by. Hendra Himawan


Berbincang tentang sikap mental seorang seniman, - terlebih seniman muda- ,  maka patutlah kita sedikit mendengarkan ‘nasehat’ dari Sudjojono, Bapak Seni Lukis Indonesia Baru[1] dalam uraiannya tentang sikap mental seniman pada masa revolusi, yang hanya memiliki kecenderungan terhadap gaya lukisan Mooi Indie yang turistik.  Dalam pandangannya, Sudjojono menyatakan pemikiran kritisnya bahwa …dalam diri tiap-tiap orang seniman, pertama mesti berdasar pada watak seorang seniman. Dan seorang seniman mesti pula berani dalam segala-galanya terutama berani memberikan idenya kepada dunia, meskipun tidak mendapat tanggapan baik dari publik sekalipun.[2] Berpijak dari pandangan inilah Sudjojono menyatakan arti pentingnya karakter dan watak yang harus dimiliki oleh seniman dalam karya-karyanya.  Sikap mental yang harus terus diasah oleh seniman tersebut adalah watak kesenian, kunstenaarschap[3] dan keberanian. Maka dengan sendirinya mereka akan mempunyai jatidiri yang khas, yang akhirnya akan termanifestasi dalam wujud : kebenaran dan keindahan. Lebih jauh ditegaskan oleh Sudjojono bahwa keindahan yang bagus bukanlah menurut publik biasa, namun bagus dalam pengertian estetis bagi seorang seniman. Dalam pengertian ini, Sudjojono menyandarkan akan arti pentingnya idealism yang harus dipegang oleh seniman muda, dimulakan dari bagaimana ia mengolah gagasan hingga tercipta sebuah bangunan estetis yang mengalun dalam kerja kreatifnya.
Sudjojono menyarankan kepada seniman muda untuk berkarya dengan menemukan jalan wataknya sendiri, menemukan sikap mentalnya sendiri. Proses watak adalah proses menemukan jiwa murni yang akhirnya melebur dalam karakter-karakter karya. Sebagaimana pernyataannya bahwa gambar yang tercipta adalah sebuah ungkapan pekerjaan proses jiwa dan bukanlah gambaran “optische opnume” [4]mata saja.[5] Maka dalam recapan mata menuju ke perenungan hingga lahirlah sebuah gerak kuas adalah sebuah tuangan jiwa ketok, sebuah jiwa yang dinamai Sudjojono sebagai “Kesenian”.[6] Dan jiwa itulah wujud dari karakter dan watakmu!
Berpangkal dari sinilah kemudian seorang pelukis harus mempertajam ‘pembacaannya’ terhadap ‘realitasnya’. Terhadap realitas apapun, baik wacana maupun masalah manajemen kesenian. Berkarya dalam idealisasi yang terkendali dengan pembacaan terhadap wacana yang kuat, berikut manajemen yang teraplikasi hingga lahirlah integrated professional artist yang mampu mengayunkan semangat jamannya (Zeitgeist)! Sungguh indah ungkapan Sudjojono,
pelukis-pelukis baru ini tidak akan melukis gubuk yang tenang dan gunung yang kebiru-biruan atau melukis sudut-sudut yang romantic atau schilderachtige en zoetzappigge onderwerpen[7] saja, …namun ia akan melukis realitasnya, seni lukis yang berjiwa realita,…hingga lahirlah sebuah kesenian yang tinggi  yang berasal dari olah kehidupan sehari-hari seniman (idealismnya).[8]
Sungguh sangat beruntunglah kita dididik sebuah institusi yang sangat kental akan penguasaan artistic, sekaligus diasuh oleh para dosen pembimbing yang mempunyai kemampuan estetis dan teknis yang sangat mumpuni dibidangnya. Hingga tanpa sadar progresitas visual kita kian melaju sejak mengumpulkan 500 sketsa awal, 12 karya lukis I dengan sekian teknik kering dan basah, serta puluhan lembar kertas desain elementer (Nirmana) yang mesti dibendel rapi. Dan disaat kita melangkahkan kaki keluar, kita akan merasakan betapa teknis yang sekian lama (sedang) kita pelajari menjadi sebuah senjata yang sangat bertaji. Demikian juga wacana keilmuan yang kita pelajari dalam 144 sks, menjadi sebuah amunisi yang termanifestasi dalam setiap goresan kanvas kita. Maka sungguhlah benar ungkapan Bapak SS 101, yang menyatakan bahwa ” bukanlah seorang pelukis yang tidak bisa melukis “lincak (kursi) seperti lincak”! [9].
