Pameran Tunggal Doni Kabo "SUMARAH" Sangkring Art Project (SAP) Yogyakarta

Oleh. Hendra Himawan




Jarak dan Kerudung
Perempuan itu tampak begitu mencermati dot bayi (tempat minum susu bayi) di hadapannya, mengisyaratkan sebuah intensitas perhatian yang begitu kuat diantara keduanya. Namun mengapa mesti ada jarak diantaranya? Meminjam semiotika Barthes dalam second order semiotic, mungkinkah ada sesuatu yang terjadi antara perempuan dengan dot ini, antara seorang ibu muda dengan bayinya? Andaikan melihat atribut yang dikenakan, tentunya perempuan ini bukanlah perempuan yang biasa, atau ibu rumah tangga yang banyak menghabiskan waktu di sumur dan dapur. Gelang beruntaikan mutiara berikut jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan, setidaknya mengisyaratkan sosok perempuan yang 'berada', mungkin juga seorang perempuan karier.
Dilema perempuan seakan tertangkap lugas dalam karya-karya ini. Problematika diri ketika dihadapkan pada pilihan antara bekerja dan mengurus buah hati, dihadirkan dalam kadar yang sangat kuat. Bagaimana jarak yang hadir diantara dua objek (figur perempuan dan dot) tersebut, memicu perhatian kita untuk melihat dilema itu sebagai sebuah realita yang nyata hadir, sebuah pilihan yang begitu berat tentunya. Disatu sisi ia harus bekerja mencari sekaleng susu, di sisi lain buah hatinya 'menuntut' tanggung jawab seorang ibu. Dualisme peran inilah yang memungkinkan lahirnya gesture maupun atribut yang mencerminkan identitas tertentu. Singlemother, mungkin adalah identitas yang dapat kita sematkan pada figur perempuan dalam karya-karya ini.
Di tengah kegamangan dan dilema yang begitu kuat, pasrah dan menyerah terkadang menjadi sebuah jalan ringkas yang kemudian dipilih. Berpasrah diri pada kenyataan yang ada, sedikit mencoba bangkit, kemudian berlari mencari sandaran. Hal ini adalah upaya-upaya untuk memahami wilayah kesadaran diri dan eksistensi lain diluar dirinya, maka dikenakanlah kerudungnya. Kerudung dimaknai sebagai sebuah penghormatan akan eksistensi Ketuhanan, sebuah kesadaran akan adanya dimensi lain yang mengatur manusia.  Kerudung telah menjadi simbol kebaikan dan ketaatan terhadap sebuah keyakinan. Hampir semua agama menggunakan dan menghormatinya sebagai simbol pakaian yang agung, meski tidak semua menetapkannya sebagai kewajiban.
Membaca gerak dan narasi emotic yang dihadirkan ataupun sebagaimana yang dipaparkan diatas, keberadaan kerudung yang dikenakan sang perempuan sesungguhnya merupakan bentuk ke'sumarah'an dirinya. Sumarah (bahasa jawa) berarti kepasrahan, menyerah. Meminjam istilah Umar Kayam dalam Sri Sumarah dan Bawuk (1975:12), “sumarah” adalah menyerah pasra, tetapi “sumarah” (menyerah) tidak berarti diam saja. Menyerah disini berarti mengerti dan terbuka, tetapi tidak menolak. Dalam karya-karya ini, kerudung sekan menegaskan dirinya menjadi simbol kepasrahan diri perempuan, yakni bersandar pada atribut keagamaan.

Ambang
Memandang semua karya Doni Kabo dalam Pameran Tunggalnya yang bertajuk “Sumarah” di Sangkring Art Project, kita akan di ajak untuk menyelami dunia ambang. Figur perempuan yang dihadirkan  oleh Kabo merupakan individu yang , dalam istilah Victor Turner (1967), berada dalam wilayah liminal dari dua dunia yang mereka geluti, baik dunia kultural maupun dunia sosial. Liminalitas dihadirkan Kabo dalam tensi yang begitu kuat. Bagaimana ambiguitas “sumarah” dan paradoks antara ibu yang mungkin seorang perempuan karier dengan bayinya (yang disubtitusikannya dengan dot) dipaparkannya dalam narasi yang bisa berarti ”neither living nor dead from one aspect, and both living and dead from another “
Beragam atribut yang disematkan dalam figur perempuan dalam karyanya,  pun, menyiratkan wajah dunia liminal. Gelang mutiara, jam tangan dan dot bayi, menunjukkan tegangan peran dan intensitas emosi tersendiri. Hadirnya kerudung yang tidak terpasang dengan baik menyiratkan asumsi dua kutub yang berlainan, budaya santri (religi) dan budaya 'bukan santri' (tadisi). Dari sinilah lahir  dunia 'abangan', sebuah dunia abu-abu, tidak hitam, pun putih. Visualitas karya yang monokromatik yang mengesankan labilitas dan keraguan, merupakan citra yang kuat akan liminalitasnya. Dunia yang kelabu, dunia ambang, dunia betwixt and between, sebuah dunia yang tanpa struktur.
Meski ranah liminal dihadirkan Kabo dengan tensi yang kuat, andai kita memandang secara keseluruhan karya-karya yang dipamerkan kita akan merasakan bahwa struktur narasi kehidupan yang membuat peristiwa dibelakangnya  terkesan rumit, menjadi  dapat dipahami karena dalam tataran dan bingkai simbolis, narasi ini dapat dirangkai mengikuti garis-garis penalaran yang berada pada tataran nirsadar sekalipun.
Dalam perspektif nalar jawa (Javanese Mind) -perkenankan penulis menggunakannya- melihat karya-karya ini tampak sebuah konsepsi atau cara nalar “orang Jawa” menampilkan kelenturan, tatanan (order) serta pandangan bahwa segala sesuatu harus temata (tertata). Dan ketertataan ini mempunyai tiga komponen yaitu kesatuan (unity), kesinambungan (continuity) dan keselarasan (harmony), dan inilah yang ingin diungkapkan oleh Kabo lewat karya-karyanya. Bagaimana kesatuan tematik hadir dalam masing-masing karya, kesinambungan narasi yang diusung, dan keselarasan makna hidup yang menjadi landasan spiritual tergelarnya pameran “sumarah” kali ini. 

*Penulis adalah rekan seniman di kampus Pascasarjana ISI Yogyakarta, tinggal dan bekerja di Yogyakarta.


Sebuah petikan pembacaan : ‘Sumarah’ dan Liminalitas

Posted on

Jumat, 18 November 2011

Leave a Reply