Hendra Himawan*
Pluralitas dan Demokratisasi tanpa batas
- Sudah
dimengerti bersama, bahwa seni patung merupakan cabang seni rupa yang mempunyai
banyak peluang dan keterbukaan untuk diolah dan diselusuri setiap
dimensinya. Seni patung memberikan keleluasaan, keragaman dan kebebasan
ekspresi yang lebih. Jelajah jauh yang melibas batas ‘frame’ dan ‘bingkai’,
sebagaimana yang biasa membatasi karya seni lukis atau dua dimensi lainnya.
Sedari dulu, para maestro telah melintas medium ekspresi dari kertas dan
kanvas, ke batu dan kayu. Hendra Gunawan misalnya memahat batu andesit untuk
membentuk figur, Affandi membentuk patung dari lempung, Trubus yang mengolah
potret diri dari kayu, hingga kisah-kisah Sudjojono dengan patung-patungnya
yang hancur masa Revolusi. Mereka menemu ruang kreatifnya dalam bentuk-bentuk 3
dimensi ini. Memang, masa itu seni tidaklah terlampau ketat definisinya,
semuanya seakan terbalut kata revolusi, realisme dan kerakyatan. Karya patung
masih terbingkai intuisi emosi dan ekspresi yang sama dengan karya-karya lukis
mereka. Perihal teknis pun masih benyak menjadi perhatian dan kendala.
Sebagaimana ungkapan Amrus Natalsya yang menceritakan sepanjang proses
kreatifnya sebagai pematung, “membangun patung jauh lebih sulit daripada
melukis”, demikian ujar ungkapnya.
- Namun
untunglah hadir pematung semacam Edhi Soenarso yang pertama kali mencetak
patung berukuran gigantik, dengan teknik cetak perunggu, demi gelora
revolusionis Soekarno. Karya-karya monument itu hadir memenuhi sudut Republik.
Patung-patung “Selamat datang”, “Pembebasan Irian Barat”, “Dirgantara”, menjadi
satu bentuk obsesi kemerdekaan, yang sekarang menjadi satu landmark penting
dari ibukota Negara.
- Gagasan
seni patung modern Indonesia tidak dapat dilepaskan dari peran institusi
akademik. ASRI Yogyakarata (sekarang ISI Yogyakarta) dengan jurusan seni
patung, telah menanamkan nilai-nilai penting dalam perkembangan seni patung
dengan corak realistik. Hal ini tentunya tidak jauh dari corak
perkembangan seni lukis Realisme Sosialis yang mengakar kuat dalam tradisi seni
rupa Kubu Yogyakarta. Sebagaimana, dalam catatan sejarah seni rupa Barat, bahwa
sejarah seni rupa adalah sejarah seni lukis, sementara seni patung adalah
‘ekor’ dan manifestasi lain dari produk seni lukis. Macam corak seni patuk
abstrak yang ‘mengekor’ perkembangan seni lukis abstrak. Dari kisahnya, entah
mengapa seni patung selalu menjadi ‘nomor dua’ setelah seni lukis. Paradigma
seni rupa modern yang terlampau ketat, pun mensemayamkan nilai-nilai yang
elitis. ‘keketatan’ nilai dan norma dalam penciptaan ataupun definitive seni
masa itu, di kancah seni rupa Indonesia, memicu munculnya peristiwa Desember
Hitam yang berlanjut dengan Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) yang mengusung
‘penentangan’ atas pemaknaan seni rupa yang elitis.
- Gerakan
Seni Rupa Baru Indonesia (GSRB) yang berkibar dalam rentang 1973-1978,
senyatanya telah memberikan nilai penting dalam perjalanan sejarah seni rupa
Indonesia.[1] ‘Pendobrakan’
estetik-artistik yang coba dihadirkan dalam ranah seni rupa saat itu, telah
memberikan nilai-nilai penting dalam dialektika estetik ataupun sejarah seni
yang cenderung elitis menjadi egaliter dan memicu munculnya pluralitas estetik
dan demokratisasi dalam seni rupa.[2] Masa
pergolakan GSRB pasca peristiwa Desember Hitam, telah menunjukkan kecenderungan
karya yang instalatif dengan penggunaan barang-barang yang notabenenya adalah
‘ready mades’. Sayangnya, pergerakan dan manifesto GSRB lebih kerap
dilihat sebagai “pemberontakan” terhadap kemandegan seni lukis, bukan sebagai
tawaran kredo estetis yang berbeda. Menariknya, bahwa “pemberontakan” GSRB
terhadap kebuntuan seni lukis ternyata lebih banyak menghasilkan karya-karya
yang bisa “dikategorikan” sebagai patung.
