April 2012


Ikonografi ‘ Tugu Jogja’  Yogyakarta

by. Hendra Himawan



Tugu Jogja - Yogyakarta

Tugu Jogja merupakan landmark Kota Yogyakarta yang paling terkenal. Monumen ini berada tepat di tengah perempatan Jalan Pangeran Mangkubumi, Jalan Jendral Soedirman, Jalan A.M Sangaji dan Jalan Diponegoro. Tugu Jogja yang berusia hampir 3 abad memiliki makna yang dalam sekaligus menyimpan beberapa rekaman sejarah kota Yogyakarta.
Tugu Jogja kira-kira didirikan setahun setelah Kraton Yogyakarta berdiri. Pada saat awal berdirinya, bangunan ini secara tegas menggambarkan Manunggaling Kawula Gusti, semangat persatuan rakyat dan penguasa untuk melawan penjajahan. Semangat persatuan atau yang disebut golong gilig itu tergambar jelas pada bangunan tugu, tiangnya berbentuk gilig (silinder) dan puncaknya berbentuk golong (bulat), sehingga disebut Tugu Golong-Gilig.



Tugu Golong Gilig 



Semuanya berubah pada tanggal 10 Juni 1867. Gempa yang mengguncang Yogyakarta saat itu membuat bangunan tugu runtuh. Bisa dikatakan, saat tugu runtuh ini merupakan keadaan transisi, sebelum makna persatuan benar-benar tak tercermin pada bangunan tugu. Keadaan benar-benar berubah pada tahun 1889, saat pemerintah Belanda merenovasi bangunan tugu tersebut.
 Tugu dibuat dengan bentuk persegi dengan tiap sisi dihiasi semacam prasasti yang menunjukkan siapa saja yang terlibat dalam renovasi itu. Bagian puncak tugu tak lagi bulat, tetapi berbentuk kerucut yang runcing. Ketinggian bangunan juga menjadi lebih rendah, hanya setinggi 15 meter atau 10 meter lebih rendah dari bangunan semula. Sejak saat itu, tugu ini disebut juga sebagai De Witt Paal atau Tugu Pal Putih.
Perombakan bangunan itu sebenarnya merupakan taktik Belanda untuk mengikis persatuan antara rakyat dan raja. Namun, melihat perjuangan rakyat dan raja di Yogyakarta yang berlangsung sesudahnya, bisa diketahui bahwa upaya itu tidak berhasil.
Ikonografi adalah sebuah cabang dari ilmu sejarah seni yang berhubungan dengan pokok bahasan  atau  makna dari sebuah karya seni. Mekanisme sistem pemaknaan karya seni Erwin Panofski ini mempunyai metode yang sangat sitematis. Mulai dari aspek faktual dan ekspresional dilanjutkan dengan menganalisis konvensional untuk mengetahui konsep hadirnya karya tersebut, hingga proses pemaknaan intrinsik di dalamnya. Masing-masing  pokok bahasan ini saling terkait dan terstruktur serta mempunyai sistem korektif sebagai tolak ukur identifikasi karya. Maka dengan menggunakan metode ikonografi ini kita akan mendapatkan sebuah analisa pemaknaan karya seni yang komprehensif, dan sistematis, serta mampu memberikan pemahaman makna dari berbagai perspektif.

1.      Tahap Pra Ikonografi
Dalam tahapan ikonografi, Pokok bahasan utama kajian adalah analisis primer atau alami, yang dibagi lagi ke dalam kajian faktual dan ekspresional. Analisas pre ikonografi ini dilakukan dengan mengidentifikasikan bentuk murni yaitu; konfigurasi tertentu dari garis dan warna, sebagai representasi atas obyek alami, mengidentifikasikan hubungan sebagai peristiwa-peristiwa; dan dengan merasakan kualitas ekspresional itu sebagai sebuah karakter yang khas.
 Tugu Jogja mempunyai bentuk bangunan yang unik dan khas.  Tugu dibuat dengan bentuk persegi, yang mempunyai dimensi mengerucut ke atas mengesankan kekokohan. Bangunannya yang berwarna putih mampu mencuri perhatian public yang melihat dan mengesankan sebuah keagungan. Hal tersebut didukung dengan beragam bentuk ornament-ornamen berwarna emas yang menempel di antara badan-badan tugu.  Pada tiap sisi dindingnya dihiasi semacam prasasti yang menunjukkan siapa saja yang terlibat dalam pembuatan tugu itu. Bagian puncak tugu berbentuk kerucut ulir yang meruncing berwarna emas. Ketinggian bangunan  diperkirakan sekitar 15 meter. Tugu yang disebut juga sebagai De Witt Paal atau Tugu Pal Putih ini dilengkapi lampu-lampu eyes cat (mata kucing) di sekitar pondasinya, yang akan  menyala temaram pada malam hari sehingga mengesankan keanggunan dan ‘kebesaran’nya.
E.B Feldman dalam Arts As Image and Idea (1967) membagi tampilan karya seni kedalam empat gaya : gaya ketepatan obyektif  (the style of objective accuracy), gaya susunan formal (the style of formal order), gaya emosi (the style of emotion) dan gaya fantasi (the style of fantasy). Dilihat dari kebentukannya, Tugu Jogja mempunyai bentuk yang massif dan memiliki kecenderungan Gaya Susunan Formal (the style of formal order). Gaya susunan formal ialah  harmoni didalam seni yang diciptakannya melalui aplikasi pola ukuran yang metodik untuk mencapai keseimbangan, stabilitas dan keindahan. Penentuan proporsi dengan ukuran-ukuran matematik merupakan prinsip utama dari gaya ini, bukan soal objek yang divisualisasikan menyerupai kenyataan empirik atau tidak.
Dalam struktur visualnya, Tugu Jogja mempunyai proporsi perbandingan yang ideal dan presisi, sehingga mempunyai keseimbangan yang stabil. Kestabilan ini juga dapat kita lihat dari  pengukuran Golden Section. Metode Golden Section, adalah perhitungan-perhitungan proporsi-proporsi geometris yang diterapkan dalam karya seni. Pada masa Yunani dilakukan sebuah usaha untuk menerapkan hukum-hukum geometris dalam seni, karena adanya penilaian harmonisasi dalam karya seni adalah sebuah harmoni yang dihasilkan oleh pengamatan tertentu. Praktek metode ini bersifat universal dan dapat diterapkan dalam sumbu pengukuran/proporsi apapun yang ada di alam semesta ini. Golden Section tersebut diformulasikan  dalam dua dalil dari Euclides, yaitu.
1.      Buku kedua dalil 11 menyatakan “ memotong sebuah garis lurus yang diketahui sehingga empat persegi panjang yang terjadi diantara potongan garis tersebut dengan seluruh panjangnya sama luasnya dengan sisi sepanjang potongan yang lain.
2.      Buku ke 4 dalil ke 30 yang berbunyi ….”memotong garis tertentu sehingga perbandingan antara potongan-potongan yang pendek terhadap yang panjang terhadap garis seluruhnya”.
Hasil potongan ini kurang lebih akan berbanding 5:8, atau 8:13, 13:21 dan seterusnya. Namun perbandingan-perbandingan ini tidaklah selalu tepat terukur namun berkisar diantara ukuran diatas.
Ukuran bangunan yang mempunyai perbandingan skala yang proporsional dengan figur manusia (sebagai kaidah idealisasi), mampu memberikan kesan yang megah dan indah.






