Hendra Himawan, M.Sn

M

eminjam istilah dalam struktur bahasa, dalam sebuah even pameran seni rupa sesungguhnya terdapat jalinan antara ‘subjek’ dan ‘objek’. Subjek dalam konteks ini adalah mereka yang berbicara dalam ranah presentasi wacana, yakni seniman dan kurator (atau penulis) pameran tersebut. Sebagai subjek, mereka mempunyai porsi aktif dalam menghadirkan gagasan dan mengusung wacana. Sedangkan yang menjadi objek adalah karya seni dan audiens. Mereka menjadi bagian pasif yang menerima lontaran wacana.
Sebagai subjek yang aktif dalam sebuah pameran, seniman ‘seakan’ hanya mempunyai tanggung jawab untuk mewacanakan gagasan melalui sebuah karya. Ia hanya berkomunikasi dengan audiens melalui karyanya. Saat even presentasi karya digelar (pameran), seniman ‘seolah’ serta merta berubah menjadi subjek yang diam, tidak ubahnya karya ciptaannya yang terpajang. Sementara itu, kurator mampu bergerak melintaskan gagasan, antara seniman dengan karya dan audiens yang mengapresiasi karya tersebut.
Dikarenakan porsinya yang lebih itu, yang kemudian terjadi adalah beban pewacanaan seringkali hanya ‘ditimpakan’ kepada kurator. Kurator seakan mempunyai kewenangan tunggal untuk mewacanakan suara seniman, yang senyatanya adalah subjek utama dalam sebuah pameran. Audiens pun akan merujuk apresiasinya berdasarkan bingkai-bingkai pembacaan kurator. Disinilah kemudian kesenjangan itu terjadi. Dalam beberapa catatan kuratorial misalnya, kurator lebih banyak bersikap sebagai pembaca dan apresiator atas karya si seniman, bingkai wacana yang diusung pun lebih berdasarkan pada perspektif dan anggapan personal. Jarang ada yang mampu mendedah pemikiran dan gagasan yang diusung oleh seniman secara mendalam.

Speak of dan Speak For: Dialektika Seniman dan Kurator
Konsep speak of dan speak for yang digunakan dalam tulisan ini meminjam terminologi dari kajian poskolonial, khususnya tentang posisi subjek (penjajah) dengan objek (penduduk koloni). Sebagai dasar pembicaraan, ada baiknya melihat terlebih dahulu tentang teori poskolonial dari Edward Said dalam buku “Orientalisme”. Penjajah selalu diposisikan sebagai subjek sekaligus Sang Diri (the self). Sebaliknya, penduduk koloni atau negara jajahan adalah objek yang dengan demikian menjadi Sang Liyan (the others). Dalam dialektika antar keduanya, terjadi sebuah keadaan yang tidak dapat terelakkan, yakni proses memandang-dipandang. Sang Diri akan memandang objek, terutama karena mereka merasa memiliki kuasa lebih, sedangkan Sang Liyan secara otomatis akan merasa dipandang dan inferior.
Lebih jauh lagi, teori ini direspon oleh berbagai ilmuwan dan sejarawan khususnya dari negara-negara bekas jajahan, salah satunya adalah Gayatri Spivak lewat karya Can Subaltern Speak. Tulisan yang dibuatnya lebih dari 20 tahun yang lalu mengenai posisi para subaltern atau orang yang tertindas (dalam hal ini adalah penduduk negara koloni atau bekas jajahan). Ia memperkenalkan terminologi speak of yang berarti bahwa suara-suara subaltern biasanya tidak dihadirkan secara langsung, tetapi sebaliknya justru mereka ‘diwakili’ oleh para intelektual negara jajahan (atau juga bisa disebut sebagai para subjek) dan menghasilkan sebuah tulisan yang sekadar speak for.
Jika dikaitkan dengan sebuah pameran, maka speak of dan speak for adalah sebuah proses dialektika yang akan selalu terjadi. Sang seniman yang melakukan speak of, dan kurator yang akan melakukan speak for. Meskipun demikian, penting untuk digarisbawahi, sebelum melanjutkan pada pembahasan selanjutnya, bahwa seniman dan kurator tidak lantas disejajarkan sebagai penjajah dan atau yang terjajah. Terminologi tersebut dipinjam karena dianggap mampu mewakili sebuah tindakan yang lazim dilakukan dalam proses penciptaan karya dan even pameran. Speak of di sini adalah sebuah proses di mana seniman bersuara seperti apa adanya. Mereka berbicara secara apa adanya mengenai karya, konsep, idealisme yang tersimpan, dan bahkan harapan apa yang mereka ingin lihat dari audiens setelah melihat karya mereka. Sedangkan  kurator melakukan speak for ketika mereka mewakili suara seniman untuk berbicara pada audiens lewat tulisan kurasi mereka.
Dalam kenyataannya, proses tersebut tidak lantas berjalan dengan seimbang dan lancar. Maksudnya, tidak jarang dijumpai seniman yang tidak puas terhadap hasil kurasi karya, walaupun kurator sudah mendampingi selama proses penciptaan karya. Apa lacur, ternyata tulisan kurasi seringkali hanya menyandarkan diri pada pembacaan harafiah atas karya yang dibumbui teori-teori sosial, seni, dan budaya semata. Pada satu sisi, hal tersebut memberi nilai tambah pada proses pewacanaan. Tapi di sisi lain, justru kadang seniman merasa bahwa hal semacam itu tidak mengupas karya sebagaimana yang mereka inginkan.
Oleh karena itulah, proses kurasi ini menawarkan sebuah alternatif ruang agar seniman tidak hanya diwakili dalam proses pewacanaan oleh kurator saja. Sudah saatnya mereka ikut berbicara, speak of atas karya mereka, agar audiens juga tahu apa yang sebenarnya dimaksud oleh seniman dalam karyanya. Ada energi apa yang ingin dibagi, dan ada imajinasi apa yang ingin disampaikan.

