Rememori
Baliho besar
terpasang tinggi disamping Gedung Agung Istana Negara Yogyakarta itu seakan
membelalakkan mata. Menatap lukisan didalamnya menghantarkan imajinasi tentang
memori yang teringat didalamnya. Sebuah catatan sejarah yang mengenang
perjuangan pelukis dalam kontribusinya terhadap perjuangan bangsa ini. Sebuah
catatan dokumentasi pejuang revolusi terreproduksi secara jelas didalamnya.
Kawan-Kawan Revolusi, sebuah lukisan potret dalam satu frame wajah-wajah
rekan-rekan pejuang Sudjojono, Bapak Seni Lukis Modern Indonesia[1].Gambar
itu sangat menarik, betapa tidak, lukisan Sudjojono ini- diantara sekian banyak
lukisan revolusionernya- menjadi satu petanda penting dalam sejarah perjuangan
bangsa ini melawan kolonialisme.
Lukisan –
lukisan dokumentatif ini menjadi satu penanda penting juga terhadap
respiritualisasi para seniman pasca pergolakan Clash 2 di Yogyakarta. Dalam
sebuah catatan, selepas perang, seniman banyak yang kembali melukis bunga,
perempuan-perempuan dan pemandangan alam, pada saat itu seniman mulai
kehilangan semangat untuk menggambarkan semangat revolusioner yang sedang
dibangun Sukarno. Gelagat ini ditangkap Sukarno. Kemudian ia memerintahkan para
seniman-pada waktu itu seniman SIM tahun 1949- untuk mendokumentasikan kembali pergolakan
politik dalam karya-karyanya. Imaji-imaji tentang peperangan dalam memori
mereka muncul dalam karya-karya api revolusi, Sudjojono, Hendra Gunawan,
Affandi dan kawan-kawan, yang sekarang terpampang megah dalam Istana Negara di
Yogyakarta[2].
Gagasan redokumentasi karya-karya
revolusi Sudjojono dan kawan-kawan ini mengacu pada lukisan-lukisan seniman
Rusia seperti Vasily Surikov, Victor Vatsenov, Ilya Repin dan lain-lain.
Semangat
revolusi dalam lukisan realisme kembali bergolak, mencatat semangat zeitgeist revolusionarisme Sukarno.
Goresan Revolusi
Soekarno
menjadi penyemangat revolusi bagi para seniman pada waktu itu. Bagaimana
kedekatannya dengan Jepang pada awal pergolakan Revolusi, telah menggerakkan
para seniman untuk berkarya demi perjuangan bangsanya. Kita bisa mencatat
bagaimana hasrat yang kuat dari Sukarno dan kawan-kawannya untuk membangun
kesenian dan kebudayaan revolusioner Indonesia didukung oleh Letnan Imamura,
petinggi Jepang di Indonesia. Inisiasisi ini kemudian diwujudkan dengan
bergabungnya seniman-seniman Jepang dan Indonesia. Hingga pada April 1942 (atau
2602 menurut tahun Jepang) persekutuan itu terwujud di Jakarta. Bulan September
1942 terjadilah pameran karya seniman Indonesia-Jepang pertama[3]. Politik
kebudayaan yang dibangun Sukarno dengan dengan Jepang, dimulai pada pertengahan
bulan Maret 1942. Saat pemerintah Hindia Belanda jatuh ke tangan Jepang, sebuah
gerakan simpatik mengalir dari Jepang. Proses pembangunan kesenian dan
kebudayaan ditawarkan, suatu hal yang tidak pernah diperhatikan pemerintahan
penjajahan Belanda dengan Politik Etis-nya. Semboyan politik Jepang yang
didengungkan kala itu adalah Bersatoelah Bangsa Asia. Sementara semboyan
yang lebih spesifik, yang di antaranya berkait dengan kebudayaan adalah Ajia-no
Ajia atau Asia untuk Asia. Bung Karno merasa bahwa inilah saatnya
kesenian Indonesia, sebagai bagian dari kebudayaan Indonesia, bangkit. Untuk
itu diperlukan kerja sama antara pemerintah pendudukan Jepang dengan bangsa
Indonesia[4].
