Hendra Himawan, M.Sn


There is no abstract art ! You must always start with something.
Afterward you can remove all traces of reality.
 There is no danger then, anyway, because the idea of the
object will have left an indelible mark.

Pablo Picasso (1881 - 1973)
Spanish painter and sculptor


Di hadapan kita tergelar kanvas dengan warna-warna yang menyala. Garis-garis tegas dengan brushstroke yang kuat mengungkap ekspresi diri yang dalam. Figur binatang yang menjadi pokok perupaan berbalut dengan percikan warna dan tekstur berkerak, berkesan rapuh. Kisah-kisah pembantaian atas binatang menjadi narasi konseptual yang diusungnya. Inilah karya Cokorda Bagus Wiratmaja (Coky). Sebuah reaksi diri atas rusaknya alam dan ekologi. Abstraksi menjadi pilihan penting dalam mengungkapkan segenap empati. Abstraksi, hadir sebagai jalan baru dalam laku kreatifnya kali ini.

Empati dan Abstraksi : Jalan Estetika

“Just as urge to empathy as a pre-asumption of aesthetic experience finds its gratification in the beauty of the organic, so the urge to abstraction finds its beauty in the life -denying inorganic, in the crystalline or in general terms, in the abstract law and necesity” (Willhelm Worringer, 1907).
Seratus tahun yang lalu, pada 1906, Willhelm Worringer seorang sejarawan seni di University of Bern, Switzerland mengajukan disertasinya yang berjudul “Abstraktion und Einfuhlung (Abstraksi dan Empati)” kepada Heinrich Wolflin, George Simmel dan Arthur Wesse. Tesis utama dalam essay ini adalah sebuah pendekatan baru dalam memahami estetika yang merepresentasikan jalan yang berbeda untuk menemukan realitas di sebalik kanvas. Gagasan Worringer berawal dari pernyataan bahwa keindahan datang dari perasaan diri yang mampu menuntun kita mengidentifikasi diri dengan dunia luar dan objek itu sendiri. Ia berpendapat bahwa seni representasional lahir dari “objektivitas yang terpancar dari dalam diri kita”, cerminan dari sebuah keyakinan dan kepercayaan diri, sebagaimana yang  diyakini para seniman masa Renaissance. Sensitifitas diri seniman dan upaya untuk memahami natur secara lebih emosional adalah ‘konsep Empati’ yang diajukan Worringer sebagai tesisnya. Dan tesis  ini menjadi produk intelektual yang penting dan berpengaruh dalam teori estetik di akhir abad ke 19. Abad di mana romantisisme dan sentimentalitas hadir memberikan penekanan atas beragam upaya kultural yang hadir secara sensitif, emotik dan acuan pemaknaan yang lebih atas lingkungan sosial di sekitarnya.
                Menarik konsep Empati ke dalam proses kreatif Coky, kita akan menemukan garis merah yang kuat. Betapa tidak, ia mendasarkan seluruh narasi tematik karya-karyanya dari perlakuan manusia atas binatang-binatang yang seharusnya dilindungi. Bagaimana perburuan dilakukan dengan dalih komoditas dianggap sebagai sebuah kewajaran. Potret keji pembantaian binatang seolah paradoks dengan teriakan kemanusiaan yang seringkali terdengar. Coky sering bercerita bagaimana ia miris melihat seekor gajah yang dibantai sekedar diambil gadingnya, ataupun anjing pittbull yang dipotong telinganya agar terkesan garang. Andaikan itu dilakukan pada manusia, apa jadinya?