Tugu Golong Gilig dan perubahan bentuknya menjadi Tugu  Pal Putih



2.Tahapan Ikonografi
Pada tahap ikonografis, objek yang dianalisis adalah konvensi-konvensi bentuk dalam susunan gambar, cerita dan perlambangan, dengan bantuan pengetahuan literal. Pembahasan diarahkan pada konsep khusus yang dinyatakan melalui objek dan peristiwa. Menurut Panofski   ikonografi berhubungan dengan gambar, cerita, dan alegori alih-alih dengan motif, mengisyaratkan sesuatu yang lebih dari rasa familier terhadap obyek dan peristiwa. Ikonografi mengisyaratkan suatu rasa familier terhadap tema atau konsep tertentu sebagaimana yang dipahami melalui sumber literal, apakah didapatkan melalui membaca atau melalui tradisi mulut ke mulut.”
Dalam sejarahnya, Tugu Yogyakarta yang disebut Tugu Golong Gilig, sesungguhnya telah mengalami perubahan bentuk setelah direnovasi karena runtuh  akibat gempa yang mengguncang Yogyakarta tanggal 10 Juni 1867. Tugu itu kemudian dibangun kembali dan dibuat oleh dibuat oleh Opzichter van Waterstaat – Kepala Dinas Pekerjaan Umum,  JWS van Brussel.
Sejatinya Tugu Jogja (-dahulu Tugu Golong Gilig ) merupakan bangunan yang secara tegas menggambarkan Manunggaling Kawula Gusti, semangat persatuan rakyat dan penguasa. Semangat persatuan atau yang disebut golong gilig itu tergambar jelas pada bangunan tugu, tiangnya berbentuk gilig (silinder) dan puncaknya berbentuk golong (bulat), sehingga disebut Tugu Golong-Gilig. Golong gilig mengandung makna spritual filosofi dan nilai historik. Pada waktu Panembahan Senapati bertapa di Parangkusuma dia bertemu dengan Ratu Kidul. Mereka saling jatuh cinta dan menikah. Setelah tiga hari di Segara Kidul, Panembahan Senopati menyatakan keinginannya untuk pulang. Dia diberi endog jagad (telur jagad) oleh Ratu Kidul yang dibawanya pulang. Setelah tiba di Mataram, endog (telur) itu hendak dimakannya, tetapi oleh Ki Juru Martani dilarang. Telur itupun diberikan kepada seorang juru taman. Setelah juru taman memakannya, dia berubah menjadi seorang denawa. Denawa itu diberi tugas oleh Panembahan Senopati untuk menjaga Gunung Merapi.
Maka setelah itu terbentuklah garis lurus imajiner Segara Kidul - Gunung Merapi yang melambangkan sangkan paranin dumadi, hablun minallah atau manunggaling kawula gusti. Arah Parangkusuma - Gunung Merapi melambangkan filsafat dasar manunggaling kawula gusti kerajaan Mataram untuk memperjuangkan kesejahteraan duniawi raja dan rakyatnya berlandaskan spiritual keTuhanan.
Bila kita melihat peta wilayah Yogyakarta (DIY) dari utara (puncak gunung Merapi) ke selatan + 70 km sampai dengan Pandan Simo (di pantai selatan Samudra Indonesia)seolah dapat kita tarik garis lurus. Garis Lurus Imaginer tersebut melalui tiga bangunan penting di wilayah kota Yogyakarta, yaitu : Tugu Yogyakarta / Tugu Golong Gilig; Kraton Yogyakarta, dan Panggung Krapyak (Kandang Menjangan). Konsep garis lurus Imaginer ini diciptakan oleh Panembahan Senopati, seorang raja pendiri dinasti Kerajaan Mataram Yogyakarta (1586-1601).
Tugu Jogja (Tugu Golong Gilig) dibangun oleh Pangeran Mangkubumi (HB I), pendiri Kasultanan Ngayogyakarta untuk memperingati perjuangannya bersama rakyat, kesatupaduan dengan rakyat yang melawan kebatilan penjajah Belanda. Oleh karenanya tugu tersebut dinamakan tugu golong gilig. Tugu Jogja mempunyai ketinggian 25 m, dengan badan bangunan berbentuk silinder (gilig) dan puncaknya berbentuk bulat seperti bola terbuat dari batu bata. Diperkirakan tugu tersebut berdiri setahun sesudah Perjanjian Giyanti, 13 Februari 1755. Tugu itu sebagai tugu pandangan pada saat Sultan duduk di atas singgasananya di Bangsal Mangunturtangkil serta sebagai petunjuk bagi masyarakat yang mau menghadap ke Sultan. Tugu golong gilig tidak bisa disaksikan lagi, karena 10 Juni 1867 roboh terbagi tiga dikarenakan gempa besar menguncang Yogyakarta.
Pada tahun 1889, pemerintah Hindia Belanda membangun kembali Tugu  Golong Gilig dalam bentuk baru. Pada tugu tersebut tidak tampak golong gilig yang menyatupadukan rakyat dan raja, tetapi lebih sebagai gerbang kesejahteraan yang dipersembahkan untuk Pamong Praja dengan candrasengkala wiwara harja manggala praja. Tugu Golong Gilig telah  berubah menjadi monumen untuk menegakkan devide et impera Belanda.
Pada tahun 1942 Hindia Belanda diduduki oleh Jepang dan pada tahun 1945 diproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Pada tahun itu juga Sultan HB IX dan Adipati Paku Alam VIII menyatakan Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alam sebagai bagian dari NKRI. Atas undangan Sultan HB IX Pemerintah RI pindah ke Yogyakarta. Pada tahun 1948 Yogyakarta diduduki Belanda, serta Presiden dan Wakil Presiden ditawan oleh Belanda. Sultan HB IX meneruskan perjuangan melawan Belanda bersama rakyat dengan semangat golong gilig. Kraton digunakannya sebagai sebuah markas gerilya. Pada tahun 1949 kemerdekaan Indonesia diakui oleh Belanda. Sultan HB X memimpin pengunduran diri pasukan Belanda dari dan masuknya pasukan gerilya ke Yogyakarta. Pemerintah RI dipulihkan dan pindah kembali ke Jakarta. Era Sultan HB X merupakan babak baru golong gilig. Di era ini Sultan HB X tidak menjadi panglima perang melawan Belanda, tetapi perang melawan kebodohan, keterbelakangan, dan kemiskinan dengan semangat golong gilig.
Menurut Dewan Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, dalam bahasa Jawa konsep raja ialah gung binathara. Pada satu sisi raja mempunyai kekuasaan yang besar. Ia adalah gung binathara, bau dendha nyakrawati. Kekuasaannya laksana dewa. Ia adalah pemegang hukum dan penguasa dunia. Pada pihak lain ia mempunyai kewajiban yang besar dan berat. Ia harus bersifat dan bertindak berbudi bawa leksana, ambeg adil paramarta. Ia suka memberi dan berkewajiban untuk konsisten melaksanakan apa yang dikatakannya, bersifat adil terhadap semua golongan rakyat serta pandai mendahulukan yang harus didahulukan.
Filsafat dasar pemerintahan raja Mataram ialah hamemayu hayuning bawana. Secara harfiah filsafat itu mempunyai arti “membuat dunia ayu”. Ayu tidak hanya dalam arti fisik, melainkan juga rahayu yang bermakna selamat sejahtera lahir dan batin. Bawana adalah jagad, sehingga filsafat ini mengandung pula arti global.
Gelar Hamengku Buwono mengandung arti, hamangku (lebih banyak memberi daripada menerima); hamengku (menjaga dan mengayomi rakyat, hangrengkuh/ngemong, yang bermakna ambeg adil paramarta, berlaku adil dan pandai mendahulukan yang harus didahulukan,  hamengkoni : kepemimpinan dengan memberi tauladan (hing ngarsa sung tuladha).
Pemimpin yang hamangku mempunyai sikap rela dan ikhlas untuk melayani masyarakat. Ia adalah abdi rakyat. Ia bersifat berbudi, yaitu suka memberi, khususnya kepada rakyat miskin dan yang mengalami kesusahan. Ratu (pemimpin) juga harus memiliki sifat;  dana boga wong kaluwen, sedekah makan kepada yang kelaparan; dana sandang wong kawudhan, sedekah pakaian kepada yang tak punya pakaian; dana kudhung wong kepanasan, sedekah topi kepada yang kepanasan; dana payung wong kudanan, sedekah payung kepada yang kehujanan; dana teken wong kalunyon, sedekah alat jalan kepada yang butuh pertolongan.
            Tugu Jogja, baik diera dahulu maupun sekarang, merupakan simbol kebesaran Keraton Yogyakarta. Ia merupakan penanda dari nilai-nilai filosofi yang dipegang teguh oleh Keraton yakni Manunggaling Kawulo Gusti, sebuah esesnsi akan hakikat bersatunya diri rakyat dengan rajanya, manusia dengan Tuhannya.

