Ikonografi ‘ Tugu Jogja’  Yogyakarta

by. Hendra Himawan



Tugu Jogja - Yogyakarta

Tugu Jogja merupakan landmark Kota Yogyakarta yang paling terkenal. Monumen ini berada tepat di tengah perempatan Jalan Pangeran Mangkubumi, Jalan Jendral Soedirman, Jalan A.M Sangaji dan Jalan Diponegoro. Tugu Jogja yang berusia hampir 3 abad memiliki makna yang dalam sekaligus menyimpan beberapa rekaman sejarah kota Yogyakarta.
Tugu Jogja kira-kira didirikan setahun setelah Kraton Yogyakarta berdiri. Pada saat awal berdirinya, bangunan ini secara tegas menggambarkan Manunggaling Kawula Gusti, semangat persatuan rakyat dan penguasa untuk melawan penjajahan. Semangat persatuan atau yang disebut golong gilig itu tergambar jelas pada bangunan tugu, tiangnya berbentuk gilig (silinder) dan puncaknya berbentuk golong (bulat), sehingga disebut Tugu Golong-Gilig.



Tugu Golong Gilig 



Semuanya berubah pada tanggal 10 Juni 1867. Gempa yang mengguncang Yogyakarta saat itu membuat bangunan tugu runtuh. Bisa dikatakan, saat tugu runtuh ini merupakan keadaan transisi, sebelum makna persatuan benar-benar tak tercermin pada bangunan tugu. Keadaan benar-benar berubah pada tahun 1889, saat pemerintah Belanda merenovasi bangunan tugu tersebut.
 Tugu dibuat dengan bentuk persegi dengan tiap sisi dihiasi semacam prasasti yang menunjukkan siapa saja yang terlibat dalam renovasi itu. Bagian puncak tugu tak lagi bulat, tetapi berbentuk kerucut yang runcing. Ketinggian bangunan juga menjadi lebih rendah, hanya setinggi 15 meter atau 10 meter lebih rendah dari bangunan semula. Sejak saat itu, tugu ini disebut juga sebagai De Witt Paal atau Tugu Pal Putih.
Perombakan bangunan itu sebenarnya merupakan taktik Belanda untuk mengikis persatuan antara rakyat dan raja. Namun, melihat perjuangan rakyat dan raja di Yogyakarta yang berlangsung sesudahnya, bisa diketahui bahwa upaya itu tidak berhasil.
Ikonografi adalah sebuah cabang dari ilmu sejarah seni yang berhubungan dengan pokok bahasan  atau  makna dari sebuah karya seni. Mekanisme sistem pemaknaan karya seni Erwin Panofski ini mempunyai metode yang sangat sitematis. Mulai dari aspek faktual dan ekspresional dilanjutkan dengan menganalisis konvensional untuk mengetahui konsep hadirnya karya tersebut, hingga proses pemaknaan intrinsik di dalamnya. Masing-masing  pokok bahasan ini saling terkait dan terstruktur serta mempunyai sistem korektif sebagai tolak ukur identifikasi karya. Maka dengan menggunakan metode ikonografi ini kita akan mendapatkan sebuah analisa pemaknaan karya seni yang komprehensif, dan sistematis, serta mampu memberikan pemahaman makna dari berbagai perspektif.

