BELAH DUREN, Membelah Keperawanan Nalar
Oleh : Hendra Himawan S.Sn*

  

Fine art is that in which the hand, the head, and the heart of man go together.
John Ruskin (1819 - 1900)
British art critic, writer, and reformer.



Di saat Descartes merumuskan ego cogitans, yakni ego berfikir yang rasional sebagai pusat dan esensi jiwa manusia, ia disangkal dengan mekanisme psikoanalis yang menyatakan bahwa sesungguhnya psikis dan jiwa mempunyai porsi yang signifikan dibandingkan dengan nalar. Tidak ada pemisahan secara “dikotomi rasional”, mereka saling berjalin pidan satu dengan yang lain. Simbiosis terjadi di antara keduanya ibarat anomali yang saling berefek. Sesuatu yang bersinggungan dengan nalar pasti akan dikompromikan dulu dengan perasaan, tanpa permisif, pun sebaliknya. Tubuh dan Jiwa adalah satu! (Sigmund Freud).
Nalar adalah pusat segala ‘informasi’ jiwa dan tubuh. Dari sanalah gerak dan laku akan muncul. Dari sanalah hasrat dan libido bertumbuh. Dari nalarlah kreativitas menemukan batu asahnya.
Mendengar istilah “Belah Duren”, tentulah pikiran kita akan mengawang membayangkan aroma legit siap menyantap buah berduri berharga mahal, ataupun jikalau kita menghayalkan pikiran ‘dewasa’ kita, sungguhlah nakal istilah ini kedengarannya. Namun “Belah Duren” sebagaimana yang dinyatakan KELOMPOK PAYUNG dalam pameran ini sebenarnya adalah sebuah metafora parodical atas ungkapan ‘membelah keperawanan nalar’. Membedah kembali nalar-nalar orisinal berikut gagasan-gagasan otentik penciptaan karya seni. Membedah ide-ide murni yang berkecamuk dalam nalar dan rasa, memaknai setiap prosesnya dalam fase-fase inkubasi dan iluminasi, yang mencetuskan teriakan NHAHH NE BE YE!!! pada kanvas dan tubuhnya.
Ranjang sebagai Proses Kreatif
Kreativitas adalah bahasa yang identik dengan segenap tindakan seniman, dalam nalar personal maupun habitusnya. Ia bergerak dalam ruang pemikiran, perspektif, maupun bahasa ungkap yang digunakan. Ia berperan penting dalam kelahiran sebuah karya yang mampu mengisi catatan sejarah.
Kreativitas mempunyai pengertian definitif yang sangat luas. Dimulakan sebagai ‘pengalaman mengekpresikan dan mengaktualisasikan identitas individu dalam bentuk terpadu’(Clark Moustatis), kecenderungan untuk mengaktualisasikan diri, (Maslow &Rogers), titik pertemuan yang khas antara intelegensi, gaya kognitif, dan kepribadian/motivasi (Sternberg), kemampuan untuk menghasilkan atau menciptakan sesuatu yang baru (Baron,1969), kemampuan untuk membuat kombinasi-kombinasi baru yang mempunyai makna sosial (Haefele, 1962), “ Creative action is an  imposing of one’s own whole personality on the environment in an unique and characteristic way” (Hulbeck, 1945). Di mana tindakan kreatif muncul dari keunikan keseluruhan kepribadian dalam interaksi dengan lingkungannya.
 Mengurai kekuatan kecerdasan kreatif sebenarnya adalah memahami bagaimana ‘melakukannya’. Ia bukanlah sebuah ‘anugerah ajaib’ yang lahir secara tiba-tiba, tapi sebuah kesadaran dalam memahami dan memaknai sebuah proses (kreatif).
Berbicara tentang proses kreatif dalam sebuah penciptaan karya, kita akan dibenturkan terhadap beragam fenomena yang masih menganggap hal ini sebagai sesuatu yang misterius dan irasional. Namun premis ini tidak selamanya benar, sebab pada praksisnya dalam setiap aktivitas perancangan penciptaan karya, para seniman senantiasa mendasarkan dirinya pada unsur kreativitas dan inovasi. Maka benarlah pemikiran Haefele (1962) yang menyatakan bahwa proses kreatif adalah proses mental, sebuah proses berfikir untuk menghasilkan kombinasi-kombinasi baru dari gagasan-gagasan baru. “Creativity is a process that manifest in self in fluency, in flexibility as well in originality of thinking” (Munandar, 1977). [1]  
Proses kreatif adalah sebuah proses atau kemampuan yang mencerminkan kelancaran, fleksibilitas, dan orisinalitas dalam berpikir, serta kemampuan untuk mengelaborasi (mengembangkan, memperkaya, memperinci), suatu gagasan. Dalam pandangan Rogers (1982) proses kreatif adalah “munculnya dalam tindakan suatu produk baru yang tumbuh dari keunikan individu di satu pihak, dan dari kejadian, orang-orang, dan keadaan hidupnya di lain pihak”. Penekanan definisi proses kreatif diatas adalah pada ”aspek” baru dari produk kreatif yang dihasilkan dan aspek interaksi antara individu dan lingkungan/kebudayaannya.
Ada tiga tahapan dalam proses kreatif menurut L.H Chapman dalam bukunya  Approaches to Art in Education, yakni :
1.       Tahap penemuan gagasan (inception of an idea), atau mencari sumber gagasan, ide, inspirasi ataupun ilham. Proses mencari gagasan merupakan upaya seniman untuk mendapatakan creative impulse. Hal ini bukan saja sebuah kesengajaan semata, namun unsur-unsur ketidaksengajaan juga mempengaruhi seniman untuk merespon setiap apa yang di temui.
2.       Tahap penyempurnaan, pengembangan dan pemantapan gagasan (elaboration and refinement). Tahap ini merupakan proses pengembangan gagsan menjadi ide pravisual yang nantinya mempunyai kemungkinan untuk diwujudkan dalam bentuk kongkret.
3.       Tahap visualisasi karya ke medium yang akan digunakan.
Medium pada dasarnya hanyalah sarana. Jauh yang lebih penting adalah bagaimana gagasan awal berupa konsep itu mampu dilihat ataupun dirasakan oleh apresian.

