Sepenggal potret
modernisme adalah cerita yang dibawakan Rosid Mulyadi dalam pamerannya kali
ini. Potret dunia yang memuja peradaban tinggi, ilmu pengetahuan dan
rasionalisme-akal budi. Sebuah dunia yang memuja materialisme, yang menarik
semua hubungan, kepentingan dan
orientasinya kepada materi dan gerak
benda. Dunia mekanis yang kental dengan aroma mesin dan industrialisasi.
Melalui
kanvasnya, ia kisahkan bagaimana kemajuan peradaban telah berdampak buruk bagi
manusia dan lingkungan. Manusia telah menjadi alat mekanis, sementara alamnya
terus tergerus habis. Tubuh-tubuh kaku,
gerak mesin dan simbol-simbol industrial yang riuh mengisi bidang gambar,
seolah panggung drama yang mengisi adegan kolosal. Boneka kayu (semacam Pinokio
dalam karangan Carlo Collodi), yang dihadirkannya secara dominan dalam sebagian
besar karyanya, dimaksudkan sebagai satu simbol reproduksi mekanis, berikut alienasi yang terjadi pada manusia, di samping
gambar kepulan-kepulan asap yang nampak keras.
Ia hadirkan kisah itu dalam simbol dan imajinasi, warna dan goresan yang
kuat berikut teknik yang prima.
Mencermati
narasi visual yang dihadirkan Rosid dalam karya-karyanya, sungguh kita menemu
satu rangkaian cerita tentang realita modernitas. Ia mengawalinya dari tingkah
laku manusia yang mulai rakus dan serakah. Materialisme, hedonis, dan memuja
rasionalitas-individu sebagai sumber khas kebenaran, telah membuat manusia
menjadi haus kuasa, dan berani merampas hak sesamanya. Secara lugas Rosid
mengungkapkannya dalam karyanya, Free and
Rational Beings (2011). Ketamakan diri yang menuntut industrialisasi
tinggi, telah mengakibatkan rusaknya ekologi. Kini, tiada lagi ladang hijau
tempat bermain. Semua berganti bangunan tinggi, deru mesin dan kepulan asap
industri. Dunia penuh asap, merah panas, dan gelap. Sebagaimana tersurat dalam
karyanya K(now) (2011), dan Living Underconstruction (2011). Fenomena
dan bencana yang terjadi karena rusaknya alam akibat limbah industri saat ini,
telah menjadi mimpi buruk bagi manusia. Belum lagi pemanfaatan energi yang
semena-mena berikut bayangan terjadinya global warming dan membekunya bumi.
Semuanya dihadirkannya dalam karya Nightmare (2011) dan Musim Dingin (2011).
Hard Moment (2011) dan Between Sadness and Hard Decision (2012)
menjadi satu potret akan dilema yang dihadapi manusia, kala dihadapkan pada
pilihan dan konsekuensi, antara kemajuan teknologi dan rusaknya tempat hidup.
Sementara posisi dan eksistensi diri manusia mulai rapuh dan semakin terasingkan
(teralienasi). Tak ubahnya mesin yang
dipaksa untuk terus berproduksi, demi kemajuan modernisasi dan industrialisasi.
Manusia tak berdaya dan seakan dipaksa menyerah. Dan bahkan kebebasan dan kemerdekaan
mereka pun terjerat, semua digambarkannya dalam karya Menyerah (2011) dan The Sick
Boy (2011).
Segenap kisah
yang disuarakan Rosid bukanlah sekedar potret akan keluh kesah akan chaosnya
kacaubalaunya dunia, justru sebaliknya. Melalui karya-karyanya, ia ingin
menyematkan keyakinan dan spirit positif bahwa tidak ada kata terlambat untuk
mulai melakukan perubahan. Menghargai lingkungan, menghargai pemikiran, dan
pengetahuan sejatinya mempunyai tujuan mulia, bagaimana manusia menghargai
eksistensi dirinya. Pola pikir dan pandangan materialisme yang selama ini
dianut seharusnya menjadi satu cara manusia berfikir tentang eksistensi
Tuhannya. Materi (benda, teknologi dan hasil budaya manusia lainnya) adalah
alat untuk memahami dan menjelaskan eksistensi sang Pencipta atas manusia.
Melalui karya-karyanya, Rosid mengajukan tawaran untuk melihat makna disebalik
realita yang ada, menelusuri nomena disebalik fenomena. Ia pegang pandangan
idealisme yang teguh bahwa, setiap kejadian adalah sebuah jalan untuk membuka
dimensi spiritualitas diri manusia dengan sang Pencipta. Sepenggal pemahaman
tentang eksistensi diri manusia, dalam ragam karya dan buah fikirnya. (Hendra
Himawan).
Link berita :