Oleh : Hendra Himawan
“(Pameran) ini sebagai upaya untuk mengapresiasi diri dari proses yang sudah
kami lakukan selama ini.
Dengan usia kelompok yang masih muda, yang selama ini hanya berpameran di Bali,
maka kami dari Kelompok Djagoer ingin mencoba pameran keluar Bali.”
(Email : Djagoer
Art, <djagoerinart@yahoo.com > to sangkring@gmail.com, Saturday, Sep 3, 2011 at 10:53 PM)
Demikian gagasan dan konsep awal yang diajukan oleh Kelompok Djagoer
dalam pameran yang di gelar di Sangkring Art Project (SAP), 9-23 November 2011
ini. Kelompok Djagoer beranggotakan empat sekawan seniman. Mereka adalah I Wayan Danu, I Wayan Arnata, I Wayan Gede
Santiyasa, dan Ida Bagus Putra Wiradnyana atau yang akrab di panggil Gus De Jagiran. Meski
mereka menyebut kelompok ini baru, senyatanya para personelnya bukanlah
orang-orang baru. Mereka adalah seniman-seniman yang telah
banyak berbaku hantam dan berasam garam dengan hiruknya seni rupa.
Dalam wawancara singkat kami, I Wayan Arnata, mewakili
Kelompok Djagoer mengkisahkan ;
“Keberadaan
Kelompok Djagoer sebenarnya dapat dikatakan mulai pada tahun 2003, ditandai
dengan pameran kami bertajuk "From the Inner Self" yang
diselenggarakan di Art Center Denpasar Bali. Digawangi
oleh Wayan Danu, Wayan Arnata, Wayan Gede Santiyasa. Seiring
waktu,
walaupun kami 'tetap berkomunikasi' di jalur kesenian masing-masing, barulah
pemikiran tersebut mulai dikristalisasikan kembali, dengan menghasilkan pameran
di Ten Fine Art Sanur, karena kami makin
menyadari akan kebutuhan kami untuk berkesenian,
antara satu dengan anggota yang
lainnya.”
Sebagai sebuah
kelompok, Djagoer ibarat alat kendara. Tempat mereka menampung spirit untuk
terus me-laju-kan karya dan menjaga api keseniannya. Bersama, mereka menempuh
perjalanan gagasan dan artistik, perjalanan ruh (soul) estetik dan fisik. Dengan satu wadah, mereka sama-sama
terpacu. Agar tidak ada yang alpa, lalai atau tertinggal dari ‘khittah’ kesenimanan
dan i’tikad kesenian yang mereka junjung. Hal ini mereka upayakan karena, “masing-masing
sudah mempunyai kegiatan keseharian sendiri-sendiri, akan tetapi, “mereka masih
menempatkan kehendak serta kegiatan berkesenian melebihi aktifitas lainnya”, demikian tutur I Wayan Arnata.
Mengandaikan pameran mereka kali ini sebagai sebuah
perjalanan, maka tema lawatan ke Yogyakarta ini, Kelompok Djagoer mengambil
tema yang lugas, TRY OUT ! Sebuah takar uji, yang akan menjadi tolak ukur dari
pencapaian diri dalam ranah estetik dan artistik. Secara gamblang, I Wayan
Arnata bercerita,
“Latar
belakang kami (Kelompok Djagoer) memakai judul TRY OUT adalah untuk menguji kemampuan kami sesungguhnya di dalam
berkesenian, paling tidak untuk diri kami sendiri mulanya. Masih
pantaskah kami berada di dunia kesenian yang hingar bingar, dan
mencoba menawarkan "sesuatu olah visual" yang menurut kami ini
pencapaian karya-karya paling akhir yang bisa kami
tawarkan, sembari selalu melakukan studi berkesinambungan untuk karya-karya
kami selanjutnya.”
Berirama
dengan tajuk ‘perjalanan’ mereka saat ini -TRY OUT-, setiap seniman mempunyai
catatan yang ingin dan hendak diungkapkan melalui karya-karya mereka. Melihat ke dalam karya,
para punggawa Kelompok Djagoer lebih banyak merekam dan berkisah tentang
lingkungan keseharian. Potret-potret natural dari adat budaya mereka yang
kental.
Sebagaimana
gagasan I Wayan Gede
Santiyasa dalam karya-karya mixed media on board-nya. Ia berusaha menangkap perubahan "aura lingkungan"
sekitar dan pergeseran citra serta nilai tradisi dalam lingkungan tersebut. Hal itu dijadikannya sebagai kasus
pembelajaran dalam pengembangan keseniannya.
Dengannya, lahir karya-karya Hard to
Combine (2011) dan Terikat Romantisme
II (2011). Di mana secara simbolis, ia hadirkan nuansa dan narasi klise
dari ambiguitas tradisi dan lingkungannya.
Inspirasi dari lingkungan sehari-hari, melandasi segenap
proses kreatif I Wayan Arnata. Hal ini dapat kita lihat dari karya-karyanya. Meski sangat eksploratif
dalam mengolah media, judul dan visualitas karya hadir dengan lugas. Ngombe Bareng (2010) adalah satu judul
yang tentunya menggelitik pikiran kita.
“Karya-karya yang
diciptakan dalam
berkesenian saya
adalah tentang
kehidupan keseharian. Selain
berkesenian, ada
kegiatan yang tidak bisa lepas dari keseharian yaitu; sosial
masyarakat. Hampir
30% kehidupan keseharian saya adalah sosial masyarakat. Banyak pengalaman
didapat dalam
sosial masyarakat. Maka dari itu
timbul kegelisahan-kegelisahan dirasakan untuk
mengungkapkannya ke dalam
bentuk karya seni dan sebagai gagasan dalam
berkarya.”, demikian
tandasnya.