Berdasarkan pandangan diatas, jelaslah bahwa proses kreatif bukanlah sebuah “kelainan”, ia adalah proses pengejawantahan terhadap emosi dan representasi pemikiran seniman  terhadap berbagai masalah yang dihadapinya. Selain itu, proses kreatif juga merupakan media aktualisasi diri berikut “kapabilitas” yang dimiliki seniman dalam karyanya.
Gagasan seniman lahir dari apa saja, dimana saja dan kapan saja. Baik dalam suasana bergairah maupun dalam proses “pressing” yang kuat. Meskipun tidak mungkin untuk menginventarisasinya satu persatu, namun dapat kita ungkap ranjang besar yang sering muncul sebagai pemicu. Pertama, lingkungan sekitar, baik yang alami maupun buatan. Sumber ini telah lama memberikan inspirasi dan gagasan bagi para seniman, bahkan sejak jaman prasejarah. Lihat artefak di gua Lascaux hingga lukisan pemandangan bernafas China painting saat ini. Kedua,kehidupan dan dunia imaji. Banyak seniman yang mengungkapkan dunia internal mereka dalam berbagai ekspresi : rasa cinta, takut, kebencian, mimpi-mimpi maupun kisah-kisah mitos dan cerita legenda lalu, dll. Sumber ketiga ini adalah sebuah tatanan yang harmonis dan utuh dari sebuah sistem.  Dalam setiap periode jaman, sistem mempunyai karakter tersendiri dan selalu menghendaki hadirnya kultur yang dinamis dan utuh. Para seniman banyak memberikan kontribusi penting terhadap perkembangan kebudayaannya. Hal inilah yang menjandi landas dasar munculnya karya-karya kontekstual dan integrated. Dorongan untuk mencipta  tatanan bentuk dan karakter yang benar dan sempurna juga dihadirkan oleh seniman modern pada konsep-konsep geometrik yang dapat dilihat dalam bangunan arsitekturalnya.
Esensi utama dari perjalanan proses kreatif sesungguhnya adalah lahirnya keinginan untuk selalu kreatif. Ungkapan Ahmad Sadali tentang  “Azas  Identitas” merupakan sebuah dorongan yang sangat berarti pada akhir proses kreatif itu. Namun apakah proses ini akan berhenti setelah identitas corak telah ditemukan? Apakah persoalan identitas dan (orisinalitas) masih dianggap sebagai tujuan akhir? Senyatanya Picasso terus melakukan eksplorasi terhadap Kubismenya, Impresionisme pada lukisan Cezanne, ekspresionisme yang identik dengan Van Gogh, hingga kecenderungan realism pada Sudjojono, adalah sebuah proses panjang yang ditemukan setelah identifikasi-identifikasi dilakukan. Mereka bergerak dalam ruang kreatif dengan petualangan-petualangan artistik yang memadukan  proses intelektualitas, proses kehidupan, ambisi,  militansi, daya rekam sekaligus energi yang besar untuk mengolah media. Proses kreatif memang sangat melelahkan, namun akan terus bergerak dan terjalani.
Dalam sebuah proses penciptaan karya, memahami proses kreatif adalah ibarat mendengarkan suara-suara dalam ruang bawah sadar kita. Kita akan  memasukinya sebagai sebagai pusat seluruh kesadaran, mengungkapkan gerak, suara dan bentuk visual yang ada. Kita berada dalam bilik nalar, menyusuri jembatan perasaan dan berbolak-balik diantaranya, menakar entitas-entitas gagasan yang ada. Dari sinilah seni dapat dipandang sebagai sebuah pengentalan pandangan-pandangan filsafati dan kebulatan-kebulatan kesadaran hidup, buah mulia jiwa nalar kita.
Unsur-unsur pendorong lahirnya proses kreatif adalah kesadaran dalam nalar dalam memahami segenap gerak hidup. Gagasan baru daripadanya adalah bayi yang lahir dari buah keperawanan. Dari rahimnya, tidak ada istilah ”penginspirasi” dan mana ”yang diinspirasi”, semuanya tiada berawal dan berakhiran. Dalam persalinannya tidak mengenal kata ”siapa meniru siapa”, karena proses tidak muncul dari titik nol. Malam pertama adalah interpretasi yang bergairah dalam proses berkarya. Membelah ’keperawanan nalar’, membedah  gagasan, dan melahirkan ”bahasa baru”.