3.      Tahapan Ikonologis
Ikonologis adalah metode interpretasi menggunakan intuisi sintesis, bukan logika analisis.  Sebagaimana identifikasi motif artistic yang benar adalah prasyarat untuk analisis ikonografis yang benar, demikian juga analisis gambar, cerita dan alegori yang benar adalah prasyarat dari interpretasi ikonologis yang benar. Intuisi dalam interpretasi ikonologis diperlukan untuk membaca potret mental dibalik arti gambar. Pendapat Panofski tentang penggunaan intuisi yang tidak lagi bergantung pada sumber  literal.
Tugu Jogja mempunyai arti penting bagi keberadaan Kota Yogyakarta. Ia telah menjadi landmark dan ikon bagi masyarakat Yogyakarta. Tugu Jogja secara sejarah budaya adalah melambangkan hubungan manusia dengan Tuhan. Tugu Jogja  merupakan ruang kontemplasi bagi diri manusia akan nilai-nilai religiusitas yang mesti terus dipegang dengan erat.


Garis Imajiner antara Gn. Merapi - Tugu Jogja - Keraton - Pantai Selatan 
Bangunan Tugu berdiri sebagai pepeling agar masyarakat menghargai dan mendukung Raja dan pemimpinnya. Bentuk vertical ke atas melambangkan penyatuan diri manusia dengan Tuhannya. Sebuah makna religiusitas terungkapkan nyata didalamnya. Hal ini senada dengan pandangan Mudji Sutrisno dalam Estetika dan Religiusitas, Teks-Teks Kunci Estetika dan Filsafat Seni yang menyatakan bahwa estetika dan religiusitas mempunyai hubungan dan peranan yang penting bagi umat manusia yakni, 1. Sebagai ungkapan rasa religiusitas manusia, 2.Estetika sebagai sebuah tata harmoni dan ukuran dalam kehidupan manusia dan 3. Estetika merupakan jalan bagi kontemplasi dan perenungan diri umat manusia.  
Tugu Jogja hadir menjadi satu simbol akan harmonisasi hubungan antara Raja dengan masyarakat Yogyakarta. Hal ini dapat kita lihat dari bagaimana spirit golong-gilig -yang menjadi latar belakang didirikannya Tugu ini- selalu menjadi landasan moral masyarakat, yakni rasa persatuan dan kesatuan yang terus dijaga dengan erat. Terbukti ketika ada ancaman yang akan mengganggu stabilitas Yogyakarta, mulai dari jaman penjajahan dulu atau perihal Keistimewaan yang beberapa waktu lalu ‘digoyang’ pemerintah pusat, masyarakat Yogyakarta saling bahu-membahu menjaga identitas kotanya.
Pun dapat kita lihat bahwa selain titik nol kilometer di Malioboro, Tugu Jogja secara fungsinya juga menjadi pusat konsentrasi dan denyut nadi kota Yogyakarta. Beragam acara budaya banyak dilakukan di Tugu Jogja. Mulai dari tumpengan sedekah bumi, hingga kegiatan-kegiatan yang bersifat budaya dan spiritual. Sebagai salah satu penanda dari garis lurus imajiner yang menjadi spirit dan falsafah luhur Keraton dan masyarakat Yogyakarta, Tugu Jogja mempunyai nilai-nilai spiritualitas budaya yang tinggi.  
Tugu tersebut juga dibangun guna melengkapi arsitektur Keraton Yogyakarta yang terdiri atas beberapa komponen seperti alun-alun, masjid, pasar, sungai dan lainnya. Keberadaan Tugu yang berada di salah satu pusat kota, menjadi satu hal yang mengesankan bagi publik yang melihatnya. Tugu Jogja mampu menjadi spirit dan identitas, sekaligus mampu menumbuhkan rasa memiliki dan kecintaan akan kota ini.
           Begitu identiknya Tugu Jogja dengan Kota Yogyakarta, membuat banyak mahasiswa perantau mengungkapkan rasa senangnya setelah dinyatakan lulus kuliah dengan memeluk atau mencium Tugu Jogja. Mungkin hal itu juga sebagai ungkapan sayang kepada Kota Yogyakarta yang akan segera ditinggalkannya, sekaligus ikrar bahwa suatu saat nanti ia pasti akan mengunjungi kota tercinta ini lagi.
           


