( Pengantar Kuratorial untuk Pameran Tunggal Theresia Agustina Sitompul “Happyartland”
Vivi Yip Art Room Jakarta & Sho Bin Gallery Singapore, 2010.)

By.Hendra Himawan


Cerita Blora
Gadis itu tampak riang. Mukanya yang bulat, mata yang berbinar dengan tawa yang renyah, selalu menghadirkan gemas setiap orang yang memandang. Tingkah dan lagaknyanya yang menggoda menjadi cerminan keriangan hati. Sedang tangisnya yang kencang menjadi penanda kemanjaannya.Blora nama gadis itu,  Blora Frida Margareta lengkapnya.
Bermain, adalah hal yang mengasyikkan dari seorang Blora. Berlari berjingkrak kesana kemari dengan lincahnya, membawa matanya menunjukkan apa yang disukainya, berbahasa dengan begitu asyiknya, berceloteh dengan begitu lucunya. Seolah tiada peduli dengan sekelilingnya, dia masyuk dengan dunianya. Hal inilah yang setidaknya selalu membuat Theresia (Tere) Agustina Sitompul, sang bunda,  menjadi “iri”. ”Alangkah menyenangkannya dunia Blora yah ?”, gumamnya.
Pikiran dan gumamnya inilah yang pada akhirnya menghantarkan Tere untuk mencermati lebih dalam lagi keriangan dan gelak canda Blora. Setiap tingkah dan lagaknya,  setiap  tawa dan celoteh ditangkapnya sebagai momen tumbuhnya kreativitas. Tere memandang dunia bermain Blora sebagai sebuah dunia yang “happy”, penuh keriangan serta kental dengan perayaan estetik. Hal inilah yang akhirnya menggugahnya untuk menjadikan mekanisme “bermain layaknya Blora” sebagai sebuah mekanisme kreatif, untuk membuka kunci terhadap segala kemungkinan baru dalam berkarya, sekaligus melakukan reinterpretasi terhadap beragam proses kreatif yang telah dilakoninya.
Gagasan berikut mekanisme inilah yang diangkat Tere dalam pameran tunggal kali ini, yang diberinya judul, Happy Art Land.  Sebuah frasa yang tersusun dari tiga kata, yang tidak bisa kita pisahkan dengan semena-mena, baik berdiri sendiri, atau menjadikannya dalam dua suku kata yang terpisah.  Happy Art Land mempunyai satu kesatuan teks sekaligus makna. Ia adalah sebuah ruang yang dihadirkan Tere sebagai penggambaran akan dunia Blora yang begitu happy, sekaligus ruang “seni” yang begitu menyenangkan.
Ruang Bermain
Blora memang inspiratif. Tingkah dan lagak yang menggoda, semangat bermain yang murni, serta rasa keingin-tahuannya yang demikian besar, serta merta telah memahamkan Tere bahwa “bermain” adalah dunia yang menarik untuk disimak dan dicermati sekaligus ditransformasikan dalam sebuah proses kreatif. Lihatlah beragam karya yang dihadirkan Tere pada pameran ini, kesemuanya merupakan representasi dirinya sebagai seorang ibu yang mencoba memahami “dunia bermain” putrinya. Bagaimana “bermain” itu dihadirkan, bukan sebatas rekaman ataupun dokumentasi dalam karya visual, namun lebih jauh, mekanisme “bermain” ini pula yang menjadi ruh dalam proses penciptaannya.
Sebagai seorang perupa dengan jelajah baca yang kuat, Tere ingin berbicara  banyak hal melalui karyanya. Tema yang ditawarkannya sangat beragam dan multiinterpretatif. Mulai dari ayunan, hingga pencarian identitas diri. Mulai dari kaca teleskop hingga paradigma seni rupa kontemporer yang begitu rumit. Ia menjelajahi semua gagasan dengan tanpa sekat. Namun sekali lagi, senada dengan tingkah Blora yang polos, semua dibahasakannya dengan sangat ringan dan sederhana tanpa sedikitpun mengurangi esensi yang ada, dan dengan “Blora”pula semua itu diungkapkannya.
