( Pengantar Pameran “KEBERSAMAAN” Mahasiswa Pascasarjana ISI Yogyakarta,
Galeri Biasa Yogyakarta, 2009 )

Hendra Himawan, S.Sn

Ketika seseorang menjejakkan kakinya memasuki lingkungan akademis, maka sesungguhnya ia belajar bagaimana seharusnya memahami seni, kesenian dan kerja seni secara lebih mendalam dan komprehensif. Hal ini dimaksudkan agar ia mampu menjembatani aktivitas kreatif yang dikenal dan dihayatinya selama ini dengan kerja-kerja kreatif diluar dirinya dalam perspektif yang lebih kompleks berkaitan dengan sektor kehidupan yang lain. Wacana, teori dan pemikiran kritis harus dicerna dan dikuasai, praktek kerja seni yang terasah dan terukur haruslah dijalani.  Interaksi pemikiran dan gagasan yang terus beradu dengan rekan-rekan seangkatan  adalah alat picu munculnya percikan-percikan insight yang sungguh sangat berharga. Tak salah kiranya pandangan Utami Munandar (1977), bahwa kreativitas adalah suatu proses yang tercermin dalam kelancaran, kelenturan (fleksibilitas) dan originalitas dalam berfikir. Komunikasi antar rekanlah yang mampu menciptakan pola pemikiran yang divergen. Dari sinilah dialektika kreativa akan mengalun seiring denting cangkir kopi yang menemani proses kreatif ini.
Setelah wacana intelektualitas dan dialektika kreativa berpadu dengan interaksi sosial dan kultural, maka langkah selanjutnya yang akan kita tempuh adalah keluar dari definisi dan habitus, melakukan sebuah perubahan dalam rangka keluar dari ruang pemikiran yang selama ini, entah disadari ataupun tidak,  telah mentradisi. Ia harus mencerabut akar kenyamanannya dalam berkreasi, berani berfikir, membayangkan dan menciptakan sesuatu hal yang segar, baru, dengan penghayatan wacana yang sama sekali lain.  Ia harus mampu keluar dari ruang-ruang baku dalam wacana maupun praktek berkesenian yang telah terstandarisasi. Keluar dari garis pemikiran linear, yang hanya membekukan kreativitas dan hasil karya yang “steril”. Dari keinginan untuk sekedar mencari  aman dan lolos dari kriteria tertentu.
Dalam praktek kesenian apapun kita melihat bagaimana suatu sistem kreatif itu akan berkembang tatkala ia mampu mendobrak tatanan dan standarisasi yang ada. Ia tidak akan terpancang pada hal-hal yang baru  dan kriteria-kriteria normal yang penuh kewajaran (sewajarnya). Untuk itu ia harus berani mengembangkan sayap pemikirannya, masuk dalam ruang imajinernya,  dan memakai segenap daya mimpi (imajinasi) untuk melihat dan memahami subjek yang akan diangkatnya, dalam berbagai sudut pandang. Imajinasilah yang akan menuntun pada pintu realitas! demikian hukum “law of attraction” akan berjalan, saat imajinasimu kau kepakkan maka ia  akan menjemput apa yang kau inginkan itu untukmu (The Secret).
Mencoba untuk menjelajahi segala kemungkinan dalam ruang gagasan, inilah setidaknya yang menjadi dalih para perupa yang menggelar karyanya dalam pameran kali ini. Berpijak dari realita tradisi kreatif yang telah diasah dalam ruang-ruang studio berukuran 3x4 m, Pascasarjana ISI Yogyakarta, mereka mencoba membuka ruang-ruang intrepretasi baru, memberikan penghayatan yang sama sekali lain dari akar kreatif mereka selama ini. Dan Galeri Biasa, ruang pamer yang selama ini aktif mensuport dan menjembatani dialektika kreatif para perupa muda, kali ini membuka ruang dialog bagi para perupa ini dengan publiknya. Memfasilitasi mereka dengan menciptakan ruang yang kompetitif untuk mengasah keberanian dalam menghadapi tantangan wacana dan intelektual.
Akhirnya di ruang inilah pintu imajinasi itu diuji, seberapa besar energi kreatif itu mampu mengasah keberanian para perupa untuk keluar dari habitus dan membuat perubahan? Mari kita saksikan perhelatan imajinasi ini dengan keberanian untuk melakukan intrepretasi ulang terhadap intelektualitas kita. Bukankah “imagination is more important than knowledge?”   

Hendra Himawan, S.Sn. Mahasiswa Pascasarjana ISI Yogyakarta

catatan  media :

MENJAUH DARI STERIL, MELESAT DENGAN IMAJI

Posted on

Jumat, 18 November 2011

Leave a Reply