Presentasi Penetrasi
Dalam pameran ini kreativitas menjadi tolak pijak para seniman dalam berkarya. Proses kreatif sebagai media aktualisasi dan estetik berpadu menjadi ”being” yang dalam pengertian Abraham Maslow merupakan titik puncak pengalaman (Peak Experience) bahkan hingga pada titik trance diluar kesadaran mereka(!).
Membaca karya kelima perupa ini kita dihantarkan pada petualangan-petualangan estetik dalam ranah kesadaran kreatif. Kepercayaan pada ‘proses’ inilah, yang menghantarkan mereka pada pintu-pintu pemahaman pembuka kesadaran dirinya, menelusuri setiap detilnya baik dalam personal diri maupun habitus mereka. Karya yang mereka presentasikan merupakan penetrasi dari setiap gagasan ke dalam medium ungkap yang mereka pilih dan mereka jiwai.
                Konsep manusia dengan segenap ego(sitas) yang dimilikinya menjadi gagasan yang dihadirkan Wayan Budayana. Sebagai mana Descartes dalam ego cogitans nya, ego manusia yang hadir dalam pikiran telah membawa manusia kepada pemahaman akan fungsi otak (nalar) terhadap segenap tingkah   laku. Dalam karya Terapi Otak Kiri, ia menghadirkan 36 enam panel gambar  yang dirangkai dalam satu frame, sebagai sebuah visualisasi praksis proses terapi akan kemampuan berpikir logika, pemecahan terhadap permasalahan matematis dalam ritme kehidupan, konvergensi pemikiran yang selama ini sesekali terabaikan oleh seniman ataupun orang yang banyak bekerja dengan irama, rima, musik, gambar, dan imajinasi. Karya ini merupakan manifestasi dari progresitas dalam sebuah upaya penyeimbangan potensi “dichotomania”, otak kiri (pemikiran vertical dan analitik) dengan otak kanan (lateral), dalam sebuah pemikiran kreatif. Sebuah proses pengelaborasian semua potensi dalam penciptaan sebuah karya.
                Dengan mengambil corak gaya Kubistik Picasso pada era Beetwen The Wars, Budayana mencoba mengkonstruksi bentuk formal objek manusianya ke dalam bentuk basic yang identik dengan pola keruangan sebagai ruang interpretasi baru akan kompleksitas diri manusia. Sebuah pemahaman yang sama disemaatkan para pemikir Kubisme analitis.  Namun coretan ekspresifnya mengingatkan kita pada karya-karya seorang tokoh Kubisme,. Fernard Leger dalam Les des Aux Sours (1935), ataupun  Compotition aux deux perroquets, 1935. Kita juga dapat melihat detail-detail Kubisme sintetik dalam setiap panel dalam karya Positif Sinting. Dalam karya berukuran 100x300 cm itu, Budayana berbicara tentang mekanisme pertahanan regregasi dalam sebuah kerangka berfikir. Pemikiran positif  yang diparodikannya merupakan penggambaran bagaimana sistem kerja otak seharusnya mampu melakukan regregasi terhadap alam bawah sadarnya, bermain sebagaimana layaknya anak kecil  agar mendapatkan ide dan gagasan segar dan orisinal, dalam upaya mempertahankan ego diri. (Regression in The Survive of The Ego).