Melihat karya yang berjudul  ”Hai burung sampaikan salam damaiku untuk Kiki”, serta merta perhatian kita diajak untuk melihat senyum polos gadis kecil begitu teduh saat burung-burung hinggap di kedua lengannya. Sebuah bahasa ungkap yang puitik, penggambaran kerinduan akan nuansa alam yang khas. Tere bercerita bahwa sedari kecil, Blora selalu menunjuk-nunjuk pohon saat mendengar suara kicau burung, di pagi ataupun sore hari. Sebuah rasa ingin tahu seorang anak kecil akan suara alam yang sejuk.
Tere mengungkapkan bahwa visualisasi karya ini banyak diinspirasi oleh karya Kiki Smith, perupa perempuan yang selama ini menggugah imaji kreatifnya dengan beragam karya grafis maupun tiga dimensinya. Bahasa visual yang digunakannya, telah menginspirasi Tere dalam beragam karya. ”Buatku karyanya jelas dengan tema ataupun permasalahan yang mau diajukannya,” ujar Tere tentang perupa perempuan ini. Kiki Smith, seolah menjadi benang merah yang menyadarkan Tere akan realitas keseharian dunia perempuan dengan alam dan kompleksitas hidupnya. Lewat bahasa ungkap sehari-hari, semisal gambar burung, daun dan pepohonan, berikut corak dan teknik yang sederhana, hadir secara simultan menjadi sebuah teks yang khas dunia perempuan. Dan melihat judulnya, sudah pasti dapat kita tebak bahwa Tere ingin menyampaikan salamnya untuk inspiratornya, Kiki Smith.
Sebagaimana yang telah diungkapkan, bahwa spirit bermain Blora tidak saja menyemangati karya-karya Tere,  namun lebih jauh dari itu, agaknya “bermain” telah menjadi hal yang dominan dalam  praktek kreatif yang dilakukannya. Dalam karya yang berjudul “Enjoy The Art” ini misalnya,  ia mengambil “Urinoir” Marchel Duchamp, sekaligus meletakkan sosok Blora duduk di atasnya. Apa gerangan yang ingin diungkapkan Tere dalam karya ini? Sungguh sebuah bahasa ungkap yang simbolik, saat ia bercerita bahwa untuk memahami seni rupa kontemporer dewasa ini, membaca Marchel Duchamp menjadi sebuah pintu masuk yang menarik untuk membuka beragamnya ideologi dan konsep yang menjadi latar belakangnya. Lebih lanjut, baginya, belajar seni kepada Duschamp,  ibarat seorang anak kecil yang belajar menggunakan urinoir untuk pertama kalinya.
Dalam karya yang berjudul “Rumah” , Tere menghadirkan figur Blora berpayung buku bertuliskan Now Art, Art Now, lengkap dengan senyumnya yang khas. Tere sering bercerita bahwa di hadapannya, Blora seringkali bertingkah demikian. Memegang buku di atas kepala dengan kedua tengannya seraya berkata, “rumah mah…rumah mah…!!”, mungkin maksudnya adalah sebuah gambaran rumah, dengan buku yang tertelangkup itu sebagai atapnya. 
Melihat karya ini serta merta akan melayangkan pikiran kita pada karya Self Portrait Ronald Manulang, dimana ia meletakkan buku Art Now karya Uta Grosenick dan Burkhard Riemschneider terbitan Taschen, di atas kepalanya. Apakah Tere mencomot begitu saja gagasan visual tersebut? Ternyata tidak! Lihatlah bagaimana gagasan Ronald yang berkisah tentang betapa “seriusnya” seni kontemporer hingga buku itu ibarat “alkitab” yang harus disanggul di atas kepala, hadir begitu ringan dan sederhana dalam karya ini. Figur Blora tampak menirukannya  sembari tersenyum! Karya ini ibarat sebuah pernyataan sikap seorang Tere. Baginya, seni rupa kontemporer harus dimakanai dalam siklus yang ringan. Tanpa perlu mengernyitkan dahi dalam bahasa visualnya, namun tetap konsisten pada muatan konsep yang mendasarinya.