- Terlepas
dari beragam kritik ideologis ataupun orientasi dari GSRB, senyatanya
kecenderungan-kecenderungan karya para eksponen gerakan ini telah membuka
paradigma seni rupa modern Indonesia yang ketat dan hegemonik, yang memberikan
sekat-sekat yang tegas antara seni lukis, patung (seni murni) dengan cabang
seni lain (seni terapan) yang berasosiasi dengan high art dan low
art. Karya-karya GSRB mendaur ulang seni rendah, menjadi seni tinggi,
mendesakralisasi patung dan benda-benda adiluhung ke dalam karya seni yang
parodik, kontradiktif, ambigu dan menyiratkan silang-sengkarut tanda.
- Karya-karya perupa GSRB semacam, Jim Supangkat, Ken Dedes, Instalasi
patung dan kotak box, (1975),Kamar Tidur Seorang Perempuan Dengan Anaknya, instalasi, (1976). Merupakan
manifestasi dari nilai-nilai elitis yang berlaku dalam gagasan kultural
masyarakat, yang didesakralisasi, mengesankan vandalistik. Siti Adiyati
Subangun, Instalasi Cermin, instalasi, (1976). FX.
Harsono, Rantai Yang Santai, Instalasi kasur dan rantai, (1975). FX.
Harsono, Paling Top, Instalasi, senapan mesin mainan,
dan textile (1975). Karya-karya mereka adalah instalasi dan patung
bersetumpu. Sementara, karya Bonyong Muni Ardhie, yang bertajuk Monumen
Revolusi, Mixed media, 1976, adalah ungkapan satire atas karya
patung monumen yang hanya berisi sosok kokoh dan megah saja. Menghadirkan sosok
tubuh tua yang rapuh, bermaterial plastik, ia hadirkan patungun-monumental. Para seniman GSRB berusaha untuk membuang sejauh
mungkin sikap-sikap ”elitisme” yang ”membangun bahasa-bahasa elitis” di mana
pada awalnya hal itu menempel sangat erat dalam benak sebagian besar seniman
pada waktu itu.
- Mereka
membuang sejauh mungkin imaji akan
nilai-nilai elemen khusus dalam seni rupa, seperti elemen lukisan, elemen
gambar dan sebagainya yang sarat didengungkan pada waktu itu. Mereka meleburkan
keseluruhan elemen tadi dalam satu kategori karya yang mempunyai konteks dalam
elemen ruang waktu, gerak dan sebagainya[3],
kendati didasari akan ”estetika ” yang berbeda. Seni merupakan bahasa tanda, sebagai bentuk respon
individu terhadap realitasnya. Bagi mereka, seni merupakan media untuk
mengaktualisasikan persoalan-persoalan yang ada di luar sang seniman, sebagai
sebuah opini pada zamannya. Sebagai
gerakan pemikiran, GSRB memberi konteks baru dan bukan hanya mempraktekkan
teori secara mentah. Penggunaan unsur-unsur objek temuan berarti bereaksi
terhadap realitas sekeliling. Penggunaan kolase serta bentuk-bentuk comotan adalah
tanggapan terhadap estetika budaya massa. Pengaruh dunia eksternal yang begitu
kuat kemudian berubah menjadi dorongan untuk memberikan kritik pada situasi
yang sedang berkembang.Kontekstualitas gagasan yang mengacu pada kecenderungan konteks
kultural pada masa itu, melahirkan gagasan-gagasan penting yang melahirkan
kredo estetik tersendiri, suatu kredo estetika seni postmodern[4].
Kredo estetik yang mewadahi kecenderungan selera estetika seni kontemporer saat
ini. Pluralitas yang tanpa batas.