Dalam karya Made Sadnyana dapat kita lihat penghayatannya terhadap proses kreatif dan kesadaran-kesadaran diri manusia. Ungkapannya yang menyatakan diri sebagai laboratorium proses kreatif telah menghadirkan ungkapan ungkapan visual yang kental dengan rasa dan jiwa, sebagai sebuah pengalaman dalam tahap inkubasi pemikiran, pengungkapan tahap iluminasi hingga proses perwujudannya. Penghayatannya terhadap nilai-nilai lokalitas dan wisdom telah menghantarkannya pada ruang-ruang penciptaan yang penuh esensi, sebuah penghayatan terhadap nilai kemanusian yang dalam.  Modal kultural yang melekat erat dalam laku dan ingatannya senantiasa hadir dalam coretan kuasnya. Hal ini dapat kita lihat pada karya The Day Of Silent yang mengungkapkan nilai-nilai kolektivitas lokal yang mampu menghantikan laju globalitas budaya, Cahaya yang berkisah sebuah pengharapan dan nilai kemuliaan yang menerangkan, serta Sleeping Budha, sebagai ungkapan spiritualitas dalam keheningan.
Maka dari membaca karya-karya ini, patutlah kita sandarkan proses kreatif Made Sadnyana ini kepada  Carl Jung (1875-1961) yang juga percaya bahwa “mekanisme ketidaksadaran” memainkan peranan penting dalam membangun kreativitas tingkat tinggi. Alam pikiran yang tidak disadari merupakan bentukan dari alam pikiran masa lampau. Hingga pada akhirnya, secara tidak sadar kita ‘mengingat’ pengalaman-pengalamanyang berpengaruh dari nenek moyang kita. Dari kesadaran kolektif inilah kemudian timbul penemuan-penemuan, teori, seni, dan karya-karya baru lainnya. Proses inilah yang pada akhirnya melanjutkan eksistensi kehidupan umat manusia.
Dalam karya Ida Bagus Wiradnyana, kita dapat melihat  tautan yang menarik antara proses kreatif dengan  nilai-nilai  humanistik Abraham Maslow, dimana manusia memiliki naluri-naluri dasar yang menjadi nyata sebagai kebutuhan. Salah satu naluri dasar manusia itu adalah kebutuhan akan belonging atau cinta. Semua orang ingin merasakan bahwa mereka tergolong pada sesuatu atau bahwa paling tidak satu orang mencintai atau menyayangi. Dalam karya Instalasi yang berjudul Gua Garba ini IB. Wiradnyana menghadirkan sosok figur anak manusia yang lahir dalam lingkaran cahaya. Gua garba mempunyai pengertian rahim, kandungan dan wadah peranakan. Dalam karya ini, Budayana menamsilkan proses penciptaannya sebagai sebuah rahim kreatif yang akan melahirkan gagasan-gagasan kreatif penuh cahaya. 
Pembacaan harafiah terhadap karya ini, dengan teks dan konteks yang dimiliki, juga akan menghantarkan kita pada pemahaman kreativitas yang muncul dari dorongan akan kebutuhan seksualitas. Kebutuhan ini tidaklah selalu bermakna genital, namun lebih didekatkan kepada kebutuhan genetis, dan ide genial akan kasih sayang dan belonging. Hal ini bersandar pada pandangan Freud yang menyatakan bahwa ada kaitan antara kebutuhan seksualitas dengan kretavitas di tahun-tahun pertama kehidupan. Menurutnya, orang akan bertindak kreatif saat dorongan akan kebutuhan seksual tidak terpenuhi secara langsung. Pada umur empat tahun seorang anak akan mengembangkan hasrat fisiknya terhadap orang tua dari jenis kelamin yang berbeda. Karena kebutuhan akan hal ini tidak terpenuhi, maka terjadi sublimasi dan merupakan awal munculnya imajinasi. Sebagaimana dia menjelaskan bahwa banyak karya seni yang dihasilkan oleh  sublimasi sang seniman. Semisal karya Madonna-nya, Leonardo Da Vinci, merupakan sublimasi akan kebutuhan seksualitas akan sosok ibu yang tidak dapat dia temui sejak kecil.
Surya Wijaya banyak melakukan eksplorasi terhadap objek yang dibuatnya sebagai sebuah ruang kreatif dalam berkarya. Bagaimana imajinasi bebasnya bertautan dalam alam bawah sadar, mengambil setiap detil momentik sebagai peluang gerak yang akan dibentuk dalam logam-logam besi karyanya. Ia memperlakukan gagasan dan media ekspresinya sebagai sebuah ruang yang penuh dengan kemungkinan-kemungkinan penciptaan (eksploratif). Kreativitas dalam pandangan Surya Wijaya merupakan sebuah upaya untuk menghasilkan sesuatu yang original maupun elaborasi yang inovatif. “Creativity is the ability to bring something new into existence”(Baron, 1976 ).
