Oleh : Hendra Himawan. S. Sn *
Kesenian
merupakan salah satu cerminan dari tiang pancang kebudayaan yang wajib hadir dalam sebuah peradaban. Berjalin
pidan dengan pendidikan, kesenian menjadi satu pilar yang mengangkat harkat dan
keberadaban sebuah masyarakat. Berbincang tentang wacana revolusi budaya yang
dicanangkan oleh Pemerintah Kota sebagai sebuah misi pencitraan Solo Kota
Budaya yang hingga kini masih belum menyentuh dimensi esensial dan cenderung hanya
dinisbatkan sebagai serum investasi
capital, sesungguhnya ranah kesenian dengan pendidikan seninya menjadi sebuah
kanon penting untuk melihat sejauh mana kemampuan yang dimiliki
oleh jaringan sosial kebudayaan (pemerintah, elemen masyarakat dan
institusi pendidikan seni) melakukan aksi membangun atmosfer berbudaya.
Seni
rupa adalah salah satu cabang kesenian yang tumbuh dan berkembang di kota budaya
ini. Beragam even pameran sering diadakan dalam rangka memberi ruang apresiasi
sekaligus edukasi kepada publik yang
lebih luas. Namun andaikan kita cermati, sesungguhnya perkembangan seni rupa
kita mendapatkan porsi perhatian yang masih sangat kurang. Hal ini dapat kita
lihat dari gaung perhelatan maupun pewacanaan seni rupa kita yang masih jauh
dibandingkan dengan ruang seni pertunjukan yang telah menjadi ikon kota Solo.
Patut disayangkan jika kita melihat begitu banyak potensi dan modal kultural
yang telah dimiliki kurang begitu dimanfaatkan keberadaannya. Dan andai
dikaitkan dengan konteks kebudayaan diatas, tentunyalah institusi pendidikan,
khususnya pendidikan seni rupa, menjadi ujung tombak dalam membangun laju perkembangan dunia seni
rupa kita.
Institusi
pendidikan (baik tinggi maupun menengah) seni rupa merupakan pilar penting
dalam menyangga medan sosial seni rupa. Institusi pendidikan seni menjadi center of knowledge bidang kesenian,
dimana di dalamnya tumbuh gerak kreasi, penciptaan karya, pengkajian seni
hingga pewacaan seni rupa yang mampu memberikan ruang interpretative membangun
dan mengembangkan seni rupa kepada masyarakat luas. Namun sejauh ini institusi
pendidikan seni (rupa) kita masih
terlihat berdiri dalam diam, bersifat ‘dingin’ terhadap wacana kesenian, bahkan
mungkin di institusinya masing-masing. Andaikata di persilahkan untuk
menggerakkan laju seni rupa dalam lingkup yang lebih luas, mungkin seni rupa
kita akan melaju dengan pesat, namun senyatanya seni rupa kita masih terkesan adhem ayem saja. Sesungguhnya apa yang
sedang terjadi dengan pendidikan seni rupa kita sehingga gaungnya masih sebatas
ruang kelas dan kurikulum-kurikulum yang cenderung literer dari tahun ke tahun?
Apakah wacana pemikiran seni rupa masih membeku dalam teori-teori dan buku-buku baku saja?
Paradigma
pendidikan seni sewajarnya harus terus menerapkan pola-pola pengembangan diri,
terus menerus melakukan inovasi, baik dari kurikulum, materi pendidikan maupun
aktualisasi pengetahuan. Pengembangan etika akademik harus dilakukan dengan
mengoptimalkan segenap modal kultural (meliputi pendidikan, intelektualitas,
keterampilan, dan keahlian) yang telah dimiliki oleh civitas akademikanya. Sesungguhnya institusi pendidikan seni
merupakan muara bagi modal kultural ini. Mahasiswa mendapatkan wacana,
pengetahuan dan keahlian sebagai modal kultural dalam menciptakan sebuah karya
seni. Logikanya andaikata modal kultural ini terpenuhi dengan baik, maka akan
tumbuh suasana intelektualitas yang progresif dan kritis, sekaligus lahir
karya-karya seni yang menggugah dan apresiatif. Dialektika
kreatif harus terus diasah agar para mahasiswa seni rupa tidak lagi terbelenggu pada bangku-bangku teori lama dan
praktek-praktek kesenian yang (masih) konvensional dan
konservatif serta mampu untuk mengaktualisasikan diri dalam ranah
wacana maupun penciptaan karya yang lebih uptodate.
Institusi
pendidikan seni juga dituntut untuk mampu menghadirkan habitus yang kokoh dalam pola pendidikan dan lingkungan
akademisnya, sekaligus mampu menciptakan ruang ilmiah yang kritis dan progresif
dalam wilayah kreatif para dosen dan mahasiswanya. Meminjam istilah Pierre Bourdieu, konsep habitus adalah
hasil keterampilan yang menjadi tindakan praktis (yang tidaklah harus selalu
disadari) yang kemudian diterjemahkan kedalam suatu kemampuan yang alamiah dan
berkembang dalam lingkungan social tertentu. Konsep habitus ini menjelaskan bahwa keterampilan individu dalam
memperoleh kekuasaan dalam sebuah medan sosial ditentukan oleh lingkungannya. Dalam hal ini dapat kita asosiasikan dengan
lingkungan akademisnya.