1.      Tahap Pra Ikonografi
Dalam tahapan ikonografi, Pokok bahasan utama kajian adalah analisis primer atau alami, yang dibagi lagi ke dalam kajian faktual dan ekspresional. Analisas pre ikonografi ini dilakukan dengan mengidentifikasikan bentuk murni yaitu; konfigurasi tertentu dari garis dan warna, sebagai representasi atas obyek alami, mengidentifikasikan hubungan sebagai peristiwa-peristiwa; dan dengan merasakan kualitas ekspresional itu sebagai sebuah karakter yang khas.
 Tugu Jogja mempunyai bentuk bangunan yang unik dan khas.  Tugu dibuat dengan bentuk persegi, yang mempunyai dimensi mengerucut ke atas mengesankan kekokohan. Bangunannya yang berwarna putih mampu mencuri perhatian public yang melihat dan mengesankan sebuah keagungan. Hal tersebut didukung dengan beragam bentuk ornament-ornamen berwarna emas yang menempel di antara badan-badan tugu.  Pada tiap sisi dindingnya dihiasi semacam prasasti yang menunjukkan siapa saja yang terlibat dalam pembuatan tugu itu. Bagian puncak tugu berbentuk kerucut ulir yang meruncing berwarna emas. Ketinggian bangunan  diperkirakan sekitar 15 meter. Tugu yang disebut juga sebagai De Witt Paal atau Tugu Pal Putih ini dilengkapi lampu-lampu eyes cat (mata kucing) di sekitar pondasinya, yang akan  menyala temaram pada malam hari sehingga mengesankan keanggunan dan ‘kebesaran’nya.
E.B Feldman dalam Arts As Image and Idea (1967) membagi tampilan karya seni kedalam empat gaya : gaya ketepatan obyektif  (the style of objective accuracy), gaya susunan formal (the style of formal order), gaya emosi (the style of emotion) dan gaya fantasi (the style of fantasy). Dilihat dari kebentukannya, Tugu Jogja mempunyai bentuk yang massif dan memiliki kecenderungan Gaya Susunan Formal (the style of formal order). Gaya susunan formal ialah  harmoni didalam seni yang diciptakannya melalui aplikasi pola ukuran yang metodik untuk mencapai keseimbangan, stabilitas dan keindahan. Penentuan proporsi dengan ukuran-ukuran matematik merupakan prinsip utama dari gaya ini, bukan soal objek yang divisualisasikan menyerupai kenyataan empirik atau tidak.
Dalam struktur visualnya, Tugu Jogja mempunyai proporsi perbandingan yang ideal dan presisi, sehingga mempunyai keseimbangan yang stabil. Kestabilan ini juga dapat kita lihat dari  pengukuran Golden Section. Metode Golden Section, adalah perhitungan-perhitungan proporsi-proporsi geometris yang diterapkan dalam karya seni. Pada masa Yunani dilakukan sebuah usaha untuk menerapkan hukum-hukum geometris dalam seni, karena adanya penilaian harmonisasi dalam karya seni adalah sebuah harmoni yang dihasilkan oleh pengamatan tertentu. Praktek metode ini bersifat universal dan dapat diterapkan dalam sumbu pengukuran/proporsi apapun yang ada di alam semesta ini. Golden Section tersebut diformulasikan  dalam dua dalil dari Euclides, yaitu.
1.      Buku kedua dalil 11 menyatakan “ memotong sebuah garis lurus yang diketahui sehingga empat persegi panjang yang terjadi diantara potongan garis tersebut dengan seluruh panjangnya sama luasnya dengan sisi sepanjang potongan yang lain.
2.      Buku ke 4 dalil ke 30 yang berbunyi ….”memotong garis tertentu sehingga perbandingan antara potongan-potongan yang pendek terhadap yang panjang terhadap garis seluruhnya”.
Hasil potongan ini kurang lebih akan berbanding 5:8, atau 8:13, 13:21 dan seterusnya. Namun perbandingan-perbandingan ini tidaklah selalu tepat terukur namun berkisar diantara ukuran diatas.
Ukuran bangunan yang mempunyai perbandingan skala yang proporsional dengan figur manusia (sebagai kaidah idealisasi), mampu memberikan kesan yang megah dan indah.