KEPUSTAKAAN

Feldman, Edmund Burke. 1967. Art As Image And idea. New Jersey : The University Of Georgia.
Mudji Sutrisno dkk. 2005. Teks-Teks Kunci Estetika dan Filsafat Seni. Yogyakart: Galangpress.
Panofsky, Erwin. 1955.The Meaning Of Visual Art. Chicago : The University of Chicago Press.

Posted on

Selasa, 24 April 2012




Hendra Himawan*




Pluralitas dan Demokratisasi tanpa batas
-          Sudah dimengerti bersama, bahwa seni patung merupakan cabang seni rupa yang mempunyai banyak peluang dan keterbukaan  untuk diolah dan diselusuri setiap dimensinya. Seni patung memberikan keleluasaan, keragaman dan kebebasan ekspresi yang lebih. Jelajah jauh yang melibas batas ‘frame’ dan ‘bingkai’, sebagaimana yang biasa membatasi karya seni lukis atau dua dimensi lainnya. Sedari dulu, para maestro  telah melintas medium ekspresi dari kertas dan kanvas, ke batu dan kayu. Hendra Gunawan misalnya memahat batu andesit untuk membentuk figur, Affandi membentuk patung dari lempung, Trubus yang mengolah potret diri dari kayu, hingga kisah-kisah Sudjojono dengan patung-patungnya yang hancur masa Revolusi. Mereka menemu ruang kreatifnya dalam bentuk-bentuk 3 dimensi ini. Memang, masa itu seni tidaklah terlampau ketat definisinya, semuanya seakan terbalut kata revolusi, realisme dan kerakyatan. Karya patung masih terbingkai intuisi emosi dan ekspresi yang sama dengan karya-karya lukis mereka. Perihal teknis pun masih benyak menjadi perhatian dan kendala. Sebagaimana ungkapan Amrus Natalsya yang menceritakan sepanjang proses kreatifnya sebagai pematung, “membangun patung jauh lebih sulit daripada melukis”, demikian ujar ungkapnya.

-          Namun untunglah hadir pematung semacam Edhi Soenarso yang pertama kali mencetak patung berukuran gigantik, dengan teknik cetak perunggu, demi gelora revolusionis Soekarno. Karya-karya monument itu hadir memenuhi sudut Republik. Patung-patung “Selamat datang”, “Pembebasan Irian Barat”, “Dirgantara”, menjadi satu bentuk obsesi kemerdekaan, yang sekarang menjadi satu landmark penting dari ibukota Negara.

-          Gagasan seni patung modern Indonesia tidak dapat dilepaskan dari peran institusi akademik. ASRI Yogyakarata (sekarang ISI Yogyakarta) dengan jurusan seni patung, telah menanamkan nilai-nilai penting dalam perkembangan seni patung dengan corak realistik. Hal ini tentunya tidak jauh dari corak  perkembangan seni lukis Realisme Sosialis yang mengakar kuat dalam tradisi seni rupa Kubu Yogyakarta. Sebagaimana, dalam catatan sejarah seni rupa Barat, bahwa sejarah seni rupa adalah sejarah seni lukis, sementara seni patung adalah ‘ekor’ dan manifestasi lain dari produk seni lukis. Macam corak seni patuk abstrak yang ‘mengekor’ perkembangan seni lukis abstrak. Dari kisahnya, entah mengapa seni patung selalu menjadi ‘nomor dua’ setelah seni lukis. Paradigma seni rupa modern yang terlampau ketat, pun mensemayamkan nilai-nilai yang elitis. ‘keketatan’ nilai dan norma dalam penciptaan ataupun definitive seni masa itu, di kancah seni rupa Indonesia, memicu munculnya peristiwa Desember Hitam yang berlanjut dengan Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) yang mengusung ‘penentangan’ atas pemaknaan seni rupa yang elitis.

-          Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia (GSRB) yang berkibar dalam rentang 1973-1978, senyatanya telah memberikan nilai penting dalam perjalanan sejarah seni rupa Indonesia.[1] ‘Pendobrakan’ estetik-artistik yang coba dihadirkan dalam ranah seni rupa saat itu, telah memberikan nilai-nilai penting dalam dialektika estetik ataupun sejarah seni yang cenderung elitis menjadi egaliter dan memicu munculnya pluralitas estetik dan demokratisasi dalam seni rupa.[2] Masa pergolakan GSRB pasca peristiwa Desember Hitam, telah menunjukkan kecenderungan karya yang instalatif dengan penggunaan barang-barang yang notabenenya adalah ‘ready mades’. Sayangnya, pergerakan dan manifesto GSRB lebih kerap dilihat sebagai “pemberontakan” terhadap kemandegan seni lukis, bukan sebagai tawaran kredo estetis yang berbeda. Menariknya, bahwa “pemberontakan” GSRB terhadap kebuntuan seni lukis ternyata lebih banyak menghasilkan karya-karya yang bisa “dikategorikan” sebagai patung.

-          Terlepas dari beragam kritik ideologis ataupun orientasi dari GSRB, senyatanya kecenderungan-kecenderungan karya para eksponen gerakan ini telah membuka  paradigma seni rupa modern Indonesia yang ketat dan hegemonik, yang memberikan sekat-sekat yang tegas antara seni lukis, patung (seni murni) dengan cabang seni lain (seni terapan) yang berasosiasi dengan high art dan low art. Karya-karya GSRB mendaur ulang seni rendah, menjadi seni tinggi, mendesakralisasi patung dan benda-benda adiluhung ke dalam karya seni yang parodik, kontradiktif, ambigu dan menyiratkan silang-sengkarut tanda.