- Dalam perjalanannya kelompok ini ternyata mampu
memberikan sebuah wacana baru dalam perkembangan seni rupa kontemporer
Indonesia. Perkembangan yang dimunculkan tidak hanya dalam ranah estetik dan artistik
saja, namun lebih dari itu, gerakan ini dianggap sebagai penancap tonggak
manifestasi dan konsep besar-besaran dalam gerak seni rupa Indonesia hingga
saat ini.
- Pluralism
dan seni tanpa batas, telah menjadi kecenderungan dari perkembangan seni rupa
kontemporer kita saat ini. Seni lukis telah melewati sudut kanvas dan frame
yang membingkainya, seni patung telah menembus batas-batas dimensi, medium dan
pemaknaannya. Menyitit artikel legendaries yang banyak dikupas oleh para
penulis seni, Rosalind E. Krauss, Sculpture in the Expanded Field, The
Originality of the Avant-Garde and Other Modernist Myths, London: MIT
Press, (1986), bahwa definisi seni patung kini telah meluas dan terus mencair.
Pergolakan seni modern Barat yang melumpuhkan hegemoni seni lukis modern (yang
‘turut’ menyemangati munculnya pergolakan GSRB di Indonesia) pada kisaran tahun
1960an, telah membalikkan seni patung dalam posisi mayor. Pergerakan seni
patung tidak lagi bertumpu dalam kaidah-kaidah modernis yang tersekat dan
bertopang pada setumpu (pedestal), namun lebih jauh, praktek seni patung telah
melawan sekat dinding ruang menuju alam terbuka. Mengolah alam sebagai sebuah
karya seni patung (site spesifik). Di samping itu,selentingan ‘urinoir
R.Mutt’ Marcel Duchamp yang menggaung sekian tahun kemudian, ‘Brillo Box’ Andy
Warhol, beriring dengan spirit Posmodernisme.
- Pluralisme
yang diusung oleh posmodernisme, seakan semakin mendorong seni patung
kontemporer, diolah, dikaji, dimanfaatkan dan bahkan dihancurkan maknanya
oleh para seniman sendiri. Keleluasaan, dan tiadanya batasan yang ketat,
menjadikan seni patung kontemporer sebagai ‘objek bebas yang bisa dianiaya oleh
siapapun’. Spirit pluralisme (yang menjadi jargon besar dalam seni rupa
kontemporer saat ini), bukan lagi penentangan terhadap
batasan, melainkan merayakan kemungkinan yang tak terbatas, termasuk di dalamnya
pilihan untuk menjadi ‘terbatas’.
- Dengan
kebebasan, kemerdekaan, keleluasaan kemungkinan yang ditawarkannya, seni patung
kontemporer tidak hanya mencakup karya-karya pematung, namun juga karya-karya
bukan pematung (pelukis, arsitek, design interior, pengrajin), yang menciptakan
karya dengan logika-logika ‘patung’. Bahkan menciptakan karya yang di luar
logika seni patung sekalipun (seperti barang-barang kerajinan, patung souvenir,
dan karya tiga dimensi yang lainnya). Persoalan-persoalan definitive
yang sering dilansir oleh para penulis ataupun kritikus seni tentang apa
batasan seni patung, karya patung dengan kriya atau karya patung dengan
design produk saat ini, merupakan fakta betapa batasan seni patungkontemporer
saat ini menjadi sangat luas dan beragam. Tidak ada lagi
eksklusifitas dan otoritasi dalam pengkategorisasian seni patung sendiri, semua
telah cair, dan bahkan tak terdefinisikan.
- Sebagaimana
sejarah seni rupa kita yang merupakan produk derivasi dari perkembangan seni
rupa Barat, seni patung kontemporer kita pun tak bisa lepas dari pengaruh seni
patung kontemporer Barat. Lihatlah geliat patung-patung action figure ataupun character
model yang masuk dan meracuni perupa muda kita. Bentuknya
yang menarik, animamik, telah menghasut para perupa lowbrow,
yang senyatanya mencerabut mereka dari akar kulturnya sendiri. Namun demikian,
perkembangan kebudayaan popular dan pengaruh visual tidaklah mudah ditolak.