Ungkapan Coky ini, adalah sebuah landasan sikap empati yang tinggi. Understanding another’s feelings, upaya yang dilakukannya untuk mengerti dan memahami lebih dalam tentang alamnya. Bagaimana kerusakannya hingga bagaimana amuk murkanya.  Dari empatinya ini lahir pula kesadaran baru untuk memahami konteks diri dengan alam dan lingkungannya. Ada ikatan yang senyatanya tidak terlepaskan. Jauh dari perkara mengeksploitasi atau memanfaatkan potensi, bagi Coky, alam telah menjadi entitas psikis yang hadir kuat dalam hidup dan kekaryaannya. Empati sebagai nalar estetika, telah menuntunnya mengidentifikasi diri dengan dunia luar, memaknainya lebih dalam, dan menghadirkannya dalam objek yang berkarakter. Sensitifitas diri tercerna kuat dalam karya-karyanya.  Empati muncul bukan sekedar dorongan konseptual dan narasi dasar, namun terlampiaskan secara kuat dalam kanvas. Attribution of feeling to an object, segenap perasaan diri dan emosi, dituangkannya dalam warna dan object yang menggugah. Ada gairah (passion) dan keharuan (affection) yang berpadu disana.
Merunut kembali konsep empati yang ditawarkan Worringer dalam kajian estetikanya, konsep ini tidaklah sekedar menilik upaya-upaya yang mendorong perasaan seniman berempati atas sesuatu, namun lebih jauh dari itu, empati mampu mendorong seniman untuk “mengabstraksi”. Sebagai contoh dorongan murni untuk mengabstraksi ini dapat kita temui dalam ekspresi seni Mesir Kuno, seni Bizantium, seni Islam, seni tradisional dan primitif, hingga ekspresionisme dalam sejarah seni rupa modern. Inilah yang diajukan Worringer selanjutnya, abstraksi hadir sebagai jalan baru untuk meretas realita dunia luar. Abstraksi hadir sebagai “reaksi atas sesuatu yang menakutkan” berikut “aspek kekhawatiran terhadap realitas”. Dualitas reaksi estetik, ini menurut Worringer dapat digunakan untuk menjelaskan variabel gaya dalam sejarah seni. Dalam periode sejarah yang gelisah dan tidak menentu, seniman banyak mencari objek-objek abstrak dari kelemahan diri dan tampilan yang samar, dan menstranformasikannya dalam sesuatu yang nyata, absolut, satu bentuk ikatan transenden.
Istilah ‘abstraksi’, memang istilah yang seringkali labil. Beragam penjelasan selalu merujuk pada bentuk, padahal senyatanya ‘abstraksi’ lebih merujuk pada ‘dimensi proses’. Secara definitif ia merupakan gagasan general atau konsepsi yang dibangun atas beragam teori yang berpijak pada gejala atau peristiwa yang kongkret. ‘Abstraksi’ juga  identik dengan ‘konseptualisasi’, sebuah proses filsafati  yang dilakukan oleh seseorang untuk membangun konsep diri berdasarkan pada pengalaman atau dari konsep lain yang telah dibangun. Ada mekanisme identifikasi diri dan pola pikir lateral yang diupayakan hadir. Jadi, persoalan abstraksi bukan sekedar perkara menyederhanakan bentuk atau latar peristiwa yang diamati, namun lebih jauh, ‘abstraksi’ adalah persoalan ideologis. Ada spirit estetik yang menjadi landasan dalam membangun visual. Ada cara pandang lain yang diupayakan seniman sebagai sebuah strategi perupaan.
