Galeri Biasa Yogyakarta, 14-20 Desember 2009

Abad ini adalah abad visual. Kita dibombardir dengan gambar-gambar yang muncul setiap saat sejak pagi hingga malam. Membuka koran, menatap kotak televisi dengan sekian gambar bergerak, baliho-baliho sepanjang jalan yang mengusik pandangan mata, hingga majalah-majalah cerita pengantar lelap adalah sekian dari fenomena yang membuktikan bahwa kita hidup dalam ruang-ruang visual yang mencoba merebut persepsi dan pola pikir kita. Budaya visual yang muncul seakan meneguhkan posisi mata sebagai indera tertinggi melampaui batas fungsi indera penciuman, sentuhan, oral, dan aural.
Mata adalah indera yang aktif. Ia meneliti, mengintai, mencari dan mengamati. Mata juga menyentuh, mendominasi dan mengontrol. Mata dapat mengotori yang melihat dan yang dilihat, menggerogotinya, bahkan membunuhnya. Mata mampu mengukur, memperkirakan dan menghitung. Dengan penglihatan, kita dapat menjelajahi suatu jarak yang jauh, bahkan menganalisis sesuatu yang kasat mata dengan bantuan alat tertentu. Dengannya pula kita dapat melihat sesuatu dari masa lalu, dan menatap ke masa yang akan datang, dengan ketakutan maupun penuh harap. Mata dapat memediasi percakapan, menanamkan informasi, menampakkan atau bahkan menyembunyikan emosi dan pikiran. Ia menatap, membelalak, melembut, mengeras saat berhadapan dengan sesuatu, baik objek real ataupun situasi tertentu. Ia pun bisa merajang, mengedip, dan tertutup saat ketakutan, kelelahan, tidur dan bahkan mati.
Menempatkan Sang Terhormat
Kiranya bukanlah suatu yang berlebihan tatkala kita menyatakan bahwa penglihatan menduduki derajat tertinggi dalam supremasi kebudayaan kita. Sepasang bola mata yang kita miliki mampu memindai semua gerak yang membangun pola-pola interaksi penyusun unsur suatu budaya. Maka lumrah andaikata banyak petuah dan pepatah yang menggunakan gerak mata sebagai tolak ukur kepercayaan. Melihat adalah percaya, seseorang akan percaya andaikata ia melihat sesuatu dengan mata kepalanya sendiri, hal ini membuat penglihatan menjadi suatu perangkat penting sebagai media verifikasi empiris dan definitive. Dimulai dari desakan visual yang memaksa mata untuk melihat, munculnya rangsang rasionalitas di kepala kita, hingga dilanjutkan dengan adanya sebuah pengakuan diri (kepercayaan yang tumbuh dari melihat secara langsung), merupakan alur bagaimana penglihatan menjadi perangkat nilai kebenaran.
Nilai-nilai yang dimunculkan ini pun pada akhirnya mendudukkan mata pada posisi terhormat, Sang Saksi. Mata menjadi saksi yang jauh bisa lebih dipercaya daripada lidah. Dalam perspektif ini, bahasa yang dikeluarkan lidah dapat berdusta dan menyembunyikan kebenaran; sedangkan penglihatan melihat kebenaran atau setidaknya merupakan bagian dari kebenaran itu sendiri.
Bias indera ini dapat kita lihat dalam landskap karya Ivantantyo, dimana mata dan pikirannya menjadi saksi atas kolonisasi yang muncul akibat imperialism yang kembali tumbuh tanpa kita sadari. Berita-berita tentang hegemoni, kekerasan perang dan pengungsian di televisi menjadi peluru visual yang menghujam mata dan mengusik pikirannya. Melalui karya ini, Ivan bermaksud merekam jejak migrasi koloni dari dunia ketiga ke Negara maju. Koloni-koloni ini meninggalkan tempat asalnya, meninggalkan identitas teritori menuju identitas ideal yang diimpikan. Membaur, melebur, mewarnai ataupun hanyut dan hilang dalam identitas kultural barunya. Bendera bukan hanya simbol belaka, namun ia menjadi saksi atas identitas yang hilang dan tumbuh, dan dengan mata nya Ivan merekam jejak-jejak migrasi identitas itu. Hal senada juga diungkapkan oleh Sigit Hardiyanto, dalam “Hampir Tercerai Berai”. Sebuah ungkapan satire atas upaya disintegrasi yang meretakkan dinding nasionalisme bangsa kita. Sigit membaca bagaimana “mata” sejarah menjadi saksi bahwa nasionalisme bangsa ini semakin terasa menjauh.
Penglihatan dapat menjadi paradigma pengetahuan. Aristotle menyatakan bahwa pada hakikatnya manusia memiliki hasrat ingin tahu dan indera membuat kita tahu serta menerangi banyak perbedaan diantara semua hal. Indikasinya adalah bahwa banyak kesenangan yang kita dapatkan dari indera. Jauh dari sekedar berguna, indera dicintai karena dirinya sendiri, dan penglihatan berada diatas semuanya. Ia pun mewakili banyak kosakata bahasa intelektualitas : insight, idea, illuminated, light, enlighten, visible, reflect, clarity, perspective, point of view, vision, observation, dan sebagainya.