Semua menjadi sah untuk menjadi sumber inspirasi dan berkreasi.
Atas
nama ‘kontemporer’, semua bisa dan boleh untuk dilakukan !
- Sepanjang
sejarah seni rupa Indonesia, ‘market’ memang selalu berpihak kepada seni lukis.
Istilah ,booming’ pun disematkan kepada iklim market yang membawa angin sejuk
kepada para pelukis. Fenomena menarik, banyak kemudian para perupa lintas
disiplin seni (desainer, printmaker, kriyawan, dan pematung) sontak menjadi
pelukis. Sebutlah tahun 1980an, akhir 1990an, pertengahan akhir tahun 2000an,
seni lukis merajaichart gallery, auction, maupun dindng-dinding
rumah kolektor. Namun belakangan kejenuhan akan seni lukis mulai muncul banyak
para pelukis yang mulai beralih media, mereka mulai melirik potensi karya 3
dimensi (patung). Pasar pun mengamini kecenderungan ini. Kebanyakan pelukis
mulai mencipta patung dengan beragam kemungkinan. Pun demikian dengan printmaker, designer
dan perupa lintas disiplin lainnya. Hal ini tentu banyak dipicu oleh para
perupa yang telah sukses terlebih dahulu di pasar, yang kebanyakan mereka
melintasi beragam media dalam membuat karya. Ya bikin lukisan, bikin patung,
instalasi, terkadang-kadang membuat performance art.
- Atas
nama pluralitas dan demokratisasi seni dalam pemahaman umum, ataupun mencari
kemungkinan baru dalam pemahaman yang lebih holistik, semakin cairnya
identitas seniman dan keleluasaan dalam seni patung, para pelukis banyak
melakukan diversifikasi dan mentransfer gagasan-gagasan dua dimensinya kedalam
sebuah objek 3 dimensi. Mereka menerapkan gagasan lukisannya ke dalam seni
patung. Banyak alasan mendasar dari praktik ini muncul karena objek lebih mampu
mewakili gambar, atau yang lebih sederhana, agar karya yang dihasilkan lebih
beragam. Ada 2 dimensinya, pun ada 3 dimensinya. Kesemuanya hanyalah peluang
dasar untuk mendiferensiasikan produk estetik yang dihasilkan. Tanpa
dasar dan landasan konsep seni patung pun, tidaklah menjadi soal. Berbeda
dengan banyak pematung yang akademik yang terkadang masih memegang
konsep-konsep esensial dari seni patung.
- Para
‘perupa lintas media’ ini persoalan eksekusi gagasan pun bukan sebuah hal yang
sulit. Untuk mendapatkan karya yang baik, mereka tinggal menunjuk para pematung
untuk membuatnya. Mulai dari proses modeling hingga pencetakan karya (resin/logam)
semua bias dibuat dengan sempurna. Kesadaran akan ‘komoditas artistik’ berlaku
disini. Para perupa ini menyadari bahwa, object yang sempurna akan melirik mata
kolektor dengan sempurna pula. Maka berjayalah ia!
- Maka, pluralism yang
mensilang sengkarutkan sistem, definisi, kategorisasi, otoritas dan membuka
identifikasi seniman, sungguh membuat posisi kondisi pematung (dalam pengertian
khas akademik) semakin tersudutkan. Mereka harus dipaksa berkompetisi dengan para
perupa ‘lintas media’ (meskipun pandangan ini bisa sangat diperdebatkan).
Cairnya identitas seniman dan pematung, luasnya definisi dan praktik
penciptaan karya patung, menjadi semacam potret dari absurditas seni rupa
kontemporer saat ini. Maka benarlah yang diungkapkan Jean Baudrillard, sociolog
Perancis dalam Contemporary Art : Art Contemporary with Itself, bahwa
seni kontemporer akan ‘kontemporer’ dengan sendirinya. Dibingungkan oleh
keadaan nyata, tidak diketahui transedensi waktu, apakah dari masa lalu,
sekarang ataupun masa depan. Kekacauan
dan silang sengkarut pelbagai tanda, tumpang-tindihnya masa lalu, masa kini dan
masa depan dalam satu ruang seni yang sama.[5]Tidak ada lagi yang baru dan otentik, menisbikan orisinalitas, dan
menganggap semuanya sekedar permainan, yang bertuju pada kapital. Dan semuanya,
sah saja!