-          Karya-karya perupa GSRB semacam, Jim Supangkat, Ken Dedes,  Instalasi patung dan kotak box, (1975),Kamar Tidur Seorang Perempuan Dengan Anaknya,  instalasi,  (1976). Merupakan manifestasi dari nilai-nilai elitis yang berlaku dalam gagasan kultural masyarakat, yang didesakralisasi, mengesankan vandalistik.  Siti Adiyati Subangun, Instalasi Cermin, instalasi,  (1976). FX. Harsono, Rantai Yang SantaiInstalasi kasur dan rantai, (1975). FX. Harsono, Paling Top,  Instalasi, senapan mesin mainan, dan textile (1975). Karya-karya mereka adalah instalasi dan patung bersetumpu. Sementara, karya Bonyong Muni Ardhie, yang bertajuk Monumen Revolusi, Mixed media, 1976, adalah ungkapan satire atas karya patung monumen yang hanya berisi sosok kokoh dan megah saja. Menghadirkan sosok tubuh tua yang rapuh, bermaterial plastik, ia hadirkan patungun-monumental. Para seniman GSRB berusaha untuk membuang sejauh mungkin sikap-sikap ”elitisme” yang ”membangun bahasa-bahasa elitis” di mana pada awalnya hal itu menempel sangat erat dalam benak sebagian besar seniman pada waktu itu.

-          Mereka membuang sejauh mungkin  imaji akan nilai-nilai elemen khusus dalam seni rupa, seperti elemen lukisan, elemen  gambar dan sebagainya yang sarat didengungkan pada waktu itu. Mereka meleburkan keseluruhan elemen tadi dalam satu kategori karya yang mempunyai konteks dalam elemen ruang waktu, gerak dan sebagainya[3], kendati didasari akan ”estetika ” yang berbeda.  Seni merupakan bahasa tanda, sebagai bentuk respon individu terhadap realitasnya. Bagi mereka, seni merupakan media untuk mengaktualisasikan persoalan-persoalan yang ada di luar sang seniman, sebagai sebuah opini pada zamannya. Sebagai gerakan pemikiran, GSRB memberi konteks baru dan bukan hanya mempraktekkan teori secara mentah. Penggunaan unsur-unsur objek temuan berarti bereaksi terhadap realitas sekeliling. Penggunaan kolase serta bentuk-bentuk comotan adalah tanggapan terhadap estetika budaya massa. Pengaruh dunia eksternal yang begitu kuat kemudian berubah menjadi dorongan untuk memberikan kritik pada situasi yang sedang berkembang.Kontekstualitas gagasan yang mengacu pada kecenderungan konteks kultural pada masa itu, melahirkan gagasan-gagasan penting yang melahirkan kredo estetik tersendiri, suatu kredo estetika seni postmodern[4]. Kredo estetik yang mewadahi kecenderungan selera estetika seni kontemporer saat ini. Pluralitas yang tanpa batas.

-          Dalam perjalanannya kelompok ini ternyata mampu memberikan sebuah wacana baru dalam perkembangan seni rupa kontemporer Indonesia. Perkembangan yang dimunculkan tidak hanya dalam ranah estetik dan artistik saja, namun lebih dari itu, gerakan ini dianggap sebagai penancap tonggak manifestasi dan konsep besar-besaran dalam gerak seni rupa Indonesia hingga saat ini.

-          Pluralism dan seni tanpa batas, telah menjadi kecenderungan dari perkembangan seni rupa kontemporer kita saat ini. Seni lukis telah melewati sudut kanvas dan frame yang membingkainya, seni patung telah menembus batas-batas dimensi, medium dan pemaknaannya. Menyitit artikel legendaries yang banyak dikupas oleh para penulis seni, Rosalind E. Krauss, Sculpture in the Expanded Field, The Originality of the Avant-Garde and Other Modernist Myths, London: MIT Press, (1986), bahwa definisi seni patung kini telah meluas dan terus mencair. Pergolakan seni modern Barat yang melumpuhkan hegemoni seni lukis modern (yang ‘turut’ menyemangati munculnya pergolakan GSRB di Indonesia) pada kisaran tahun 1960an, telah membalikkan seni patung dalam posisi mayor. Pergerakan seni patung tidak lagi bertumpu dalam kaidah-kaidah modernis yang tersekat dan bertopang pada setumpu (pedestal), namun lebih jauh, praktek seni patung telah melawan sekat dinding ruang menuju alam terbuka. Mengolah alam sebagai sebuah karya seni patung (site spesifik). Di samping itu,selentingan ‘urinoir R.Mutt’ Marcel Duchamp yang menggaung sekian tahun kemudian, ‘Brillo Box’ Andy Warhol, beriring dengan spirit Posmodernisme. 

-          Pluralisme yang diusung oleh posmodernisme, seakan semakin mendorong seni patung kontemporer, diolah, dikaji, dimanfaatkan dan bahkan  dihancurkan maknanya oleh para seniman sendiri. Keleluasaan, dan tiadanya batasan yang ketat, menjadikan seni patung kontemporer sebagai ‘objek bebas yang bisa dianiaya oleh siapapun’. Spirit pluralisme (yang menjadi jargon besar dalam seni rupa kontemporer saat ini), bukan lagi penentangan terhadap batasan, melainkan merayakan kemungkinan yang tak terbatas, termasuk di dalamnya pilihan untuk menjadi ‘terbatas’.

-          Dengan kebebasan, kemerdekaan, keleluasaan kemungkinan yang ditawarkannya, seni patung kontemporer tidak hanya mencakup karya-karya pematung, namun juga karya-karya bukan pematung (pelukis, arsitek, design interior, pengrajin), yang menciptakan karya dengan logika-logika ‘patung’. Bahkan menciptakan karya yang di luar logika seni patung sekalipun (seperti barang-barang kerajinan, patung souvenir, dan karya tiga dimensi yang lainnya).   Persoalan-persoalan definitive yang sering dilansir oleh para penulis ataupun kritikus seni tentang apa batasan seni patung, karya patung dengan kriya atau  karya patung dengan design produk saat ini, merupakan fakta betapa batasan seni patungkontemporer saat  ini menjadi sangat luas dan beragam.  Tidak ada lagi eksklusifitas dan otoritasi dalam pengkategorisasian seni patung sendiri, semua telah cair, dan bahkan tak terdefinisikan.

-          Sebagaimana sejarah seni rupa kita yang merupakan produk derivasi dari perkembangan seni rupa Barat, seni patung kontemporer kita pun tak bisa lepas dari pengaruh seni patung kontemporer Barat. Lihatlah geliat patung-patung action figure ataupun character model  yang masuk dan meracuni perupa muda kita. Bentuknya yang menarik, animamik, telah menghasut para perupa lowbrow, yang senyatanya mencerabut mereka dari akar kulturnya sendiri. Namun demikian, perkembangan kebudayaan popular dan pengaruh visual tidaklah mudah ditolak. Semua menjadi sah untuk menjadi sumber inspirasi dan berkreasi.                                  Atas nama ‘kontemporer’, semua bisa dan boleh untuk dilakukan !