Dalam karya “Dicari Yang Sedang Hot (Getting Hot Here)”, Tere menghadirkan figur Blora sedang berdiri berjinjit di atas bola dunia, sembari memegang teleskop di tangan kirinya. Gerak tubuhnya yang tertegun ke bawah seakan mencari  dimanakah letak negerinya, Indonesia. Disini dapat diungkap bagaimana pandangan kritis Tere akan paradigma seni rupa kontemporer yang bergerak ke wilayah Asia, termasuk ke Indonesia. Ungkapan satire yang muncul dalam judul, adalah sahutannya akan gejala tersebut. Bagaimana seni rupa kontemporer mencari identitas tanpa sekat, melibas ruang batas teritori maupun kultur budaya. Dan apakah yang sedang “hot” dalam percaturan seni rupa negeri ini? Tere menjawabnya dengan karya ini.
Membaca karya-karya diatas, sesungguhnya kita disuguhkan analogi semangat “bermain” dari seorang Tere, yang hadir dengan begitu murninya, namun terasa kuat menghujam, khas dan dalam. Berbincang tentang spirit “bermain” dalam sekian karya ini, maka patutlah andai kita menyandarkan konsepsinya dalam sebuah sistem paradigma Paralogi yang dicetuskan oleh Jean Fracois Lyotard, dimana paralogi adalah sebuah sistem dialektika yang menerima keberagaman realitas, unsur, permainan dengan logikanya masing-masing tanpa harus saling menindas atau menguasai. Demikian juga dengan paradigma kesenian, bahwa masing-masing seniman mempunyai kecenderungan untuk menggunakan bahasa ungkap sesuai dengan karakter estetika yang diyakininya. Paradigma estetika apapun memperoleh pembenarannya dalam ranah keberagaman praktek kesenian dewasa ini.
 Hal yang sama diungkapkan oleh Susan Sontag, seorang kritikus seni, dalam tulisan Meldy Aginta Hidayat, Kebudayaan Posmodern Menurut Jean Baudrillard, bahwa wacana estetika yang berkembang saat ini merupakan sebuah indikasi lahirnya sensibilitas baru: yakni sebuah kesadaran akan kemajemukan, ”bermain” dan menikmati realitas secara bersama-sama, tanpa ngotot untuk menang atau menaklukan realitas yang lain.
Kecenderungan paradigma estetik seni rupa kontemporer kita dewasa ini agaknya tengah merujuk pada pembacaan ulang terhadap nilai-nilai lama. Hal ini dikarenakan konsepsi nilai semacam kebaruan (novelty), kemajuan (progresitas) maupun otentitas dalam sebuah karya seni telah runtuh. Penjelajahan artistik yang semula didengungkan habis-habisan telah menuju pada titik nadirnya. Kondisi ini berkesesuaian dengan apa yang diungkapkan oleh Yasraf Amir Piliang dalam bukunya Sebuah Dunia Yang Dilipat Realitas Kebudayaan Menjelang Milenium Ketiga dan Matinya Posmodernisme (1998),  bahwa ketika seluruh sudut bingkai seni telah dijelajahi, ketika tak ada lagi yang dapat dikatakan sebagai sesuatu yang baru, dan ketika dalam penjelajahan itu yang ditemukan tak lain adalah kebuntuan, maka yang dapat dilakukan kini hanyalah ”mengkombinasikan kembali” dan ”bermain-main” dengan bentuk-bentuk seni yang sudah ada, yang sudah dibuat,yang sudah diwariskan. Maka dialog dengan masa lalu adalah sebuah peluang yang ditawarkan untuk menjawab paradigma estetik seni rupa kontemporer kita saat ini.