Semangat
besar Sukarno mendorong seni
revolusional muncul sedemikian kuat. Upaya –upaya yang dilakukannya dengan
mendekati Jepang dilakukan dengan mendukung
pembangunan Keimin Bunka Shidoso atau Pusat Kebudayaan pada 1 April
1943. Dengan pendirian lembaga ini, Bung Karno sebagai penggerak kemajuan (dan
kemerdekaan) bangsa semakin memperoleh peluang untuk bangkit.[5] untuk
menggali semangat nasionalisme para seniman dengan menempatkan seniman
pribumi dalam organisasi tersebut.[6]
Nasionalisme
Soekarno juga sangat terlihat akan sikap sentimentalismenya terhadap kesenian
dan kebudayaan Barat pada jaman pendududukan Jepang. Hal ini dapat kita cermati
dari sikap Sukarno yang tak ingin mendekati komunitas perupa Hindia Belanda
yang memusat di gedung Bataviasche Kunstkring, di jalan Heutszboulevard no1
(kini jalan Teuku Umar), Jakarta[7]. Semacam tautan lurus dengan Sudjojono saat menolak
pandangan “mooi indie”, Sukarno pada saat itu mencari jiwa zaman bangsanya.
Menghantarkan seniman kearah gerbang penyadaran revolusioner bangsanya.
Menyemaikan benih nasionalime didada para seniman, meskipun harus dibumbui
dengan “persekutuan-persekutuan”![8]
Raba Estetika Soekarno
Melihat
foto Soekarno dengan mengepalkan tangan di depan lukisan Kawan-Kawan Revolusi,
menyiratkan bagaimana api revolusi dan nasionalisme begitu menggelora. Bagi
setiap orang yang menatap tentulah akan beranggapan bahwa semangat revolusi ini
tercermin dalam semua karya koleksinya. Namun ternyata anggapan itu bisa melenceng
keliru. Pilihan koleksi karya Soekarno sungguh sangat beragam. Kebanyakan karya
koleksinya bertemakan manusia (wanita), landskap, still life, lingkungan dan
bunga-bunga. Sementara lukisan yang bertemakan revolusioner justru kurang dari
10%!
Sebagaimana
yang dituturkan oleh Sitor Situmorang, Sukarno menggunakan “paradigma estetik”
dalam menilai, tidak piktoral ataupun literal. Pepatah “A thing
is joy forever” yang acapkali di ujarkan oleh beliau agaknya menjadi
prinsip penilaiannya, sebuah pepatah yang berartikan keindahan adalah sesuatu
yang kekal. Bagi Sukarno, teknik menjadi satu pertimbangan penting dalam
menilai presentasi sebuah karya. Karena teknik yang digubah dengan apapun akan
menghadirkan keindahan.
Dalam
pandangan Guruh Sukarno Putro, bagi orang yang berpandangan sempit dan
hiperbolik, tentu lukisan-lukisan Soekarno lebih banyak dikaitkan dengan gelora
revolusi, namun karya-karya bertema “revolusi “ itu tidak serta merta dikaitkan
dengan visi estetik pribadi Sukarno. Semuanya lebih dikaitkan dengan
konteksnya, situasi dan kondisi Negara pada saat itu.
Berkaca
dari pandangan ini, potret Sukarno didepan lukisan Sudjojono, Kawan-Kawan
Revolusi, merupakan sebuah sistem untuk membangun apresiasi public akan visi
estetik revolusioner yang gencar dikumandangkannya. Sukarno memainkan peran
bagaimana nasionalisme itu harus ditumbuhkan. Dan salah satu cara yang
digunakan adalah dengan membuat simbolisasi, redokumentasi memori, membekukan
ingatan untuk melawan lupa. Potret ini tidak bisa menidentikkan gelora yang
terpancar dari dalam semanagtnya, bahwa revolusi kebudayaan harus bejalan
seiring, mendukung revolusi perjuangan. Dan visi estetiknya terhadap eksotika
negerinya (perempuan, keindahan alam dsb), tiada lain merupakan ekstase
nasionalisme pribadi yang jauh dari
hiruk pikuk genderang revolusi.