Curating as an Ethnographical Work: Sebuah Tawaran
                Proses kerja kuratorial sebenarnya tidak jauh berbeda dengan proses kerja seorang etnografer. Dalam ilmu sosial, etnografi merupakan salah satu metode penelitian berbasis partisipasi-observasi yang bertujuan untuk mengambil data kualitatif. Secara harafiah, etnografi adalah sebuah tulisan atau laporan mengenai satu suku bangsa  tertentu yang ditulis oleh seorang antropolog atas hasil penelitian lapangan (field work) selama kurun waktu tertentu yang telah ditetapkan. Dengan partisipasi aktif ke dalam masyarakat serta in-depth interview yang mereka lakukan, seorang etnografer akan mendapat data yang akurat mengenai kondisi masyarakat di sana. Ia tidak hanya akan menyajikan sebuah laporan etnografi atas hasil rekaan semata.
Projek yang akan digarap adalah bagaimana melakukan proses  pencatatan, perekaman dan dokumentasi atas proses kreatif yang dilakukan seniman secara utuh. Hal tersebut muncul dengan berpijak pada pentingnya suara seniman dalam sebuah pameran dan esensi dari mekanisme kerja kuratorial, yang mampu menghadirkan proses kreatif dari seniman mulai dari awal hingga akhir. Mulai dari merumuskan gagasan, perihal teknis penciptaan karya, strategi presentasi, hingga siasat dalam merebut ruang apresiasi publik.
Di sini kurator akan menerapkan prinsip kerja selayaknya etnografer di mana kurator akan terlibat secara intens dengan seniman agar dapat memahami benar konteks-konteks sosial yang berpengaruh dalam setiap proses kreatif seniman. Yang membuatnya berbeda dengan kerja etnografi, dan sekaligus penting untuk digarisbawahi adalah, sajian etnografi à la kurator tidak akan sepenuhnya ditampilkan atas pandangan sepihak dari kurator. Ia akan memberikan ruang otoritas penuh kepada seniman dalam karyanya.
  Data-data dokumentasi menjadi bagian yang sangat penting dalam mekanisme kerja ini. Seniman akan menyuarakan gagasan-gagasan yang melandasi setiap karya yang diciptakannya. Catatan dokumentasi akan menjadi bahan utama sekaligus rambu-rambu objektivitas kerja kurator dalam melihat proses kerja seniman. Dengan metode kerja etnografi ini diharapkan mekanisme kerja kurasi mampu mendedah sisi-sisi lain dari seniman yang terkadang jarang diungkapkan. Kurator akan mampu membingkai wacana yang diusung seniman secara objektif dan mampu memberikan nilai lebih atas proses kreatif dan karya seniman. Dengan metode kurasi seperti ini diharapkan audiens mampu memahami maksud seniman, imajinasi seniman serta gagasan yang ingin ditawarkannya, sehingga audiens mampu untuk memberikan apresiasi yang baik tanpa kehilangan sikap kritis, sekecil apapun pencapaian seniman.


Hendra Himawan, M. Sn

Curator as Ethnographer : Sebuah Model Dokumentasi Kerja Kurasi

Posted on

Kamis, 24 November 2011

Leave a Reply