Tugu Golong Gilig dan perubahan bentuknya menjadi Tugu  Pal Putih



2.Tahapan Ikonografi
Pada tahap ikonografis, objek yang dianalisis adalah konvensi-konvensi bentuk dalam susunan gambar, cerita dan perlambangan, dengan bantuan pengetahuan literal. Pembahasan diarahkan pada konsep khusus yang dinyatakan melalui objek dan peristiwa. Menurut Panofski   ikonografi berhubungan dengan gambar, cerita, dan alegori alih-alih dengan motif, mengisyaratkan sesuatu yang lebih dari rasa familier terhadap obyek dan peristiwa. Ikonografi mengisyaratkan suatu rasa familier terhadap tema atau konsep tertentu sebagaimana yang dipahami melalui sumber literal, apakah didapatkan melalui membaca atau melalui tradisi mulut ke mulut.”
Dalam sejarahnya, Tugu Yogyakarta yang disebut Tugu Golong Gilig, sesungguhnya telah mengalami perubahan bentuk setelah direnovasi karena runtuh  akibat gempa yang mengguncang Yogyakarta tanggal 10 Juni 1867. Tugu itu kemudian dibangun kembali dan dibuat oleh dibuat oleh Opzichter van Waterstaat – Kepala Dinas Pekerjaan Umum,  JWS van Brussel.
Sejatinya Tugu Jogja (-dahulu Tugu Golong Gilig ) merupakan bangunan yang secara tegas menggambarkan Manunggaling Kawula Gusti, semangat persatuan rakyat dan penguasa. Semangat persatuan atau yang disebut golong gilig itu tergambar jelas pada bangunan tugu, tiangnya berbentuk gilig (silinder) dan puncaknya berbentuk golong (bulat), sehingga disebut Tugu Golong-Gilig. Golong gilig mengandung makna spritual filosofi dan nilai historik. Pada waktu Panembahan Senapati bertapa di Parangkusuma dia bertemu dengan Ratu Kidul. Mereka saling jatuh cinta dan menikah. Setelah tiga hari di Segara Kidul, Panembahan Senopati menyatakan keinginannya untuk pulang. Dia diberi endog jagad (telur jagad) oleh Ratu Kidul yang dibawanya pulang. Setelah tiba di Mataram, endog (telur) itu hendak dimakannya, tetapi oleh Ki Juru Martani dilarang. Telur itupun diberikan kepada seorang juru taman. Setelah juru taman memakannya, dia berubah menjadi seorang denawa. Denawa itu diberi tugas oleh Panembahan Senopati untuk menjaga Gunung Merapi.
Maka setelah itu terbentuklah garis lurus imajiner Segara Kidul - Gunung Merapi yang melambangkan sangkan paranin dumadi, hablun minallah atau manunggaling kawula gusti. Arah Parangkusuma - Gunung Merapi melambangkan filsafat dasar manunggaling kawula gusti kerajaan Mataram untuk memperjuangkan kesejahteraan duniawi raja dan rakyatnya berlandaskan spiritual keTuhanan.
Bila kita melihat peta wilayah Yogyakarta (DIY) dari utara (puncak gunung Merapi) ke selatan + 70 km sampai dengan Pandan Simo (di pantai selatan Samudra Indonesia)seolah dapat kita tarik garis lurus. Garis Lurus Imaginer tersebut melalui tiga bangunan penting di wilayah kota Yogyakarta, yaitu : Tugu Yogyakarta / Tugu Golong Gilig; Kraton Yogyakarta, dan Panggung Krapyak (Kandang Menjangan). Konsep garis lurus Imaginer ini diciptakan oleh Panembahan Senopati, seorang raja pendiri dinasti Kerajaan Mataram Yogyakarta (1586-1601).
Tugu Jogja (Tugu Golong Gilig) dibangun oleh Pangeran Mangkubumi (HB I), pendiri Kasultanan Ngayogyakarta untuk memperingati perjuangannya bersama rakyat, kesatupaduan dengan rakyat yang melawan kebatilan penjajah Belanda. Oleh karenanya tugu tersebut dinamakan tugu golong gilig. Tugu Jogja mempunyai ketinggian 25 m, dengan badan bangunan berbentuk silinder (gilig) dan puncaknya berbentuk bulat seperti bola terbuat dari batu bata. Diperkirakan tugu tersebut berdiri setahun sesudah Perjanjian Giyanti, 13 Februari 1755. Tugu itu sebagai tugu pandangan pada saat Sultan duduk di atas singgasananya di Bangsal Mangunturtangkil serta sebagai petunjuk bagi masyarakat yang mau menghadap ke Sultan. Tugu golong gilig tidak bisa disaksikan lagi, karena 10 Juni 1867 roboh terbagi tiga dikarenakan gempa besar menguncang Yogyakarta.