- Uraian
diatas ini adalah sebuah gambaran dari realita seni patung kontemporer saat
ini. Posisi, kategori, definisinya yang luas dan serba terbuka, sebangun dengan
perkembangan budaya popular, seni kontemporer, dan estetika postmodernism yang
dianut, senyatanya menjadi kegelisahan bagi kami. Sedemikian cairnya seni
patung ini disusuri dan dikonstruksi oleh para ‘perupa lintas media’, dimanakah
posisi para pematung akademik sebenarnya saat ini? Sejauh apakah
pluralitas menghargai nilai dan konsep dasar seni patung yang selama ini
dijunjung oleh pematung akademik? Sejauh apa pluralitas seni patung kontemporer
menghargai nilai-nilai yang bertumbuh dari gagasan-gagasan tradisional (konsep,
materi, teks visual maupun aspek sosialnya)?
Spirit
Rajakaya, Spirit Seni Patung
- Pameran Patung RAJAKAYA, diusung oleh 3 orang perupa muda
(Karyadhi, Yusuf Dilogo, I Nyoman Agus Wijaya) adalah potret dari kegelisahan
atas ragam perkara yang diuraikan di atas, sekaligus harapan yang bertumpu
menjadi satu. Satu alasan tegas yang dilontarkan adalah: kegelisahan mereka
atas seni patung yang selalu saja di posisikan ’nomor dua’ dalam perbincangan
seni rupa Indonesia! Disamping itu, faktor lain seperti posisi para pematung
yang sedikit jumlahnya, ruang presentasi (kompetisi patung atau pameran seni
patung) yang semakin jarang, sementara banyak para perupa lintas media mulai
bermain di ’wilayah’ seni patung adalah segumpal polemik yang ingin diketahui
lebih terang, untuk itu mereka hendak ’bersuara’.
- Pameran mereka bertiga kali ini mengambil tajuk RAJAKAYA.
Satu istilah dalam bahasa Jawa yang berarti ’harta kekayaan’ yang berwujud
hewan ternak (sapi, kerbau, kewan iwen). Bagi
masyarakat Jawa, hewan-hewan tersebut bukan hanya sebentuk capital (kekayaan)
atau investasi, namun juga sudah dianggap sebagai bagian tidak terpisahkan dari
kehidupan manusia Jawa. Bagi masyarakat Jawa, ada tiga macam bentuk kekayaan.
Pertama adalah raja kaya yakni semua hewan ternak
atau peliharaan seperti sapi,
kerbau, kuda, kambing, babi, ayam (kebo, sapi, pitik, iwen) . Adapun
harta-harta benda seperti rumah, perhiasan emas, sertifikat tanah, surat
berharga lain, termasuk alat transportasi itu dinamakan raja
brana. Ketiga adalah karang kitri pekarangan, ladang,
dan atau sawah.
- Rajakaya (hewan
ternak) bagi masyarakat Jawa, merupakan harta benda yang menjadi bagian
penting dalam lini tradisi sekaligus wajib hadir dalam laku spiritualitas
kebudayaannya. Ia menjadi simbol dari kekayaan, status dan jabatan, maupun
prasyarat ritual demi ketentraman dan kesejahteraan sebuah keluarga maupun
masyarakat. Bagi masyarakat Jawa, Rajakaya adalah harta yang
sangat berharga. Rajakaya ibarat sebuah kekayaan, sebuah simbol dari harga diri
dan kehormatan. Orang yang mempunyai kekayaan (baik materi ataupun
batin/linuwih) dia akan dihargai dan dihormati. Namun bagi ‘orang miskin’
(mental, batin), kehormatan yang diberikan hanyalah karena belas kasihan
(margo kawelasan).
- Kenapa
Rajakaya begitu berharga? Selain karena kehormatan, Rajakaya sesungguhnya
diperoleh dengan laku prihatin yang dalam, "Sapa obah
mamah, ulet ngelamet, ana awan ana pangan, tuking boga seka nyambut karya,
sregep iku gawe kamulyan" (Siapa bekerja dapat makan, siapa
cerdik dan kerja keras makan enak, ada hari ada rezeki, rajin bekerja sumber
kesejahteraan, makan enak dan baik, hasil laku prihatin, cegah dhahar lan
guling(mengurangi makan dan tidur) tirakat atau kerja keras).