Melihat ke dalam kanvas Coky, abstraksi atas objek-objek yang dilukisnya hadir dari buah empati diri. Ia adalah reaksi atas rasa iba yang mendalam kala melihat pembantaian binatang,  ada kekhawatiran yang berkecamuk saat ekosistem itu pelan menghilang. Realita banal manusia mengeksploitasi alam, telah membangkitkan rasa haru. Proses filtrasi, ekstraksi dan penghayatan atas peristiwa yang dijumpainya berbumbu ‘ketidaktegaanya’ mengungkapkan peristiwa secara lugas, merujuknya untuk mengungkapkan gagasan visual dengan abstraksi. Ia mengungkapkan kekejian yang terjadi dengan visualitas yang ‘santun’, tanpa kehilangan greget dan taksu. Intensitas peristiwa dan momen empatik dihadirkannya dalam tensi yang kuat, melalui garis-garis yang ekspresif serta warna yang kuat dan mahal. Melalui abstraksi yang dihadirkannya, kita dapat melihat bagaimana Coky mengidentifikasi diri dalam membaca realitas di sekitarnya. Dengan abstraksi ia kemukakan pandangannya. Tidak linier, pun tidak mengawang. Abstraksinya hadir murni dari realitas yang dimaknai secara lugas, dihadirkannya secara matang dan tetap berdasar pada identifikasi dasar objek, bukan simbolisme yang mengarah pada abstrak murni  yang terkadang sulit dipahami. Objeknya masih bisa terbaca dengan baik. Nalar visual yang digunakan pun mampu mewakili nalar konseptualnya. Ia hadirkan sisi esensial dari narasi yang ingin diungkapkannya.
Abstraksi memang menjadi sebuah gejala dan referensi yang banyak digunakan dalam seni modern Barat, meskipun abstraksi biasa dijumpai dalam seni-seni kuno dan dalam produk artistik beragam kebudayaan. Seni abstrak hadir dari identifikasi dan pengenalan atas objek, kemudian seniman menyederhanakannya untuk menunjukkan hal esensial yang hadir dari sebuah objek. Kubisme adalah contohnya. Salah satu genre seni rupa yang berpijak pada abstraksi atas lukisan-lukisan  still life. Kubisme lahir pada tahun 1907, dimana ia mengancang reaksi pada pandangan impressionism dan postimpressionime tentang objek representasional. Picasso (1881-1973) secara frontal menginterpretasi pandangan Cezanne melalui Demoiselles d'Avignon (1907, Museum of Modern Art, New York City), dan George Brague (1882-1963) melalui Houses at L'Estaque (1908, Kunstmuseum, Bern, Switzerland), melalui pencarian intensitas artistik dari patung-patung primitif Afrika dan Iberia, yang merupakan hasil dari abstraksi bentuk-bentuk alam secara geometrik.
Non objektif atau seni nonrepresentasional hadir sebagai fase berikut dari abstraksi dimana referensi-referensi untuk mengidentifikasi objek kemudian dieliminir. Ia tidak akan berpijak lagi pada struktur dasar objek ataupun referensi atas hadirnya objek. Abad ke 20 menjadi era radikal, dimana dalam perspektif seni modern Barat, mulai mengabaikan segenap referensi untuk mengidentifikasi objek. Abstraksi, kemudian hadir murni dalam beragam pendekatan artistik. Mulai dari ritme dinamis Pollock dalam karya Black and White, sudut-sudut geometrik dari Composition with Red, Yellow, and Blue (1937-1942, Tate Gallery, London) karya Piet Mondrian, dimana garis dan bidang persegi yang dibuat mengesankan presisi mekanis dari pembuatan mesin. Hingga seniman German Kurt Schwitters, yang mencampuradukkan koran bekas, stempel dan objek-objek temuan  dalam Picture with Light Center (1919, Museum of Modern Art, New York City).