Meskipun Sudjojono bukanlah seorang akademisi dan dididik melukis secara akademis, namun perhatiannya akan kemampuan teknis menjadi satu hal yang penting sebagai satu bentuk penguasaan media ungkap. Suatu hal yang sangat diingatnya adalah ungkapan Mas Pirngadi pada tahun 1928 sewaktu mengajarinya melukis, beliau  mengatakan,
“Menggambar awan gunakan warna putih, oker, dicampur vermillion sedikit. Sedangkan untuk bayangan ialah warna-warna itu ditambah dengan biru. Untuk bayangan air disawah, gunakan warna-warna tersebut ditambah oker dan biru sedikit lagi. Warna oker adalah warna kunci. Hindarkan pemakaian warna hitam dan putih“.[10]
Perhatian Sudjojono yang besar terhadap perkembangan paradigma kesenian dan  wacana keilmuan juga ditunjukkan -dalam upaya pencarian identitas (diri) corak (keindonesiaan)[11],- dalam sebuah “nasehatnya”, ..tiada salahnya saudara mempelajari seni lukis Barat mulai dari renaissance Leonardo Da Vinci sampai realism Delacroix ke seni lukis baru Picasso. Tidak dalam pengertian teknik saja, namun juga filsafat seni (nya) yang menjadi dasar lahirnya aliran-aliran tersebut. [12] Hingga kemudian, dia menyatakan bahwasanya seorang pelukis belajar bukan berarti meniru, mengimitasi namun memahami sejarah keilmuannya untuk kemudian, menutup buku dan menghasilkan karyanya sendiri, sesuai dengan karakter jiwa yang dimilikinya. Maka pada waktu itulah terjadi corak seni lukis Indonesia baru, dan kita mendapatkan “aku” kita! ![13]
Hal ini semakin tegas diungkapkan oleh Sudjojono dalam sebuah artikelnya yang dimuat dalam majalah Revolusioner dan diterbitkan lagi pada tahun 1948 dan berjudul” Kami Tahu Kemana Seni Lukis Indonesia Akan Kami Bawa”. Dalam tulisan ini Sudjojono menyatakan bahwa :
Orang (pelukis) Indonesia  tidak mengekor atau mengkopi saja dari seni lukis Barat, akan tetapi kebenaran-kebenaran dari teori Da Vinci, Durer, Cezanne, dan lain-lain, dirasakan sebagai sebuah pengalaman (belevenis). Realisme bukan kepunyaan Barat Saja, begitupun orang Indonesia sampai pada Impresionisme, Ekspresionisme dan Surealisme oleh kekuatan jiwanya sendiri (!!), tidak karena adanya Kokoscha, Klee, Munch, Chagall, Utrillo dll. Jangan hendaknya memakai teori-teori melulu, tapi untuk mengerti seni lukis dibutuhkan pengalaman bertahun-tahun dan pengetahuan tentang “penseelvoering” (kecakapan teknis dan goresan pensil) disertai rasa asli yang halus.[14]
Sekilas membaca tentang Sudjojono kita akan dihantarkan bertemu seseorang dengan karakter kuat dan teguh. Kecermelangan pemikiran yang dibalut semangat “keras kepala” tercermin dalam setiap gerak kuas dan goresan pena-nya. Semangat revolusioner yang berangkar pada sentimen nasionalisme yang kukuh, mengkoarkan gelegak kritisnya terhadap seni lukis Mooi Indie yang kental dengan kaidah trimurti (gunung, pohon kelapa dan sawah). Dihadirkannya visi ideologi kerakyatan, sebuah implementasi dari kesadaran akan semangat nasionalisme, ditunjukkan dalam karya seni lukis kerakyatan yang menangkap realitas kehidupan rakyat yang menderita. Di dalam pandangannya, seni lukis harus mampu mengungkapkan keberpihakan pada perjuangan rakyat, bukan hanya sekedar mengungkapkan eksotisme sebagaimana yang dihembuskan oleh seni lukis Mooi Indie.
Ditangannyalah pada tanggal 23 Oktober 1938 lahir PERSAGI (Persatuan Ahli Gambar Indonesia),[15] sebuah organisasi pribumi, yang mempunyai dorongan semangat  mencari estetika baru dalam semangat nasionalisme. Ditangannyalah PERSAGI mampu memprokamirkan seni lukis pribumi, dalam  pameran pertamanya yang bertempat di toko buku Kolff & Co. hingga mampu menarik ruang perhatian Batavia Kunstkring untuk menggelar karya-karya PERSAGI pada Mei 1941. Dari tangannyalah gerak seni lukis baru Indonesia membentangkan sayap, dari jiwanyalah tertancap taji seni lukis “revolusioner” Indonesia, dari dirinyalah, seorang Sudjojono, seorang pemuda yang saat itu  berumur 25 tahun!!