- Rajakaya
adalah buah dari laku urip (laku hidup) yang harus dijaga, sebagaimana menjaga
harga diri. Sebab, ia diperoleh dari kerja keras selama bebadra,
mbangun brayatagung ing madyaning bebrayan (sejak hidup membangun
keluarga di tengah pergaulan bermasyarakat). Rajakaya, menjadi pelengkap utama
hidup dalamlaku jantraning ngaurip (menapaki jalannya kehidupan), minongko
pepati iku pepesthening Gusti (kematian adalah misteri Tuhan),
sementara manusia hanya dapat membuat pepethan (perencanaan hidup
saja).
- Menjaga
Rajakaya, adalah menjaga nilai leluhur, ngugemi piwulang luhur warisan
leluhurnya agar dalam menapaki kehidupan, jangan ninggal petung
linandhesan kawruh luhur dari para pendahulu/leluhumya. Sebab siapa ninggal
petung akan buntung, siapa nerak pepacuh/larangan leluhur
akan tidak lestari hidupnya.
- Menautkan
gagasan seni patung dengan konsep Rajakaya yang diusung sesungguhnya
tajuk ‘tradisi’ yang diambil sebagi spirit penciptaan dan presentasi
karya ini menjadi perlambang negosiasi atas wacana kontemporer yang senantiasa
mempersoalkan nilai dan material tradisional. Entah itu aspek visual ataupun
aspek sosialnya. Sungguh, tradisi bagi ketiga perupa muda ini bukan sekedar
objek, teks yang dibaca, namun lebih jauh dari itu, mereka lahir, tumbuh dan
besar dalam konteks tradisi yang kental. Bukan sekedar memperjuangkan
tradisi, namun lebih dari itu, menjaga dan merawat tradisi. Dan poin utama
dalam pameran Rajakaya ini adalah ‘spirit berkesenian’.
- Esensi
Rajakaya sendiri ibarat seni patung. Harta kekayaan yang diperoleh dengan
sekuat tenaga, berpeluh keringat belajar, melatih skill, melatih kecakapan
konseptual dan melatih mental diri sebagai seniman. Seni patung adalah
kehormatan, dan harga diri. Bukan dalam perkara materi ataupun kekayaan
financial, namun lebih dari itu, laku jantraning urip, semua
tentang bagaimana menjalani dan memaknai hidup. Sebab Urip iku Urup (Hidup
Itu Nyala, hidup itu harus member manfaat bagi diri dan orang disekitar kita).
- ‘Menjaga’
seni patung ibarat menjaga idealisme kesenimanan. Bahwa menjadi seniman itu
tidaklah mudah,datan serik lamun ketaman, datan susah lamun kelangan (tidak
mudah sakit hati, tidak mudah sedih manakala kehilangan sesuatu). Paradigma
seni kontemporer yang serba cepat dan menawarkan sesuatu yang lebih bebas dan
‘apapun boleh’, menjadi satu rambu penting untuk tetap menjaga idealisme diri
sebagai seniman, untuk Aja Gumunan, Aja Getunan, Aja Kagetan, Aja
Aleman (tidak mudah terheran-heran, tidak mudah menyesal, tidak mudah
terkejut, tidak mudah manja dan ngambek).
- Fokus
mereka untuk memperjuangkan seni patung adalah orientasi visi yang terfikirkan
dengan matang. Idealisme yang lugas, tegas, dan tidak mendua, Ora
Mangro Mundhak Kendho (tidak berfikir mendua, agar tidak kendor niat
dan semangat).