Tubuh merupakan sebuah objek yang agitatif. Setiap bagiannya menghadirkan pemaknaan tersendiri. Setiap geraknya mempunyai bahasa yang interpretatif. Ia bertaut antara ruang personal dan ruang sosial sekaligus. Pemikiran tentang tubuh adalah signifikasi manusia terhadap alam dan lingkungannya. Tubuh-tubuh yang hadir dalam  patung-patung karyanya merupakan manifestasi gerak yang lahir dalam imajinasinya. Gerak yang bebas memberikannya peluang yang besar untuk menjelajahi setiap ekspresi momentik yang hadir dalam tubuh.  Hal ini dapat kita lihat dalam karya-karyanya, Lose Control I, 2010, yang menyiratkan sebuah geliat tubuh saat mengalami ekstase. Ungkapan trance dalam yang termuat juga dalam karya Lose Control II, 2010. Kebebasan dalam menangkap ekspresi gerak tubuh juga dihadirkannya dalam karya Free Style yang erat dengan harmonisasi ruang.
Melihat karyanya kita akan diingatkan oleh semangat kreatif dalam patung Umberto Boccioni yang sarat dengan gerak, nuansa dinamis dan momentik dari Alberto Giacommeti, dan tubuh-tubuh menggugah Henry Moore. Dalam karyanya terkesan kuat upaya memperlakukan object dalam The object dissected at rest & in motion (dimana obyek dipotong/diiris atau dibedah atas dasar diam dan bergerak), sebagaimana yang diungkapkan Ritchi dalam Sculpture in Twentieth Century-nya. Proses kreatif Surya Wijaya adalah sebuah proses yang tiada henti, hidupnya adalah menjelajahi segenap kemungkinan yang hadir dalam detil-detil gagasan dan kemampuan paktikalnya.
Dalam karya Ngurah Tri Marutama kita akan diajak untuk menjelajahi keeksotikan  beragam bentuk font dan karakter huruf.  Membaca karya adalah sebuah upaya untuk menjelajahi makna dari setiap teks yang dituliskannya. Lengkung huruf dengan pola repetitive adalah puzzle yang disusun untuk mencari kemungkinan-kemungkinan estetik dan pemaknaan baru. Dengannya pula kita akan diajak untuk menikmati tautan intrepretasi bahasa. Sebuah konteks tidak akan kita dapatkankan tanpa teks, dan sebuah teks tidak akan berbunyi tanpa huruf.
Melihat karya-karyanya ini ingatan kita akan dihantarkan pada bentuk-bentuk font dalam karya Robert Indianan  yang terkenal dengan “sculpture poems”nya, dengan Ed Ruscha yang menuliskan NOISE pada bidang hitam karyanya, dengan karya-karya Pop Art yang menaungi basis kreatif mereka. Huruf-huruf yang terangkai dalam berbagai posisi mempunyai mekanisme penting dalam menggugah interpretasi kata, kalimat bahkan bahasa tutur yuang terucap.
Typografi yang dihadirkan Ngurah sebagai bahasa yang kaya akan simbol dan interpretasi. Ketertarikannya mengolah huruf ini lahir sebagai sebuah jendela yang mampu membahasakan lajur pikirannya. Baginya huruf memiliki energi yang dapat mengaktifkan gerak mata. Energi ini dapat dimanfaatkan secara positif apabila dalam penggunaannya senantiasa diperhatikan kaidah-kaidah estetika, kenyamanan keterbacaannya, serta interaksi huruf terhadap ruang dan elemen-elemen visual di sekitarnya. Lewat kandungan nilai fungsional dan nilai estetiknya, huruf memiliki potensi untuk menterjemahkan atmosfir-atmosfir yang tersirat dalam sebuah komunikasi verbal yang dituangkan melalui abstraksi bentuk-bentuk visual. Baginyalah jelas ungkapan Siegfried Sassoon (1886 – 1967) seorang penulis dan penyair Inggris, tentang sebuah huruf “His most rational response to my attempts at drawing him out about literature and art was 'I adore italics, don't you?'

