Oleh : Hendra Himawan
‘Menjadi sesuatu’, inilah terjemahan dari
tajuk pameran Kelompok SEPI (Seniman Pinggiran) yang diusung melalui sejumlah
karya dalam pameran “CHENG SUI #2” yang digelar di UPT Galeri ISI Yogyakarta,
Sabtu malam, 7 April 2012. Sebuah tajuk yang dipinjam dari bahasa Tionghoa,
untuk menyertakan satu harapan dan cita mereka, turut memberi kontribusi
positif dan dan mewarnai kesenian Indonesia.
Harapan untuk ‘menjadi sesuatu’ tentu bukan sembarang
cita-cita. Saya menduga bahwa tajuk ‘menjadi sesuatu’ dipilih dan lahir dari pengakuan
diri bahwa mereka berada ‘dipinggir’. ‘Menjadi sesuatu’, meski mereka ‘pinggiran’
dan berada ‘dipinggir’. Di pinggiran arus utama seni rupa, atau meminjam ungkapan pelukis dan penulis tiban, pak Yaksa Agus dalam pengantar
pameran ini, sebuah kelompok yang menjadi ‘tepian’ dari dunia seni rupa dan
kecenderungan utama.
Namun, sebagai seorang penonton pameran
kelompok SEPI ini, saya tergelitik dengan segudang pertanyaan, Kenapa muncul
pandangan dan anggapan bahwa mereka itu ‘pinggiran’ ? hingga mereka pun
‘terpaksa atau dipaksa’ untuk mengakui bahwa mereka memang ‘seniman pinggiran’.
Di pinggiran apa? Dipinggirkan oleh siapa? Dan mengapa mereka berada dipinggiran?
Lantas, siapakah yang beada di titik tengah? Apa yang menjadikan sesuatu itu
berada di titik tengah, dan berada di pinggiran? Mengapa dunia seni rupa
kontemporer yang menjunjung tinggi pluralitas ini, seakan masih memberi garis
marka yang tegas antara ‘tengah dan pinggir’, ‘tinggi dan rendah’, ‘pop dan
tradisional’, ‘modern dan kontemporer’, ‘akademis dan otodidak’? Apakah karena
seniman-seniman ini bukan seniman akademisi tinggi, sehingga dipandang tidak
mempunyai modal kultural yang ‘lebih’? Ataukah karena seniman-seniman ini jauh atau tidak mengikuti
hiruk pikuk pasar wacana dan wacana pasar? Tidak mengikuti kecenderungan
estetik terkini sehingga mereka tertinggal laju kereta dan terpinggirkan?
Karena mereka jarang untuk diwacanakan, diperbincangkan dan disuarakan? Disudutkan
oleh dunia seni rupa yang ternyata, meminjam logika mereka, terlampau hegemonis
dan berkasta?
Bapak Hamzah H.S, a.k.a Ibu Raminten,
pengusaha dan pecinta budaya, selaku pembuka pameran kelompok SEPI, dalam
sambutannya mengatakan bahwa nama ‘SEPI’ dan kata ‘Pinggiran’, memang
mengesankan pesimisme, jadi mereka harus bekerja lebih giat dan lebih keras.
Namun, kalo boleh saya menyatakan bahwa anggapan-anggapan ini justru terbalik.
Mereka sungguh-sungguh konsisten dalam berkarya dan menggelar presentasi karya.
Mereka telah menggelar pameran ke beberapa kota hingga ke mancanegara. Tentu
hal ini bukan sebuah usaha yang remeh. Melihat pameran kelompok SEPI kali ini
sangatlah riuh. Ramai dan optimis! Karya-karya yang dihadirkan pun mengesankan
kesungguhan berekspresi, meski beberapa diantaranya masih bergulat dengan
persoalan teknis.
Gagasan yang tulus, apa adanya, menggunakan
simbol-simbol yang sederhana dan lugas, mereka usung semangat tradisi
(Cina-Jawa, sebagaimana konsep tajuk pameran kali ini), potret realita sekitar,
dan kecenderungan landskap lingkungan yang bercerita. Kecenderungan karya yang
dihadirkan pun sangat beragam. Ada yang dekoratif, realism simbolik, surealis, hingga kecenderungan-kecenderungan ‘baru’
semacam pop art dan street
art! Meski sederhana, ekspresi dan semangat berkarya mereka luar biasa.
Melihat karya-karya yang dihadirkan, tampak setiap seniman menikmati setiap
proses kreatif mereka. Seakan mabuk dalam euphoria seni, terus bekerja dan
bekerja keras. Apakah mereka terpinggirkan dari wacana estetik yang sedang
bergemuruh saat ini? Karya-karya mereka menjawab tidak! Mereka hadirkan
keberagaman estetik dan kemerdekaan berekspresi yang senyatanya.
***
Pinggiran. Satu kata yang mengisyaratkan
tepian. Meniti jalan di tepi, berada ditapal batas. Namun senyatanya dalam
ruang ‘pinggir’ mereka cepat untuk menjadi besar.
Mengambil semangat proses kreatif yang
dihadirkan oleh kelompok SEPI, ‘pinggiran’ bukan lagi beridentik dengan marginal,
tersisih, tersudut, dan pesimistik. Justru karena berada di pinggiran, mereka
menjadi optimis! Mengandaikan seorang
yang hendak belajar atau bermain silat, seumpama mereka bermain di lapangan
terbuka, tentu mereka akan kesulitan untuk menjadi menjadi pendekar ulung.
Namun, kala mereka diberi ruangan 1x1 meter, tentu mereka akan cepat menjadi
pesilat tangguh. Kalo diruang yang lebih luas, mereka mungkin akan sering
menghindar, lebih cepat lari, dan mungkin mudah jatuh. Namun dalam ruang yang
dibatasi, mereka lebih terdidik akan keterbatasan. Dengan dipinggirkan, orang
akan menjadi lebih kreatif. Dengan dibatasi oleh tembok, orang akan belajar
bagaimana menghancurkan tembok. Maka, kuncinya mungkin bukan ruang tengah
ataupun ruang pusat. Namun ruang tepi yang terbatasi. Sebab, bukankah yang
penting dalam hidup itu adalah memahami keterbatasan? Karena dengan
keterbatasan kita akan menemukan kemerdekaan yang sesungguhnya. Dengan
keterbatasan, kita akan ‘menemukan sesuatu’ dan
‘menjadi sesuatu’!.
Setidaknya inilah yang saya resapi dari pameran
kelompok SEPI kali ini. Tumbuh dengan semangat baru, dengan kereta baru, terus
melaju, dan melaju. Karena kita percaya, bahwa tidak ada kasta dalam seni rupa!