Namun
Sukarno yakin, bahwa seniman adalah agen perubahan dinamika kehidupan Negara.
Sejarah mencatat hanya pada pemerintahan Sukarno lah, seniman bebas keluar
masuk istana. Baginya, mengatur politik harus melibatkan seniman, mengatur
diplomasi harus melibatkan seniman hingga mengatur tata kota pun harus
melibatkan seniman. Lagi-lagi sejarah mencatat bahwa Henk Ngantung pernah
diangkat menjabat sebagai Gubernur Jakarta[9].
Disinilah
sebuah catatan menarik, seni akan dimaknai dalam konteksnya masing-masing.
Bersandar Di Samping Kawan-Kawan Revolusi
Sukarno
berdiri tepat disamping lukisan itu. Rautan penuh gelora memancar dari mukanya,
menyiratkan dia adalah bagian dari Kawan-Kawan Revolusi. Tangannya yang
menggenggam erat seakan menahbiskan semangat keyakinan, bahwa seniman adalah
pengikat memori sejarah bangsanya, seniman adalah perekam jejak patriotik para
pejuangnya, dan seniman adalah pengingat nilai revolusioner bagi rakyatnya.
Memandang
bagaimana Sukarno begitu kuatnya mengekspresikan semangat itu, saya merasakan
bagaimana Kawan-Kawan Revolusi menjadi catatan bagaimana sang pemimpin besar
Revolusi membangunkan kepercayaan bahwa ada nasionalisme yang akan terus
tumbuh, akan terus diingat, akan terus digelorakan oleh para seniman. Ia
menjadi jiwa jaman, menjadi penerus gelora Kwan-Kawan Revolusi.
[1]
Menyatakan Sudjojono sebagai Bapak Seni Lukis Modern Indonesia kiranya bukan
sesuatu yang perlu diperdebatkan meskipun asumsi-ini masih belum teruji dalam
historiografi seni rupa kita.
[2]
Pada awalnya lukisan-lukisan ini terpampang di Istana Merdeka Jakarta, namun
sekarang dipindahkan ke Istana Negara Yogyakarta.
[3]
Agus Darmawan T dalam Bukit Bukit Perhatian, Penerbit Gramedia, Jakarta.
[4]
Henri Cartier Bresson dalam Harian Suara Pembaruan Online.
[5]
Adapun pendirian lembaga itu tertulis demikian, sebagaimana dimuat dalam
pemberitaan majalah Djawa Baroe, no.3, tahun 2603, Jakarta. “Sedjak 1
April 2603, di Djakarta, Poesat Keboedajaan atau Keimin Boenka Shidosho,
didirikan sebagai satoe tjabang loear Goensei Kanboe Sendehoe, dikepalai oleh
seorang Tjo; dan terbagi dalam 5 bahagian: Bhg. Loekisan dan Oekiran, dengan
anggota badan pimpinannja: T.Kohno. Bhg.Kesoesastraan, dengan anggota badan
pimpinannja: Takeda. Bhg.Moesik, dengan anggota badan pimpinannja: N.Lida.
Bhg.Sandiwara dan tari menari, dengan anggota pimpinannja, K.Yasoeda. Bhg,
Film, dengan anggota badan pimpinannja: Soichi Oja.” Lihat dalam Agus
Darmawan T dalam Bukit Bukit Perhatian, Penerbit Gramedia, Jakarta.