Pada tahun 1889, pemerintah Hindia Belanda membangun kembali Tugu  Golong Gilig dalam bentuk baru. Pada tugu tersebut tidak tampak golong gilig yang menyatupadukan rakyat dan raja, tetapi lebih sebagai gerbang kesejahteraan yang dipersembahkan untuk Pamong Praja dengan candrasengkala wiwara harja manggala praja. Tugu Golong Gilig telah  berubah menjadi monumen untuk menegakkan devide et impera Belanda.
Pada tahun 1942 Hindia Belanda diduduki oleh Jepang dan pada tahun 1945 diproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Pada tahun itu juga Sultan HB IX dan Adipati Paku Alam VIII menyatakan Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alam sebagai bagian dari NKRI. Atas undangan Sultan HB IX Pemerintah RI pindah ke Yogyakarta. Pada tahun 1948 Yogyakarta diduduki Belanda, serta Presiden dan Wakil Presiden ditawan oleh Belanda. Sultan HB IX meneruskan perjuangan melawan Belanda bersama rakyat dengan semangat golong gilig. Kraton digunakannya sebagai sebuah markas gerilya. Pada tahun 1949 kemerdekaan Indonesia diakui oleh Belanda. Sultan HB X memimpin pengunduran diri pasukan Belanda dari dan masuknya pasukan gerilya ke Yogyakarta. Pemerintah RI dipulihkan dan pindah kembali ke Jakarta. Era Sultan HB X merupakan babak baru golong gilig. Di era ini Sultan HB X tidak menjadi panglima perang melawan Belanda, tetapi perang melawan kebodohan, keterbelakangan, dan kemiskinan dengan semangat golong gilig.
Menurut Dewan Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, dalam bahasa Jawa konsep raja ialah gung binathara. Pada satu sisi raja mempunyai kekuasaan yang besar. Ia adalah gung binathara, bau dendha nyakrawati. Kekuasaannya laksana dewa. Ia adalah pemegang hukum dan penguasa dunia. Pada pihak lain ia mempunyai kewajiban yang besar dan berat. Ia harus bersifat dan bertindak berbudi bawa leksana, ambeg adil paramarta. Ia suka memberi dan berkewajiban untuk konsisten melaksanakan apa yang dikatakannya, bersifat adil terhadap semua golongan rakyat serta pandai mendahulukan yang harus didahulukan.
Filsafat dasar pemerintahan raja Mataram ialah hamemayu hayuning bawana. Secara harfiah filsafat itu mempunyai arti “membuat dunia ayu”. Ayu tidak hanya dalam arti fisik, melainkan juga rahayu yang bermakna selamat sejahtera lahir dan batin. Bawana adalah jagad, sehingga filsafat ini mengandung pula arti global.
Gelar Hamengku Buwono mengandung arti, hamangku (lebih banyak memberi daripada menerima); hamengku (menjaga dan mengayomi rakyat, hangrengkuh/ngemong, yang bermakna ambeg adil paramarta, berlaku adil dan pandai mendahulukan yang harus didahulukan,  hamengkoni : kepemimpinan dengan memberi tauladan (hing ngarsa sung tuladha).
Pemimpin yang hamangku mempunyai sikap rela dan ikhlas untuk melayani masyarakat. Ia adalah abdi rakyat. Ia bersifat berbudi, yaitu suka memberi, khususnya kepada rakyat miskin dan yang mengalami kesusahan. Ratu (pemimpin) juga harus memiliki sifat;  dana boga wong kaluwen, sedekah makan kepada yang kelaparan; dana sandang wong kawudhan, sedekah pakaian kepada yang tak punya pakaian; dana kudhung wong kepanasan, sedekah topi kepada yang kepanasan; dana payung wong kudanan, sedekah payung kepada yang kehujanan; dana teken wong kalunyon, sedekah alat jalan kepada yang butuh pertolongan.
            Tugu Jogja, baik diera dahulu maupun sekarang, merupakan simbol kebesaran Keraton Yogyakarta. Ia merupakan penanda dari nilai-nilai filosofi yang dipegang teguh oleh Keraton yakni Manunggaling Kawulo Gusti, sebuah esesnsi akan hakikat bersatunya diri rakyat dengan rajanya, manusia dengan Tuhannya.