Institusi pendidikan seni kita sudah saatnya
membangun pola pendidikannya dalam suatu sistem habitus yang kokoh, sehingga mampu menciptakan ruang ilmiah
yang kritis dan progresif. Sebuah
sistem yang kuat, yang tidak akan mudah digoyang dengan permakluman dalih
rentang waktu studi yang relatif pendek. Dengannya akan terbangun sebuah
ruang yang kondusif bagi dialektika
kreatif yang
akan berujung pada ekselensia seni
rupa kita. Maka dapat dipastikan pula bahwa produk-produk intelektualitas dari
sistem ini akan melahirkan pemikiran-pemikiran yang progresif dan menggugah.
Persoalan kemudian bahwa sistem ini membutuhkan ahli-ahli yang memungkinkan
sistem ini bekerja dengan baik, adalah sebuah pekerjaan rumah bagi kita untuk
menakar kembali “kontekstualitas”
kemampuan diri kita akan paradigma kesenian yang sedang berkembang.
Selain
membangun iklim intelektualitas yang
kreatif dan kondusif bagi proses akademik institusi pendidikan seni
harus mampu menyiapkan kurikulum yang mampu mendidik dan membekali para mahasiswanya menjadi Integrated Professional Artist (seniman
yang terintegrasi secara professional), dimana mahasiswa mempunyai kemampuan teknik (technical ability), kecakapan sosial (social skill) yang baik, berikut
perangkat-perangkat konseptual (skill of
conceptual) dalam membangun idealism berkeseniannya. Disamping itu pula
mahasiswa juga dibekali dengan kesadaran intelektual untuk memahami
konvensi-konvensi berikut kontekstualitas perkembangan kebudayaannya.
Kecakapan teknik (technical ability) yang diajarkan
tentunya merupakan kecakapan dasar yang harus dikuasai oleh masing-masing
mahasiswa. Dimulai dari bagaimana menemukan ide, mengolah gagasan, kemudian
mengeksekusinya dalam sebuah karya seni yang menuntut kerajinan tangan seniman,
hingga mekanisme diseminasi atau
penyebarluasan karya agar dapat diapresiasi dengan baik oleh publik. Kemampuan
konseptual (skill of conceptual) wajib
di ajarkan dan dimiliki oleh para mahasiswa dalam membangun idealism berkarya
dan berkeseniannya. Hal ini dimaksudkan agar terlahir karya-karya seni yang
progresif, tidak konservatif, kaya akan wacana pemikiran, sarat dengan muatan
estetik dan mampu menjiwai zamannya (zeitgeist),
dalam atmosphere lokalitas maupun jiwa sphere
internasional. Sedangkan kecakapan sosial (social skill) harus dimiliki oleh para mahasiswa agar mereka
mempunyai kepekaan sosial terhadap lingkungan dan fenomena disekitarnya, agar
karya-karya yang mereka hasilkan mempunyai daya gugah terhadap masyarakatnya.
Para mahasiswa mampu mempresentasikan proses kreatif yang telah dijalani kepada
publik seni rupa yang lebih luas, hingga tercipta sirkulasi intelektual (wacana
dan estetika) di dalamnya. Bagaimana para mahasiswa mampu memposisikan diri
dalam jejaring sosial seni rupanya secara optimal, melakukan proses
intermediasi dalam medan yang lebih komplek,
bersinergi membangun iklim kesenian yang kondusif dan progresif.
Dengan mengoptimalkan segenap
potensi maupun langkah strategis dalam ranah akademik yang telah dimiliki, diharapkan
institusi pendidikan seni kita mampu menjadi
garda depan perkembangan seni rupa di kota kita tercinta. Dengannya pula
diharapkan setiap institusi pendidikan seni mampu terus menerus meningkatkan
kompetensi yang dimiliki demi terciptanya iklim akademik yang progresif dan
kontributif. Menjunjung
tinggi nilai-nilai ilmiah, etika berikut estetika yang dimiliki, menjaga standar profesionalitas dan standar kualitas
akademik , adalah sekian nilai yang harus terus
dijaga oleh institusi pendidikan seni dalam mencetak seniman
professional yang mampu menghargai aspek etika profesi sebagai pencipta
maupun pengkaji seni rupa yang kreatif, inovatif dan professional, yang mampu
dipertanggungjawabkan secara etik, moral, kepentingan masyarakat dan akademik
dalam kontek kebudayaan global. Nilai-nilai penting ini pulalah yang harus menjadi landasan bagi pembuatan
kebijakan akademik dan terus dikembangkan melalui berbagai instrumen serta
dilaksanakan secara komprehensif beserta jaminan mutu, pemantauan dan
evaluasinya sehingga menjadi budaya kreatif di lingkungan institusi pendidikan
seni dan yang lebih luas lagi, seni rupa
Kota Solo.
*) Penulis adalah masyarakat seni rupa Surakarta,
Mahasiswa Pascasarjana ISI Yogyakarta.