Kemudian tantangan selanjutnya adalah pola dialogis yang bagaimana yang  hendak ditawarkan seorang Tere sebagai seorang perupa saat ini? Apakah hanya pertautan tanda yang berasal dari teks masa lalu itu ditampilkan secara solid dan normatif begitu saja? Ternyata tidak, eklektisisme agaknya adalah sebuah prinsip yang dipegang oleh Tere dalam memilah dan memilih teks mana yang hendak digunakannya. Ia tidak terjebak dalam pengambilan tanda yang asal, namun dipilah dan dipilihnya sesuai dengan konteks yang hendak dituju. Apakah itu parodikal sebagaimana dalam karya ”Enjoy The Art” maupun ”The Sun Flower”  Van Gogh yang hadir ditangan mungil Blora dalam karya ”You Are Welcome”?
Proses pemilahan teks untuk dipadukan dengan teks lain dalam proses kreatif Tere ini agaknya berkesesuaian dengan konsep intertekstualitas yang didengungkan oleh Julia Kristeva dalam karyanya, Desire in Language: A Semiotic Approach to Literature and Art (1979), sebagaimana dikutip Yasraf Amir Piliang, dimana dalam pandangannya, teks-teks estetika seni kontemporer dewasa ini adalah semacam permainan dan mosaik kutipan-kutipan dari pelbagai teks masa lalu. Karya intertekstual posmodern dengan demikian adalah tempat perlintasan dari satu sistem tanda ke sistem tanda lainnya
Sebuah Potret
Tere adalah salah seorang perupa perempuan yang bekerja dengan banyak media. Mulai dari drawing, patung, instalasi hingga video art. Namun berbincang tentang Tere, kuranglah lengkap andaikan kita tidak berbincang tentang karya-karya grafisnya. Sebagai salah satu penggerak di Studio Grafis Minggiran (sebuah komunitas seni grafis yang didirikannya bersama dengan rekan-rekannya 9 tahun yang lalu), ia terbiasa bereksplorasi dengan beragam teknis grafis yang didapatnya sedari bangku kuliah maupun beragam workshop teknis yang diikutinya. Bekerja dengan beragam prosedur layaknya dalam sebuah laboratorium, menguji tingkat teknis berikut peluang-peluang keberhasilannya- yang terkadang penuh kejutan- menjadi salah satu kelebihan seni grafis yang amat disukainya.
Kemampuan Tere dalam mengolah garis-garis kuat dengan teknik Alugraph (Alumunium Lithografi), yang masih terbilang langka ini dapat kita lihat dalam 5 panel karya grafisnya. Kebanyakan dari karya grafis ini menggambarkan pose-pose Blora dalam beragam ekspresi. Sebagian gambar ini pula yang menjadi cikal lahirnya wujud karya tiga dimensi dalam berbagai ukuran yang hadir dalam pameran ini.
Karya-karya yang dihadirkan Tere dalam pameran ini merupakan sebuah refleksi dirinya akan entitas peran yang “harus” dilakoninya. Ungkapan-ungkapan liris yang tersemat dalam karya, merupakan manifestasi pergumulan fisik dan batinnya dengan Blora, gadis kecilnya. Visualitas yang ringan, sederhana, dan terkadang jenaka ternyata mampu menculik perhatian kita untuk menjelajahi makna yang ditawarkannya.
Berbincang mempertautkan antara Blora, bermain, Tere dan karya visualnya akan mengembarakan kita kepada realitas yang senantiasa berotasi. Sebagai seorang ibu dari buah hatinya yang masih meraba hidup, seorang istri yang harus mengurus suami, seorang perupa yang dituntut untuk berkarya, ditambah sekarang menjadi mahasiswi pascasarjana yang dituntut masa studi, adalah sekian peran yang harus dilakoni Tere saat ini. Ibarat Blora yang senang “berperan” dalam kostum Charlie Chaplin, Tere akan menjalani perannya dengan penuh kegembiraan, dengan penuh suka cita, sebagaimana senyum manis yang selalu tersemat di bibir Blora.

*Penulis adalah seorang sahabat sekaligus rekan mahasiswa Tere
di Kampus Pascasarjana ISI Yogyakarta.





Blora, The World Of (Play) Tere !

Posted on

Jumat, 18 November 2011

Leave a Reply