Kekuatan simbolis visi juga diperkuat dengan adanya alegori penglihatan = cahaya = Tuhan. Tuhan dan spiritualitas manusia selalu direpresentasikan dengan adanya kekuatan “yang mengatasi”, dan cahaya menjadi satu bentuk omnisains (iluminasi total) representasi dari Tuhan. Hal ini dapat kita lihat bahkan dari ritus agama tradisional yang mengidentikkan Tuhan dengan matahari, Nabi Ibrahim yang mencari Tuhan pada Matahari, Musa yang berbicara dengan “Cahaya” Tuhan, hingga “Nuurun ,ala Nur”, Tuhan adalah Cahaya Diatas Cahaya. Upaya pemahaman nilai ini ditangkap dengan apik dalam karya “Aku Dan Tuhanku” karya Ahmad Rendro. Menggunakan teknik fotografi dengan digital editing ,nilai ketuhanan diungkapkan dengan visualisasi tempat ibadah dengan menonjolkan kesan pencahayaan yang kuat, keteduhan dan keagungan. Kesan pencahayaan di ungkapkan dengan memenuhi semua detail visual, sebagai sebuah ungkapan bagaimana Tuhan menunjukkan keagunganNya dalam setiap detail ciptaan Nya. Dan pada akhirnya, penglihatan bisa menjadi pembimbing kita ke arah Tuhan, kematian, ataupun api neraka.
Mata merekam jejak perjalanan kisah hidup kita. Ia menjadi saksi atas romantisme yang telah lalu dan menemukan rancangan jejak masa depan. Perwita Hatmandaru dalam “Yang Tersisa” berusaha untuk menangkap jejak perjalanan orang terdekatnya. Merekam kisah yang telah lalu , mengikat kembali memori-memori dan melawan lupa. “Yang Tersisa” merupakan representasi atas romantisme pendahulunya (Eyang nya), menangkap dengan mata, merekam dengan hatinya.
Sungguh mata telah menunjukkan kita pada permasalahan-permasalahan identitas yang kita bangun. Saat kita menilai seberapa besar perubahan dalam diri kita, kita akan menatap imajinasi atas identitas diri kita dalam berbagai perubahan yang di pengaruhi oleh mata kita saat melihat dunia. Waktu telah mengajarkan mata kita membaca identitas perubahan diri. Setidaknya inilah yang diungkapkan oleh Mahar Gireeta dalam karyanya “this is my self n what about you?”.
Intermittent menjadi dalih Jeihan Angga Pradana dalam berkarya. Kemampuan mata yang terbatas untuk mengoperasikan system syarafnya menyadarkan akan keterbatasan-keterbatasan sang mata akan cahaya. Sedikit Peka Cahaya, menyadarkan kepada kita bahwa progresitas yang dibangun oleh mata terbingkai dalam kemampuannya untuk menganasir setiap gerak dari pantulan cahaya yang memantulkan bentuk. Kemampuan untuk berkedip mengejar cahaya, menunjukkan bahwa manusia tersusun atas system-sistem yang terbatas dan dari keterbatasan itulah kita diajarkan untuk sadar akan nilai-nilai manusiawi.
Saksi- Saksi Mata
Tak bisa kita pungkiri, mata menjadi saksi dalam setiap kejadian. Ia menuntun untuk merekam setiap memori akan ingatan, ia merekam akan setiap keseharian hidup kita. Bisa kita tuntun mata kita untuk melihat gerak-gerik mata kita dalam karya Fahla Fadhilla, dan Sigit Hardiyanto, dimana mata mereka gunakan untuk menjadi saksi setiap keseharian yang mereka lalui. Kamar tidur, kebiasaan minum lapen hingga ikon-ikon yang menjadi sumber gagasan dalam kehidupan Andhika Wicaksono. Dengan mata para ikoniknya ia menentukan identitas dirinya, setiap detil perubahan dalam karakter yang membangun citra pemikirannya. Sebagai kaum muda mereka mengarahkan setiap organ-organ tubuhnya mewakili diri membaca fragmentasi-fragmentasi kebudayaannya. Dan sekali lagi mata mendominasi gerak tubuh sosial kita.
Demikian berkuasanya mata dalam kehidupan kita. Ia bergerak dalam alur pemikiran-pemikiran kita, ia bergerak mengikuti cahaya yang memantul padanya, dan ia akan menilai kemana jejak langkah dan pikiran kita akan tertuju. Dan apakah arti “penglihatan” itu? Kitalah yang akan mengejawantahkan dalam pameran Komunitas Rumah Sewon kali ini. Komunitas Rumah Sewon adalah komunitas mahasiswa seni ISI Yogyakarta yang bergerak dalam kajian dan penciptaan seni visual. Komunitas ini lebih banyak menggunakan fotografi dan video sebagai media pembacaan dan intrepretasi terhadap fenomena budaya yang berkembang di sekitarnya. Komunitas ini hidup dan bergerak di Yogyakarta.

Hendra Himawan, S.Sn
Kurator Seni Rupa, Mahasiswa Pascasarjana ISI Yogyakarta.

catatan media :




http://www.krjogja.com/news/detail/12328/www.krjgogja.com
http://gudeg.net/id/news/news/2009/12/5104/Komunitas-Rumah-Sewon-Tampilkan-Eyes-Project-2009.html
http://rumahsewon.blogspot.com/2009/12/eyes-project-visual-art-exhibition.html

Catatan 2009 : PAMERAN SENI VISUAL "EYES PROJECT" KOMUNITAS RUMAH SEWON YOGYAKARTA

Posted on

Jumat, 18 November 2011

Leave a Reply