-          Sepanjang sejarah seni rupa Indonesia, ‘market’ memang selalu berpihak kepada seni lukis. Istilah ,booming’ pun disematkan kepada iklim market yang membawa angin sejuk kepada para pelukis. Fenomena menarik, banyak kemudian para perupa lintas disiplin seni (desainer, printmaker, kriyawan, dan pematung) sontak menjadi pelukis. Sebutlah tahun 1980an, akhir 1990an, pertengahan akhir tahun 2000an, seni lukis merajaichart gallery, auction, maupun dindng-dinding rumah kolektor. Namun belakangan kejenuhan akan seni lukis mulai muncul banyak para pelukis yang mulai beralih media, mereka mulai melirik potensi karya 3 dimensi (patung). Pasar pun mengamini kecenderungan ini. Kebanyakan pelukis mulai mencipta patung dengan beragam kemungkinan. Pun demikian dengan printmaker, designer dan perupa lintas disiplin lainnya. Hal ini tentu banyak dipicu oleh para perupa yang telah sukses terlebih dahulu di pasar, yang kebanyakan mereka melintasi beragam media dalam membuat karya. Ya bikin lukisan, bikin patung, instalasi, terkadang-kadang membuat performance art.

-          Atas nama pluralitas dan demokratisasi seni dalam pemahaman umum, ataupun mencari kemungkinan baru dalam pemahaman yang lebih  holistik, semakin cairnya identitas seniman dan keleluasaan dalam seni patung, para pelukis banyak melakukan diversifikasi dan mentransfer gagasan-gagasan dua dimensinya kedalam sebuah objek 3 dimensi. Mereka menerapkan gagasan lukisannya ke dalam seni patung. Banyak alasan mendasar dari praktik ini muncul karena objek lebih mampu mewakili gambar, atau yang lebih sederhana, agar karya yang dihasilkan lebih beragam. Ada 2 dimensinya, pun ada 3 dimensinya. Kesemuanya hanyalah peluang dasar untuk mendiferensiasikan  produk estetik yang dihasilkan. Tanpa dasar dan landasan konsep seni patung pun, tidaklah menjadi soal. Berbeda dengan banyak pematung yang akademik yang terkadang masih memegang konsep-konsep esensial dari seni patung.

-          Para ‘perupa lintas media’ ini persoalan eksekusi gagasan pun bukan sebuah hal yang sulit. Untuk mendapatkan karya yang baik, mereka tinggal menunjuk para pematung untuk membuatnya. Mulai dari proses modeling hingga pencetakan karya (resin/logam) semua bias dibuat dengan sempurna. Kesadaran akan ‘komoditas artistik’ berlaku disini. Para perupa ini menyadari bahwa, object yang sempurna akan melirik mata kolektor dengan sempurna pula. Maka berjayalah ia!

-          Maka, pluralism yang mensilang sengkarutkan sistem, definisi, kategorisasi, otoritas dan membuka identifikasi seniman, sungguh membuat posisi kondisi pematung (dalam pengertian khas akademik) semakin tersudutkan. Mereka harus dipaksa berkompetisi dengan para perupa ‘lintas media’ (meskipun pandangan ini bisa sangat diperdebatkan).  Cairnya identitas seniman dan pematung, luasnya definisi dan praktik penciptaan karya patung, menjadi semacam potret dari absurditas seni rupa kontemporer saat ini. Maka benarlah yang diungkapkan Jean Baudrillard, sociolog Perancis dalam Contemporary Art : Art Contemporary with Itself, bahwa seni kontemporer akan ‘kontemporer’ dengan sendirinya. Dibingungkan oleh keadaan nyata, tidak diketahui transedensi waktu, apakah dari masa lalu, sekarang ataupun masa depan. Kekacauan dan silang sengkarut pelbagai tanda, tumpang-tindihnya masa lalu, masa kini dan masa depan dalam satu ruang seni yang sama.[5]Tidak ada lagi yang baru dan otentik, menisbikan orisinalitas, dan menganggap semuanya sekedar permainan, yang bertuju pada kapital. Dan semuanya, sah saja!

-          Uraian diatas ini adalah sebuah gambaran dari realita seni patung kontemporer saat ini. Posisi, kategori, definisinya yang luas dan serba terbuka, sebangun dengan perkembangan budaya popular, seni kontemporer, dan estetika postmodernism yang dianut, senyatanya menjadi kegelisahan bagi kami. Sedemikian cairnya seni patung ini disusuri dan dikonstruksi oleh para ‘perupa lintas media’, dimanakah posisi para pematung akademik sebenarnya saat ini? Sejauh apakah pluralitas  menghargai nilai dan konsep dasar seni patung yang selama ini dijunjung oleh pematung akademik? Sejauh apa pluralitas seni patung kontemporer menghargai nilai-nilai yang bertumbuh dari gagasan-gagasan tradisional (konsep, materi, teks visual maupun aspek sosialnya)?

Spirit Rajakaya, Spirit Seni Patung

-          Pameran Patung RAJAKAYA, diusung oleh 3 orang perupa muda (Karyadhi, Yusuf Dilogo, I Nyoman Agus Wijaya) adalah potret dari kegelisahan atas ragam perkara yang diuraikan di atas, sekaligus harapan yang bertumpu menjadi satu. Satu alasan tegas yang dilontarkan adalah: kegelisahan mereka atas seni patung yang selalu saja di posisikan ’nomor dua’ dalam perbincangan seni rupa Indonesia! Disamping itu, faktor lain seperti posisi para pematung yang sedikit jumlahnya, ruang presentasi (kompetisi patung atau pameran seni patung) yang semakin jarang, sementara banyak para perupa lintas media mulai bermain di ’wilayah’ seni patung adalah segumpal polemik yang ingin diketahui lebih terang, untuk itu mereka hendak ’bersuara’.

-          Pameran mereka bertiga kali ini mengambil tajuk RAJAKAYA. Satu istilah dalam bahasa Jawa yang berarti ’harta kekayaan’ yang berwujud hewan ternak (sapi, kerbau,  kewan iwen).  Bagi masyarakat Jawa, hewan-hewan tersebut bukan hanya sebentuk capital (kekayaan) atau investasi, namun juga sudah dianggap sebagai bagian tidak terpisahkan dari kehidupan manusia Jawa. Bagi masyarakat Jawa, ada tiga macam bentuk kekayaan. Pertama adalah raja kaya yakni semua hewan ternak atau peliharaan seperti sapi, kerbau, kuda, kambing, babi, ayam (kebo, sapi, pitik, iwenAdapun harta-harta benda seperti rumah, perhiasan emas, sertifikat tanah, surat berharga lain,  termasuk alat transportasi itu dinamakan raja brana. Ketiga adalah karang kitri pekarangan, ladang, dan atau sawah.