Keempat kawanan seniman ini memang terbilang asyik mengolah
medium. Dari kayu yang dipahat cermat hingga merespon barang-barang bekas yang
mudah didapat. Kesemuanya tersuguhkan dengan apik dan artistik. Sebagaimana
keunikan gagasan dan proses kreatif yang dipaparkan oleh I Wayan Danu berikut :
“(Bicara) konsep; secara fisik/visual
karya, saya lebih menyukai
merespon benda-benda bekas di
sekitar saya, atau dengan
cara memungut-mungut. Secara
tema; saya merespon kejadian-kejadian yang akan atau belum terjadi pada lingkungan
kita. Yang
selalu mengusik rasa, dan saya coba
suguhkan dalam proses perwujudan sebuah karya.”
Fenomena
dan nomena yang ada di dalam lingkungannya, dimaknai dan dipahami, kemudian dituangkannya
dalam proses dan bahasa visual yang lugas dan binal. Lukisan seperti Wabah ‘Jari Tengah’ (2011), menjadi satu
ungkapan lirisnya atas tingkah nafsu yang mendominasi hidup manusia.
Seperti tiga seniman lainnya, Gus De Jagiran pun
banyak mengeksplorasi ruang dan bahan. Ia banyak memanfaatkan apa- apa yang ada di sekitarnya untuk mewujudkan ide dan gagasan dengan bahasa perlambang
sebagai gambaran tentang permasalahan-permasalahan
sosial, alam dan
lingkungan. Aroma
tradisi kental tersirat dalam karyanya. Topeng kayu bertajuk Purwa (2011),
hadirkan sosok wajah yang cekam. Di pahat di atas kayu waru, berhias ragam
ornamen dan kain poleng, semakin menegaskan akar adatnya. Kepiawaian mengolah
medium terwujud dalam Sato (2011).
Berbahan telethong (tahi) sapi, ia hadirkan bentuk binatang dalam
deformasi bentuk yang unik. Dari medium yang ‘tidak bernilai’, diubahnya
menjadi karya seni tinggi.
Laju
perjalanan kreatif Kelompok Djagoer telah melintas banyak sekat ruang. Bukan
saja ruang gagasan, estetik ataupun artistik individu (dan kelompok), kini,
perjalanan kreatif mereka menyeberangi pulau! TRY OUT, bukan lagi perkara uji
diri, tetapi, Try to get Out !, ‘mencoba
untuk keluar’. Keluar dari iklim seni rupa yang mereka rasakan di Bali dan
mencari spirit yang ‘lebih’ di kota pelajar ini. Sebagaimana jawaban mereka
saat kami lontarkan pertanyaan,
Kenapa Kelompok
Djagoer memilih Yogyakarta sebagai tempat untuk presentasi karya?
“ Jogja! Di mana
kami ditempa saat itu, -(Di era 90’an, para personel Kelompok Djagoer pernah tinggal, berkarya dan mengeyam pendidikan di Fakultas Seni Rupa (FSR)
ISI Yogyakarta)-, memberikan aura imajinatif bagi kami untuk berupaya lebih
memacu diri dalam berkesenian ini. Kami tidak menganggap di Bali tidak ada… akan
tetapi kami menganggap Jogja masih sebagai salah satu pusat studi terbaik yang
dimiliki oleh bangsa ini ... maka wajarlah kiranya bila kami memulai perjalanan
kami yang lebih serius dan panjang itu di sini, dan juga melihat Jogja
sebagai salah satu ‘mindframe’
pendidikan budaya (khususnya seni rupa) di Indonesia. Untuk daerah lain
tentulah kami akan mencari dan menunggu kesempatan-kesempatan itu berikutnya.”
Kota ini
memang selalu menarik perhatian siapapun yang pernah singgah, untuk kembali.
Terlebih bagi para seniman yang pernah merasakan ‘aura imajinatif’nya-
sebagaimana yang diungkapkan di atas. Lawatan ‘kembali’ Kelompok Djagoer ke Yogyakarta, mungkin
membawa romantika tersendiri bagi para personelnya. Dan bahkan mungkin, menjadi
‘titik awal (lagi)’ dari perjalanan kesenimanan yang akan mereka tempuh
selanjutnya. Sungguh, bagi kami, perjalanan mereka memberikan penghayatan yang
lebih. Akan spirit yang harus terus dijaga, tanggung jawab yang mewujud dalam kerja
keras, dan ke-bijak-an diri dalam menjalani proses kreatif. Sebuah kesantunan
yang tersirat jelas dari jawaban mereka, saat kami lontarkan pertanyaan sebagai
penutup perbincangan.
Melalui karya-karya yang akan dipamerkan di Sangkring Art Space Yogyakarta
ini, apa yang hendak di tawarkan Kelompok Djagoer kepada publik seni, khususnya
di Yogyakarta?
“Kami, Kelompok Djagoer, belum mampu
manawarkan apa-apa.. hanya
pemaparan proses kami.. dan rasa pertanggung jawaban kami terhadap lingkungan
kesenian. Paling
tidak diawali untuk diri sendiri, dan tentu "memperkenalkan diri
kembali" pada lingkungan seni
di Yogyakarta.
Kami tidak berekspektasi jauh, tentang nilai yang kami berikan, biarlah semua
mengalir lewat pemahaman masyarakat seni Yogyakarta itu sendiri.”
(+++)
Sangkring
Art Project (SAP), 1 November 2011, 19:08 wib.
___________________________________
Semua
data dan keterangan di atas, diracik dari wawancara yang dilakukan penulis dengan
Kelompok Djagoer, yang diwakili oleh I Wayan Arnata, via surat elektronik pada Minggu, 30 Oktober, 2011, 18:41 wib.