[1] Sebagaimana yang diungkapkan Trisno Sumardjo dalam artikel yang berjudul sama. Mimbar Indonesia, No. 42, 15 Oktober 1949.
[2] Menuju Corak Seni Lukis Baru Indonesia, Seni Lukis Indonesia Sekarang dan Yang Akan Datang. Kesenian, Seniman dan Masyarakat. Penerbit Indonesia Sekarang, Yogyakarta, 1946
[3] Kesenimanan (Belanda)
[4] Kerja optic (belanda)
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Tema-tema yang sangat grafis dan manis (Belanda)
[8] Ibid.
[9] Trisno Sumardjo Sudjojono Bapak Seni Lukis Baru Indonesia, Mimbar Indonesia, No.42 Oktober 1949.
[10] Lihat dalam catatan kaki: Dua Seni Rupa, Sepilihan Tulisan Sanento Yuliman, p.81
[11] Perbincangan seputar pencarian identitas dan kepribadian nasional, telah melahirkan perdebatan yang berjangkit mulai dariMooi Indie dan PERSAGI dengan corak Seni Lukis Persatuan Indonesia Baru- nya, melaju hingga polemik MANIKEBU dan LEKRA, hingga lahirnya perdebatan seni lukis modern Indonesia yang melahirkan mahzab Jogja dan mahzab Bandung.
[12] Menuju Corak Seni Lukis Baru Indonesia, Seni Lukis Indonesia Sekarang dan Yang Akan Datang. Kesenian, Seniman dan Masyarakat. Penerbit Indonesia Sekarang, Yogyakarta, 1946.
[13] Ibid.
[14] Trisno Sumardjo, Ibid.
[15] Sanusi Pane, Pertunjukan Loekisan-loekisan Indonesia di Kuntskring Jakarta (7 sampai 30 Mei 1941), Poejangga Baru, Jaarg VIII, No. 11 Mei 1941, dalam Agus Burhan, Seni Rupa Modern Indonesia: Tinjauan Sosiohistoris, Aspek-Aspek Seni Visual Indonesia, Yayasan Cemeti Yogyakarta, p. 21

SECANGKIR PENYEMANGAT :‘NASEHAT’ SUDJOJONO

Posted on

Jumat, 18 November 2011

Leave a Reply