Figurasi dan Abstraksi Gestural : Jalan Visual

                Dulu ia dikenal identik dengan lukisan ikan. Arwana dan piranha adalah objek yang sering berenang dalam kanvasnya. Gerak ikan yang dinamis berikut warna-warna yang menyala menjadi ciri khas tersendiri.  Pemahamannya akan objek ikan, mulai dari bentuk, gerak, hingga detail-detail anatomi seakan telah mendarah dalam laku kreatifnya. Ia hafal betul gestur ikan saat berenang maupun melompat. Identifikasi akan objek yang secara cermat dilakukan menjadi kekuatan tersendiri dalam proses penciptaan karyanya. Bukan tanpa alasan andaikata ia melukis ikan. Kegemarannya memancing di pantai sejak kecil bersama sang kakak, menjadi latar tersendiri dalam laku artistiknya. Pantai-pantai di sekitar Tanjung Nusa Dua, Bali menjadi saksi atas laku sehari-hari Coky,  yang kesemuanya terinternalisasi dalam proses kreatifnya hari ini.
                Ia memang pelukis yang sangat terinspirasi akan alam. Sangat terinspirasi. Bagaimana ia bercerita tentang sawah-sawah di Bali yang semakin sempit, pantai-pantai yang tidak lagi asri, hutan-hutan yang dibabat habis, hingga binatang-binatang yang mulai punah. Bukan sekedar mengkisahkan kembali apa yang dilihat dan dialaminya, lebih jauh lagi semuanya diungkapkan dalam visual yang satir.
                Sebagaimana karya-karyanya di awal proses kreatifnya, ia banyak bercerita tentang rusaknya alam. Idiom ikan sebagai buah dari kegemarannya menjadi subjecmatter yang sudah dipahaminya luar dalam. Bentuk, gerak hingga anatomi luar dalamnya! Identifikasi objek yang dilakukannya secara detail, sekan menjadi metode tersendiri bagi proses penciptaan karyanya hingga kini. Maka bukan tanpa alasan pula andaikata Coky memahami detail objek yang dilukisnya.
                Coky menghadirkan bentuk-bentuk binatang dalam warna dan gerak yang dinamis. Ritme visual yang hadir mencerminkan kekuatannya akan aspek-aspek desain elementer (nirmana) berikut spontanitas dan gestur objek yang luwes. Sekilas, Coky memeluk ekspresi dua genre besar yang berbeda di dalam kanvasnya, kubisme dan  ekspresionisme Jerman. Upaya analitis bentuk a la kubisme Picasso bertemu dengan brushtroke yang energik dan impulsif abstrak ekspresionis Jerman, padu dalam gurat pisau paletnya. Sebuah upaya yang seirama dengan Seong Moy, Louis Shanker, Adja Yunker dan cukilan grafis Arthur C. Danto. Bukan mengada-ada andaikan penulis menautkan abstraksi Coky dengan model ekspresif seniman-seniman avant gardist diatas. Model penciptaan dan pemahaman narasi bagaimana aliran kubisme memicu lahirnya seni abstrak, dimana abstraksi menjadi referensi utama disana.
                Mengapa kubisme menjadi dasar penting dalam melihat karya Coky? sebab sebagaimana narasi sejarah mencatat, genre ini banyak mempengaruhi lahirnya genre-genre baru dalam seni modern.  Mereka mengembangkan abstraksi a la kaum kubism dengan bahasa dan ideologi yang berbeda. Futurisme Italia, Fortisimo Inggris dan Russian Rayonism adalah genre yang lahir dengan berpijak pada fragmentasi aliran kubisme. Gerakan Konstruktivisme, Suprematisme Rusia, hingga pergerakan De Stijl di Belanda, juga hadir terpengaruh fragmentasi geometrik kubisme dan mengabstraksikannya secara total. Kubisme memberikan pengaruh yang besar terhadap lahirnya Ekspresionisme Jerman yang menggunakan bentuk dan figurasi objek  untuk mengekspresikan perasaan diri seniman secara utuh dan emosional.  Gerakan Dada, secara provokatif  mengabstraksikan gambar dengan teks dan ‘benda seni’ dengan ‘benda sehari-hari’, dimana prinsip ini sangat dipengaruhi oleh metode kolase dari kaum kubis. Gerakan Surealisme yang tumbuh di kisaran 1920 hingga 1930 an berhutang budi pada kubisme lewat intensitas visual yang ambigu. Dan gerakan Abstrak Ekspresionisme pada 1940 dan 1950 berhutang pada gerakan Kubisme  atas dorongan akan kedataran bidang gambar.
Lukisan Coky, meskipun kental dengan figurasi dan abstraksi gestural, ia tidaklah dapat serta merta dimasukkan dalam tradisi visual realism a la Erwin Panofsky yang menekankan pada imitasi dan mimesis sebuah objek. Visualitas yang dibuat Coky, mempunyai kadar intensitas yang lebih dalam. Disematkannya bahasa ungkap universal yang kadang sering diabaikan (empati). Setiap elemen yang hadir adalah refleksi visual, ungkapan-ungkapan logis, petanda sensitifitas, dan kesadaran akan karakter khas dari figur yang dipresentasikannya. Pandangan Wassily Kandinsky (1866-1944), dalam  Concerning the Spiritual in Art (1912), yang berisikan  teori dasar dalam abstraksi, menjadi pegangan utama dalam proses kreatif Coky. Semangat Kandinsky dalam membangun abstraksi dan kerja-kerja figuratif dengan karakteristik warna yang brilian dan susunan objek yang kompleks menjadi inspirasi tersendiri dalam kerja kreatifnya.