-          Rajakaya (hewan ternak)  bagi masyarakat Jawa, merupakan harta benda yang menjadi bagian penting dalam lini tradisi sekaligus wajib hadir dalam laku spiritualitas kebudayaannya. Ia menjadi simbol dari kekayaan, status dan jabatan, maupun prasyarat ritual demi ketentraman dan kesejahteraan sebuah keluarga maupun masyarakat. Bagi masyarakat Jawa, Rajakaya adalah harta yang sangat berharga. Rajakaya ibarat sebuah kekayaan, sebuah simbol dari harga diri dan  kehormatan. Orang yang mempunyai kekayaan (baik materi ataupun batin/linuwih) dia akan dihargai dan dihormati. Namun bagi ‘orang miskin’ (mental, batin), kehormatan yang diberikan  hanyalah karena belas kasihan (margo kawelasan).

-          Kenapa Rajakaya begitu berharga? Selain karena kehormatan, Rajakaya sesungguhnya  diperoleh dengan laku prihatin yang dalam,  "Sapa obah mamah, ulet ngelamet, ana awan ana pangan, tuking boga seka nyambut karya, sregep iku gawe kamulyan" (Siapa bekerja dapat makan, siapa cerdik dan kerja keras makan enak, ada hari ada rezeki, rajin bekerja sumber kesejahteraan, makan enak dan baik, hasil laku prihatin, cegah dhahar lan guling(mengurangi makan dan tidur) tirakat atau kerja keras).

-          Rajakaya adalah buah dari laku urip (laku hidup) yang harus dijaga, sebagaimana menjaga harga diri. Sebab, ia diperoleh dari kerja keras selama bebadra, mbangun brayatagung ing madyaning bebrayan (sejak hidup membangun keluarga di tengah pergaulan bermasyarakat). Rajakaya, menjadi pelengkap utama hidup dalamlaku jantraning ngaurip (menapaki jalannya kehidupan), minongko pepati iku pepesthening Gusti (kematian adalah misteri Tuhan), sementara manusia hanya dapat membuat pepethan (perencanaan hidup saja).

-          Menjaga Rajakaya, adalah menjaga nilai leluhur, ngugemi piwulang luhur warisan leluhurnya agar dalam menapaki kehidupan, jangan ninggal petung linandhesan kawruh luhur dari para pendahulu/leluhumya. Sebab siapa ninggal petung akan buntung, siapa nerak pepacuh/larangan leluhur akan tidak lestari hidupnya.

-          Menautkan gagasan seni patung dengan konsep Rajakaya yang diusung sesungguhnya tajuk  ‘tradisi’ yang diambil sebagi spirit penciptaan dan presentasi karya ini menjadi perlambang negosiasi atas wacana kontemporer yang senantiasa mempersoalkan nilai dan material tradisional. Entah itu aspek visual ataupun aspek sosialnya. Sungguh, tradisi bagi ketiga perupa muda ini bukan sekedar objek, teks yang dibaca, namun lebih jauh dari itu, mereka lahir, tumbuh dan besar dalam konteks tradisi yang kental. Bukan  sekedar memperjuangkan tradisi, namun lebih dari itu, menjaga dan merawat tradisi. Dan poin utama dalam pameran Rajakaya ini adalah ‘spirit berkesenian’.

-          Esensi Rajakaya sendiri ibarat seni patung. Harta kekayaan yang diperoleh dengan sekuat tenaga, berpeluh keringat belajar, melatih skill, melatih kecakapan konseptual dan melatih mental diri sebagai seniman. Seni patung adalah kehormatan, dan harga diri. Bukan dalam perkara materi ataupun kekayaan financial, namun lebih dari itu, laku jantraning urip, semua tentang bagaimana menjalani dan memaknai hidup. Sebab Urip iku Urup (Hidup Itu Nyala, hidup itu harus member manfaat bagi diri dan orang disekitar kita).

-          ‘Menjaga’ seni patung ibarat menjaga idealisme kesenimanan. Bahwa menjadi seniman itu tidaklah mudah,datan serik lamun ketaman, datan susah lamun kelangan (tidak mudah sakit hati, tidak mudah sedih manakala kehilangan sesuatu). Paradigma seni kontemporer yang serba cepat dan menawarkan sesuatu yang lebih bebas dan ‘apapun boleh’, menjadi satu rambu penting untuk tetap menjaga idealisme diri sebagai seniman, untuk Aja Gumunan, Aja Getunan, Aja Kagetan, Aja Aleman (tidak mudah terheran-heran, tidak mudah menyesal, tidak mudah terkejut, tidak mudah manja dan ngambek).

-          Fokus mereka untuk memperjuangkan seni patung adalah orientasi visi yang terfikirkan dengan matang. Idealisme yang lugas, tegas, dan tidak mendua, Ora Mangro Mundhak Kendho (tidak berfikir mendua, agar tidak kendor niat dan semangat).

-          Seperti Rajakaya yang tidak pernah lepas dari si empunya rumah, dalam Primbon Jawa, kandang Rajakaya ana sakidul wetaning gandok.  Berdekatan dengan dapur, sebagai simbol penghidupan dan praja. Dalam tradisi Jawa, anak lelaki mempunyai tanggung jawab besar untuk menjaga kandang Rajakaya. Mencari rumput di padang, menyiapkan air minum ternak, terkadang mengobrol atau menyanyikan kidung untuk ternaknya. Kedekatan Rajakaya dengan anak laki-laki, menyiratkan nilai maskulinitas yang ditanamkan sejak kanak-kanak bagi seorang lelaki. Wisma, Wanita, Kukila, Turonggo, Curiga adalah sekian hal yang harus dimiliki oleh setiap lelaki demi kehormatan dan harga dirinya. Secara keseluruhan dari karya yang dihadirkan ketiga perupa lelaki ini, menunjukkan nilai-nilai maskulinitas dan kehormatan yang mesti dijaga dan diperjuangkan.

-          Melirik sisi lain dari proses penciptaan karya ketiga perupa yang sangat beragam, senyatanya penciptaan karya mereka berpijak dari realitas diri (sebagai manusia, sebagai seniman patung).  Tengoklah karya I Nyoman Agus Wijaya yang bercerita tentang  kilas balik proses kreatifnya selama ini melalui karya bayi anjing-anjing yang berjajar menumpu pada dinding. Gagasan ‘lahirnya generasi baru’ menunjukkan kematangan dan keyakinan diri akan profesi sebagai pematung yang mesti digeluti dan diperjuangkan dengan penuh kemandirian, saat ini. Dalam karya lainnya, ia banyak merespon nuansa cultural yang terjadi disekelilingnya. Perubahan gaya hidup, budaya massa, fashion dan lifestyle, ditransformasikan dalam figure-figur anjing berbahan plat yang telah menjadi cirikhasnya selama ini.semangat zaman coba untuk dihadirkannya. Entah dalam nuansa potret realitas saja, ataupun dalam misi kritik yang menggelitik.