3.      Tahapan Ikonologis
Ikonologis adalah metode interpretasi menggunakan intuisi sintesis, bukan logika analisis.  Sebagaimana identifikasi motif artistic yang benar adalah prasyarat untuk analisis ikonografis yang benar, demikian juga analisis gambar, cerita dan alegori yang benar adalah prasyarat dari interpretasi ikonologis yang benar. Intuisi dalam interpretasi ikonologis diperlukan untuk membaca potret mental dibalik arti gambar. Pendapat Panofski tentang penggunaan intuisi yang tidak lagi bergantung pada sumber  literal.
Tugu Jogja mempunyai arti penting bagi keberadaan Kota Yogyakarta. Ia telah menjadi landmark dan ikon bagi masyarakat Yogyakarta. Tugu Jogja secara sejarah budaya adalah melambangkan hubungan manusia dengan Tuhan. Tugu Jogja  merupakan ruang kontemplasi bagi diri manusia akan nilai-nilai religiusitas yang mesti terus dipegang dengan erat.


Garis Imajiner antara Gn. Merapi - Tugu Jogja - Keraton - Pantai Selatan 
Bangunan Tugu berdiri sebagai pepeling agar masyarakat menghargai dan mendukung Raja dan pemimpinnya. Bentuk vertical ke atas melambangkan penyatuan diri manusia dengan Tuhannya. Sebuah makna religiusitas terungkapkan nyata didalamnya. Hal ini senada dengan pandangan Mudji Sutrisno dalam Estetika dan Religiusitas, Teks-Teks Kunci Estetika dan Filsafat Seni yang menyatakan bahwa estetika dan religiusitas mempunyai hubungan dan peranan yang penting bagi umat manusia yakni, 1. Sebagai ungkapan rasa religiusitas manusia, 2.Estetika sebagai sebuah tata harmoni dan ukuran dalam kehidupan manusia dan 3. Estetika merupakan jalan bagi kontemplasi dan perenungan diri umat manusia.  
Tugu Jogja hadir menjadi satu simbol akan harmonisasi hubungan antara Raja dengan masyarakat Yogyakarta. Hal ini dapat kita lihat dari bagaimana spirit golong-gilig -yang menjadi latar belakang didirikannya Tugu ini- selalu menjadi landasan moral masyarakat, yakni rasa persatuan dan kesatuan yang terus dijaga dengan erat. Terbukti ketika ada ancaman yang akan mengganggu stabilitas Yogyakarta, mulai dari jaman penjajahan dulu atau perihal Keistimewaan yang beberapa waktu lalu ‘digoyang’ pemerintah pusat, masyarakat Yogyakarta saling bahu-membahu menjaga identitas kotanya.
Pun dapat kita lihat bahwa selain titik nol kilometer di Malioboro, Tugu Jogja secara fungsinya juga menjadi pusat konsentrasi dan denyut nadi kota Yogyakarta. Beragam acara budaya banyak dilakukan di Tugu Jogja. Mulai dari tumpengan sedekah bumi, hingga kegiatan-kegiatan yang bersifat budaya dan spiritual. Sebagai salah satu penanda dari garis lurus imajiner yang menjadi spirit dan falsafah luhur Keraton dan masyarakat Yogyakarta, Tugu Jogja mempunyai nilai-nilai spiritualitas budaya yang tinggi.  
Tugu tersebut juga dibangun guna melengkapi arsitektur Keraton Yogyakarta yang terdiri atas beberapa komponen seperti alun-alun, masjid, pasar, sungai dan lainnya. Keberadaan Tugu yang berada di salah satu pusat kota, menjadi satu hal yang mengesankan bagi publik yang melihatnya. Tugu Jogja mampu menjadi spirit dan identitas, sekaligus mampu menumbuhkan rasa memiliki dan kecintaan akan kota ini.
           Begitu identiknya Tugu Jogja dengan Kota Yogyakarta, membuat banyak mahasiswa perantau mengungkapkan rasa senangnya setelah dinyatakan lulus kuliah dengan memeluk atau mencium Tugu Jogja. Mungkin hal itu juga sebagai ungkapan sayang kepada Kota Yogyakarta yang akan segera ditinggalkannya, sekaligus ikrar bahwa suatu saat nanti ia pasti akan mengunjungi kota tercinta ini lagi.
           


KEPUSTAKAAN

Feldman, Edmund Burke. 1967. Art As Image And idea. New Jersey : The University Of Georgia.
Mudji Sutrisno dkk. 2005. Teks-Teks Kunci Estetika dan Filsafat Seni. Yogyakart: Galangpress.
Panofsky, Erwin. 1955.The Meaning Of Visual Art. Chicago : The University of Chicago Press.

Posted on

Selasa, 24 April 2012

Leave a Reply