Orgasme Yang Tak Putus!
                Ruang kreatif yang coba dimaknai dan dihayati oleh kelima perupa muda yang hadir dalam pameran kali ini adalah sebuah jejak awal dari jalan panjang yang mungkin akan sangat melelahkan. Proses ini mungkin akan sangat menjenuhkan, namun sebagai seorang yang selalu mencari kesejatian hidup, berkarya adalah cara tepat untuk mengungkapkannya. Tabir-tabir gagasan akan mereka singkap seiring penemuan-penemuan baru, kreativitas baru, pemikiran baru dan semangat baru yang tetap terjaga.
Sungguh presentasi ini bukanlah titik, setelah ini ia kan menjadi batu api yang terlontar memacu diri, terus menjadi ‘koma’ yang tak berujung dan tidak bepangkal. Presentasi ini adalah sebuah penetrasi awal, sebuah penjajagan baru, sebuah salam perkenalan. Bagi mereka identifikasi masih terlalu dini. Masih banyak duren yang belum dibelah. Masih banyak pikiran yang perawan. Masih banyak kamar yang belum terbuka. Masih banyak ranjang untuk dinaiki. Masih banyak gagasan untuk di gauli. Masih banyak banyak ruang untuk berkasih. Masih banyak bilik-bilik untuk bercinta…bercinta dan bercinta!!

Ruang Kamapasa ISI Yogyakarta, Kamis 18 Maret 2010.16:31

*Hendra Himawan, Penulis Seni Rupa, Mahasiswa Pengkajian Seni Pascasarjana ISI Yogyakarta.

Sumber :

Andree Synnott, Tubuh-Tubuh Sosial. Penerbit Jalasutra.
Utami Munandar, Dasar-Dasar Pengembangan Kreativitas. Rineka Cipta. 2004
Mikke Susanto, Membongkar Seni Rupa. Penerbit Baik Yogyakarta, 2003.
Microsoft Encarta 2009. Quotations/Jung/Baron/Font. 17 Maret 2010.
William Barrett, Mencari Jiwa, dari Descartes sampai Komputer, Putera Langit. 2001.

catatan media :



Catatan 2010 : Pameran BELAH DUREN, Kelompok PAYUNG Yogyakarta

Posted on

Jumat, 18 November 2011

Leave a Reply