-          Karya Yusuf Dilogo, berpijak dari persoalan yang sangat melekat dalam konteks masyarakat tradisi. Rumah, wisma, karang kitri. Bagaimana pemahamannya akan keberadaan bangunan, ia tautkan dengan persoalan spiritualitas kultural dari masyarakat disekitarnya. Bagaimana sepetak rumah menjadi perihal penting penanda maskulinitas lelaki Jawa, bagaimana rumah berasosiasi dengan nilai ketuhanan, dan bagaimana ‘rumah menjadi tempat dimana mimpi-mimpinya dibangun’. Berbahan plat kuningan yang menemu rupa abstraksi bangunan yang dipertemukan menjadi sosok figur, entah binatang-entah manusia, Yusuf melontarkan gagasan, bahwa bangunan, rumah, tanah, adalah ‘praja’ (sebuah kehormatan), sebagaimana seni patung adalah kehormatan dan nilai rumah yang menaungi hidup dan pilihannya. “Sekarang saya menghidupi karya-karya ini, besok, karya-karya inilah yang akan menghidupi saya”.

-          Karyadhi dengan tegas mengungkapkan gagasan kekaryaan dan pameran Rajakaya kali ini. “Iki wis dadi panggilan roso seng kudu tak lakoni kanti linambaran rosa rasaning kamanungsan urip seduluran neng kesenian lan kekaryaan. SEBUAH UNGKAPAN DOA DAN RASA SYUKUR TUMRAPING kesenianku.” Bagi Karyadhi, seni patung adalah panggilan hidup, ia adalah harga diri yang dipilih untuk dijaga dan diperjuangkan. Bukan semata demibrana (harta dan kekayaan), namun lebih jauh dari itu, ‘nilai-nilai kemanusiaan, dan persaudaraan’. Disanalah tersemayam esensi kesenian dan segala macam penciptaan karyanya. Kamanungsan, kemanusiaan, nilai yang semakin hilang kala manusia silap dengan nama, harta, ketenaran. Nilai yang telah berangsur hilang, seiring dengan perkembangan budaya yang semakin tidak jelas juntrungnya. Ora katungkul marang kalungguhan, kadonyan lan kamareman. Sekti tanpo aji, Sugih tanpo Bandha, Menang tanpo Ngasorake. Eling sangkan paraning dumadi, migunani tumraping liyan. Hamemayu hayuning bawono. Adalah serangkaian prinsip dan pedoman hidup orang Jawa yang saya kira mampu mewakili gagasan ‘kamanungsan’ yang diusung dalam karya-karya Karyadi. Tidak memburu nafsu kadlungguhan dan kadonyan,  berkarya dengan jujur, nganggo roso nganggo ati, tidak memanfaatkan kekuasaan, kekayaan dan kepandaian untuk menindasSeni menjadi perantara untuk mengingat jatidiri manusia, menjalani laku garis kehidupan, mengingat ‘dari’ dan ‘kemana’ ia akan kembali. Segenap karyanya harus memberi manfaat bagi orang lain, bagi siapapun, tuno sathak bathi sanak (berkorban untuk merangkul persaudaraan dan paseduluran yang banyak), Sebagai ucap syukurnya atas keseniannya, syukur kepada Gusti. Sebuah upaya diri Hamemayu Hayuning Bawana.

-          Uraian poin yang menjadi resume dari gagasan pameran Rajakaya yang hendak digelar kali ini menjadi satu bentuk tawaran untuk membaca dan memikirkan perihal seni patung secara mendalam. Ia bukan lagi perkara bentuk, definisi ataupun peluang-peluang kreasi. Seni patung, bagi ketiga perupa ini, adalah harga diri, kehormatan yang mesti dijaga dan diperjuangkan. ‘Rajakaya’ bukan perkara ketenaran, kekayaan, dan object kebendaan-seperti persoalan yang terus dilangsir dalam kajian seni patung, tetapi, ‘Rajakaya’ adalah kehormatan. Dan dengan spirit itulah kami persembahkan karya kami.  (+++)








[1] Uraian ini  dimulai dari peristiwa GSRB, karena penulis meyakini bahwa benih pergolakan estetik-artistik dan perkembangan seni rupa kontemporer (seni patung kontemporer khususnya) Indonesia, telah  ditanamkan oleh gerakan ini. Terlepas dari beragam kritik atas laku mereka, sesungguhnya, peristiwa ini menjadi satu momentum bagaimana nilai-nilai pluralisme dan demokratisasi seni bertumbuh. Pemahaman bahwaketika bidang di dalam bingkai gambar telah dijelajahi sampai ke sudut terakhirnya, bahkan ketika seni telah menyeberang jauh di luar bingkai seni  di luar medium yang biasa, di luar norma dan prinsip seni yang ada,  maka seni telah sampai pada satu titik dimana kebaruan dalam seni tidak lagi merupakan ”shock of the new”. Penjelajahan artistik modernitas ke masa depan yang bersifat progresif, utopis, dan tanpa batas telah berakhir dengan sebuah jalan buntu. Tidak ada lagi daerah baru untuk dijelajahi, tak ada lagi ruang baru untuk dikuasai, tak ada lagi kebaruan yang lebih baru. Mereka menolak gagasan konvensional tentang ‘seni visual’ yang dikenal hingga saat ini yang terbatas pada seni lukis, seni patung dan seni grafis, menghargai perbedaan dan nilai-nilai baru dalam seni, dan menolak segala jenis pendiktean seni. Manifesto mereka dalam Lima Tuntutan Gerakan Seni Rupa Baru, senyatanya adalah cita-cita pluralisme dan demokratisasi seni rupa yang seutuhnya bagi seni rupa Indonesia.
[2] Agus Burhan, M. lihat Seni Rupa Kontemporer Indonesia: Mempertimbangkan Tradisi dalam Agus Burhan, M(Ed).Jaringan Makna Tradisi Hingga Kontemporer Kenangan Purna Bakti untuk Prof. Soedarso Sp., M.A.(Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta, 2006), p280.
[3]Jim Supangkat, Gerakan Seni Rupa  Baru Indonesia( Jakarta: Penerbit Gramedia1979),  p. xix
[4] Muhammad Hendra Himawan, Estetika Seni Posmodern dalam Karya-Karya Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia, Skripsi, ISI Yogyakarta, 2009. P. 58.
[5] Ibid. p.202.

Patung, Rajakaya, dan Kehormatan

Posted on

Senin, 23 April 2012