










SEMAR MENDEM

Posted on

Jumat, 18 November 2011

Leave a Reply