- Seperti
Rajakaya yang tidak pernah lepas dari si empunya rumah, dalam Primbon Jawa,
kandang Rajakaya ana sakidul wetaning gandok. Berdekatan
dengan dapur, sebagai simbol penghidupan dan praja. Dalam tradisi
Jawa, anak lelaki mempunyai tanggung jawab besar untuk menjaga kandang
Rajakaya. Mencari rumput di padang, menyiapkan air minum ternak, terkadang
mengobrol atau menyanyikan kidung untuk ternaknya. Kedekatan Rajakaya dengan
anak laki-laki, menyiratkan nilai maskulinitas yang ditanamkan sejak
kanak-kanak bagi seorang lelaki. Wisma, Wanita, Kukila, Turonggo,
Curiga adalah sekian hal yang harus dimiliki oleh setiap lelaki demi
kehormatan dan harga dirinya. Secara keseluruhan dari karya yang dihadirkan
ketiga perupa lelaki ini, menunjukkan nilai-nilai maskulinitas dan kehormatan
yang mesti dijaga dan diperjuangkan.
- Melirik
sisi lain dari proses penciptaan karya ketiga perupa yang sangat beragam,
senyatanya penciptaan karya mereka berpijak dari realitas diri (sebagai
manusia, sebagai seniman patung). Tengoklah karya I Nyoman Agus Wijaya
yang bercerita tentang kilas balik proses kreatifnya selama ini melalui
karya bayi anjing-anjing yang berjajar menumpu pada dinding. Gagasan ‘lahirnya
generasi baru’ menunjukkan kematangan dan keyakinan diri akan profesi sebagai
pematung yang mesti digeluti dan diperjuangkan dengan penuh kemandirian, saat
ini. Dalam karya lainnya, ia banyak merespon nuansa cultural yang terjadi
disekelilingnya. Perubahan gaya hidup, budaya massa, fashion dan lifestyle,
ditransformasikan dalam figure-figur anjing berbahan plat yang telah menjadi
cirikhasnya selama ini.semangat zaman coba untuk dihadirkannya. Entah dalam
nuansa potret realitas saja, ataupun dalam misi kritik yang menggelitik.
- Karya
Yusuf Dilogo, berpijak dari persoalan yang sangat melekat dalam konteks
masyarakat tradisi. Rumah, wisma, karang kitri. Bagaimana pemahamannya akan
keberadaan bangunan, ia tautkan dengan persoalan spiritualitas kultural dari
masyarakat disekitarnya. Bagaimana sepetak rumah menjadi perihal penting
penanda maskulinitas lelaki Jawa, bagaimana rumah berasosiasi dengan nilai
ketuhanan, dan bagaimana ‘rumah menjadi tempat dimana mimpi-mimpinya dibangun’.
Berbahan plat kuningan yang menemu rupa abstraksi bangunan yang dipertemukan
menjadi sosok figur, entah binatang-entah manusia, Yusuf melontarkan gagasan,
bahwa bangunan, rumah, tanah, adalah ‘praja’ (sebuah
kehormatan), sebagaimana seni patung adalah kehormatan dan nilai rumah yang
menaungi hidup dan pilihannya. “Sekarang saya menghidupi karya-karya ini,
besok, karya-karya inilah yang akan menghidupi saya”.
- Karyadhi
dengan tegas mengungkapkan gagasan kekaryaan dan pameran Rajakaya kali ini. “Iki
wis dadi panggilan roso seng kudu tak lakoni kanti linambaran rosa rasaning
kamanungsan urip seduluran neng kesenian lan kekaryaan. SEBUAH UNGKAPAN DOA DAN
RASA SYUKUR TUMRAPING kesenianku.” Bagi Karyadhi, seni patung adalah panggilan hidup, ia
adalah harga diri yang dipilih untuk dijaga dan diperjuangkan. Bukan semata
demibrana (harta dan kekayaan), namun lebih jauh dari itu,
‘nilai-nilai kemanusiaan, dan persaudaraan’. Disanalah tersemayam esensi
kesenian dan segala macam penciptaan karyanya. Kamanungsan, kemanusiaan, nilai
yang semakin hilang kala manusia silap dengan nama, harta, ketenaran. Nilai
yang telah berangsur hilang, seiring dengan perkembangan budaya yang semakin
tidak jelas juntrungnya. Ora katungkul marang kalungguhan, kadonyan lan
kamareman. Sekti tanpo aji, Sugih tanpo Bandha, Menang tanpo
Ngasorake. Eling sangkan paraning dumadi, migunani tumraping liyan. Hamemayu
hayuning bawono. Adalah serangkaian prinsip dan pedoman hidup orang
Jawa yang saya kira mampu mewakili gagasan ‘kamanungsan’ yang diusung dalam
karya-karya Karyadi. Tidak memburu nafsu kadlungguhan dan kadonyan,
berkarya dengan jujur, nganggo roso nganggo ati, tidak
memanfaatkan kekuasaan, kekayaan dan kepandaian untuk menindas. Seni
menjadi perantara untuk mengingat jatidiri manusia, menjalani laku garis
kehidupan, mengingat ‘dari’ dan ‘kemana’ ia akan kembali. Segenap karyanya
harus memberi manfaat bagi orang lain, bagi siapapun, tuno sathak bathi
sanak (berkorban untuk merangkul persaudaraan dan paseduluran yang
banyak), Sebagai ucap syukurnya atas keseniannya, syukur kepada Gusti. Sebuah
upaya diri Hamemayu Hayuning Bawana.