                Saat melukis, Coky mendekatkan prosesnya dalam metodologi kerja yang cermat. Pertama dia akan mempelajari bentuk dan gestur dari objek binatang yang akan dilukisnya. Beragam kemungkinan visual diupayakan dengan melihat objek dari beragam sudut. Setelah rancangan bentuk terbayangkan,  ia mulai melepas catnya di atas kanvas secara ekspresif. Awalnya dia tidak mengejar presisi bentuk, namun melepaskan garis-garis yang bebas meliuk. Garis inilah yang menjadi dasar terbentuknya gestur-gestur binatang yang hendak di lukisnya. Garis-garis ekspresif, yang tidak beraturan, menjadi dasar baginya untuk membangun komposisi bidang dan pengaturan warna. Karakter garis yang tegas, berpadu dengan bentuk bangun dasar adalah ciri kubis yang menginspirasi Coky. Pola kerja dengan menumpuk warna hingga 4 kali lapisan, dari warna terang ke warna gelap, dengan berpedoman pada pantone atau lingkaran warna, untuk menghasilkan warna dan kedalaman bidang, berikut mencari esensial bentuk adalah sintesa yang khas dari kubisme synthetic. Inilah pola kerja yang diupayakannya. Sedangkan goresan palet dan lelehan-lelahan warna yang basah, berikut sapuan kuas yang tegas adalah pendekatan dominan Coky atas abstrak ekspresionisme yang hadir dengan konsentrasi dan intensitas yang tinggi. 
                Melihat lukisan Coky, mengajak kita untuk melirik  suasana dunia seni di era 40 an dan 50 an, waktu dimana action painting  atau istilah yang sering digunakan Clement Greenberg, Abstrak Ekspresionime, mendominasi setiap studio seniman. Senyatanya penulis mencatat adanya dorongan dari diri Coky untuk mengikuti pandangan Greenberg yang mengagungkan seni nonfiguratif, namun dorongan itu masih disimpannya. Ia masih menikmati eksperimentasi gaya dengan momen-momen artistik yang tidak terduga. Ia setia menunggu lelehan cat yang hadir dari percikan kuasnya, menunggu  gurat-gurat tekstur yang terbangun dari pisau paletnya dan mencari kemungkinan bentuk dan menyelami warna. Akhirnya, berbagai garis-garis bebas, brushtroke yang keras, lelehan dan percikan warna berpadu  mendukung citra bentuk yang dipresentasikannya.
                Dengan melucuti segenap narasi yang berkaitan dengan subjekmatternya, gejala dan peristiwa yang melatarbelakanginya, Coky mengabstraksikan bentuk binatang dengan aksentuasi simbolis pada gestur maupun bagian tubuh yang ‘terluka’. Ia juga melucuti rincian anatomis yang beragam dari obyek yang hendak dibuat, mengulang dan menumpuknya untuk menemukan figurasi bentuk yang diinginkan. Disini, figurasi binatang menjadi satu poin penting Coky untuk melihat intensitas mana yang hendak ia tonjolkan. Sisi mana yang mampu mewakili setiap narasi yang hendak dibangunnya. Gestur binatang menjadi pijakan penting untuk menceritakan narasi tersebut. Gerak amuk banteng, tubuh tegap pitbull, lengkingan gajah yang terluka hingga ringkuk manja sang panda, menjadi perhatian Coky. Darah dan luka akibat pembantaian dan perlakuan keji, menjadi ceruk-ceruk penting yang hadir mengikat narasi.
                Melalui abstraksi ia tekankan pemaknaan yang lebih. Bukan sekedar pengkabaran akan peristiwa yang ada, namun lebih dari itu, sikap empati tersirat kuat dalam gores warna abstrak. Ia sangat percaya akan elemen-elemen formal seperti garis, warna, bidang, pencahayaan dan komposisi mampu mewakili pemikirannya. Mereka berdiri secara independen dan tidak terbatasi. Ada analisis fisik dan pertimbangan emotik atas hadirnya elemen-elemen artistik tersebut, ada upaya-upaya logis berikut integralitas internal sebagai buah dari kepercayaan akan konsep dan nalar visual yang hendak dibuat. Ia tidak sekedar mengejar aspek artistik saja. Kanvasnya mampu berkisah akan pengalaman fisis yang menyentuh sisi-sisi transendental, dimana semuanya meluruh. Melalui karya-karya ini Coky pertemukan figurasi modern dan abtraksi gestural dalam bahasa ekspresionisme. Sebuah cara pandang abstraksi yang lain, tidak linier dan ketat, pun tidak asal ‘artistik’ dan serampangan!

Abstraksi : Sebuah Jalan Baru Catatan Proses Kreatif Cokorda (Coky) Bagus Wiratmaja

Posted on

Rabu, 23 November 2011

Leave a Reply