[6] Keimin Bunka Sidosho no.2, 26 Desember 2603, muncul
nama RM Soebanto Soerjosoebandrio, Setioso, Emiria Soenasa, GA Soekirno,
Mohamad Saleh, S Toetoer, Soerono, Abdul Salam dan Sastradiwirja. Para
bumiputera ini diangkat sebagai asisten pemimpin Badan Pemeliharaan Seni Rupa
Keimin Bunka Shidosho Jakarta. Para pemimpin yang dimaksud adalah Saseo Ono, T
Kohno, Yasioka dan Yamamoto, yang semuanya keluaran akademi seni rupa Jepang.
Masuknya nama-nama nasionalis itu didasari prinsip asimilasi antar organisasi.
Karena Bung Karno merasa bahwa beberapa saat sebelum hadirnya Keimin Bunka
Sidosho, di Jakarta telah berdiri lebih dahulu Poetera atau Poesat
Tenaga Rakjat. Poetera dibentuk oleh "Empat Serangkai" Mohamad
Hatta, Ki Hadjar Dewantara, KH Mas Mansyur dan Bung Karno sendiri pada bulan
Maret 1943. Di dalam Poetera, ada seksi
kebudayaan yang mengurusi seni rupa Indonesia, dengan Dullah, Sudjojono, Agus
Djaya, Basoeki Abdullah sebagai tokoh dan pelatihnya. Persekutuan perupa
Indonesia - Jepang ini mendatangkan kegairahan yang luar biasa bagi dunia seni
rupa Indonesia. Lalu pameran-pameran pun banyak diadakan. Sejak Jepang
menduduki Indonesia sampai dengan April 1944, ada 14 acara pameran
terselenggara. Bahkan di gedung Keimin Bunka Sidosho yang terletak di jalan
Noordwijk (kini jalan Juanda) 39 Jakarta, terselenggara pergelaran Tenno
Heika: Techo-setsu, atau pameran peringatan ulang tahun Kaisar Jepang. Di
sana, karya 60 pelukis Indonesia dipajang, dan ditonton oleh 11.000 orang dalam
10 hari! Bahkan pemerintah Jepang membeli 9 lukisan untuk diikutkan dalam
pameran keliling Asia Timur Raya. Bedakan kenyataan ini dengan situasi seni
rupa Indonesia pada zaman kolonial Belanda.
[8] Ada sebuah pembahasan yang menarik tentang Sukarno dalam
persekutuannya dengan Jepang. penggunaan kata persekutuan ini lebih dititik
beratkan pada hubungan-hubungan kerjasama yang dipererat dengan hubungan yang
lebih personal. Sukarno mengawini Naoko Nemoto, seorang gadis Jepang, pada 3
Maret 1962. Naoko, kelahiran Tokyo 6 Februari 1940 adalah gadis cantik yang
ingin jadi pelukis. Ia juga bercita-cita menjadi pengarang dan kritikus sastra.
Ia pun suka menyanyi serta menari klasik Jepang. Bahkan bermain drama pada
perkumpulan Sishere Hayakama Art Production di Tokyo. Bung Karno pertama kali
berjumpa dengan Naoko di Hotel Imperial Tokyo. Kecantikan Naoko memekarkan
cintanya. Namun lebih dari segalanya, hasrat dan keleburan Naoko kepada senilah
yang menjerat hati Sukarno. Pada hari-hari selanjutnya, Naoko Nemoto diberi
nama baru oleh Bung Karno: Ratna Sari Dewi. Bung Karno yang senang melukis, dan
Ratna Sari Dewi yang sangat apresiatif kepada seni rupa, membawa mereka
berjalan di koridor lain. Menurut Dullah dan Lim Wasim (para pelukis Istana
Presiden), pada tahun 1964, Ratna Sari Dewi melakukan lobi-lobi di Jepang.
Hasilnya, sebagian koleksi Bung Karno yang dibukukan dicetak oleh Percetakan
Toppan,Tokyo. Buku monumental ini revisi dan wujud baru dari buku koleksi Bung
Karno sebelumnya yang dicetak di Tiongkok.
[9]
Agus Darmawan T dalam Bukit Bukit Perhatian, Penerbit Gramedia, Jakarta.