- Uraian
poin yang menjadi resume dari gagasan pameran Rajakaya yang hendak digelar kali
ini menjadi satu bentuk tawaran untuk membaca dan memikirkan perihal seni
patung secara mendalam. Ia bukan lagi perkara bentuk, definisi ataupun
peluang-peluang kreasi. Seni patung, bagi ketiga perupa ini, adalah harga diri,
kehormatan yang mesti dijaga dan diperjuangkan. ‘Rajakaya’ bukan perkara
ketenaran, kekayaan, dan object kebendaan-seperti persoalan yang terus
dilangsir dalam kajian seni patung, tetapi, ‘Rajakaya’ adalah kehormatan. Dan
dengan spirit itulah kami persembahkan karya kami. (+++)
[1] Uraian ini dimulai dari peristiwa GSRB, karena
penulis meyakini bahwa benih pergolakan estetik-artistik dan perkembangan seni
rupa kontemporer (seni patung kontemporer khususnya) Indonesia, telah
ditanamkan oleh gerakan ini. Terlepas dari beragam kritik atas laku mereka,
sesungguhnya, peristiwa ini menjadi satu momentum bagaimana nilai-nilai
pluralisme dan demokratisasi seni bertumbuh. Pemahaman bahwaketika bidang di dalam
bingkai gambar telah dijelajahi sampai ke sudut terakhirnya, bahkan ketika seni
telah menyeberang jauh di luar bingkai seni di luar medium yang biasa, di
luar norma dan prinsip seni yang ada, maka seni telah sampai pada satu
titik dimana kebaruan dalam seni tidak lagi merupakan ”shock of the new”.
Penjelajahan artistik modernitas ke masa depan yang bersifat progresif, utopis,
dan tanpa batas telah berakhir dengan sebuah jalan buntu. Tidak ada lagi daerah
baru untuk dijelajahi, tak ada lagi ruang baru untuk dikuasai, tak ada lagi
kebaruan yang lebih baru. Mereka menolak gagasan konvensional tentang ‘seni
visual’ yang dikenal hingga saat ini yang terbatas pada seni lukis, seni patung
dan seni grafis, menghargai perbedaan dan nilai-nilai baru dalam seni, dan
menolak segala jenis pendiktean seni. Manifesto mereka dalam Lima Tuntutan
Gerakan Seni Rupa Baru, senyatanya adalah cita-cita pluralisme dan
demokratisasi seni rupa yang seutuhnya bagi seni rupa Indonesia.
[2] Agus Burhan, M. lihat Seni Rupa Kontemporer Indonesia:
Mempertimbangkan Tradisi dalam Agus Burhan, M(Ed).Jaringan Makna Tradisi
Hingga Kontemporer Kenangan Purna Bakti untuk Prof. Soedarso Sp., M.A.(Yogyakarta:
BP ISI Yogyakarta, 2006), p280.
[4] Muhammad Hendra Himawan, Estetika Seni Posmodern dalam
Karya-Karya Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia, Skripsi, ISI Yogyakarta, 2009. P.
58.
nice gan atas informasi nya
BalasHapusjangan lupa juga kunjungi situs kami di
http://stisitelkom.ac.id