Sangkring Art Project (SAP) Yogyakarta. 16 Juni 2011

Kurator : Hendra Himawan

Dialektika antara kultur (culture) dan natur (nature) berikut tegangan-tegangan kausalitas yang terjadi diantaranya, adalah hal yang ingin diungkapkan oleh Kelompok Denting dalam pameran ini. Natur yang sejatinya tidak akan berubah kecuali untuk meregenerasi struktur ekologinya, seolah dipaksa untuk berubah karena perilaku manusia. Di lain pihak, kultur manusia pun tak luput dari kodrat untuk sebuah  perubahan seiring laju paradigma pemikiran mereka. Modernitas adalah bingkai perspektif yang merubah keduanya, sebagaimana yang dapat dilihat pada karya kelompok Denting ini. Jika tidak diimbangi dengan kesiapan, maka modernitas akan merubah natur, secepat ia merombak kultur manusia di dalamnya. Memang disayangkan, terkadang keinginan untuk mengikuti laju modernitas membuat manusia menafikkan natur yang seharusnya dipelihara. Keinginan untuk menjadi yang paling unggul, membuat mereka menghalalkan cara-cara yang pada akhirnya menyurukkan mereka, tak ubahnya seperti makhluk pada ras terendah. Berita Cuaca adalah sebuah pengkabaran. Ia bukan hanya slogan peduli alam dan lingkungan. Ia adalah pengingat, selayaknya alarm dan reminder. Bahwa manusia tidak bisa lagi untuk tidak peduli pada keseimbangan kultur dan natur.

***

Sarang dari lilitan jerami teronggok dalam tumpukan ladang sampah. Di dalam sarangnya tersemat tebing tanah dengan pohon hijau yang tumbuh sendiri. Lonely tree adalah pohon yang hanya tumbuh sendiri disebuah padang atau bukit yang luas, dimana tidak ada satu tanamanpun yang tumbuh disana. Ada sebuah harapan yang disematkan Gunarso dalam karya ini. Bagaimana dari seonggok sarang yang lapuk, terjatuh ditumpukan sampah, terbangun sebuah impian yang bertumbuh. Meski sendiri, ia mengisyaratkan semangat akan sebuah sikap survive dan bertahan hidup. Mengamati lebih dalam karya ini, tumpukan sampah hadir bukan semata menjadi latar. Bungkus makanan instan, plastik-plastik kemasan adalah citra-citra yang disematkan Gunarso kala membaca modernitas. Bagaimana budaya modern yang melahirkan sikap konsumtif masyarakat, yang menjadi pemicu lahirnya ladang-ladang sampah baru, di mana seharusnya tanah itu bertanamkan rimbun pepohonan.
Modernitas, inilah yang menjadi bingkai perspektif kelompok Denting dalam memandang fenomena alam (nature) dan lingkup budaya (culture) yang terjadi di sekitar mereka. Fenomena dialektik antara kultur (culture) dan natur (nature) berikut tegangan-tegangan kausalitas yang terjadi diantaranya. Natur yang sejatinya tidak akan berubah kecuali untuk meregenerasi struktur ekologinya, seolah dipaksa untuk berubah karena perilaku manusia. Di lain pihak, kultur manusia pun tak luput dari kodrat untuk sebuah  perubahan seiring laju paradigma pemikiran mereka.. Jika tidak diimbangi dengan kesiapan, maka modernitas akan merubah natur, secepat ia merombak kultur manusia di dalamnya. Memang disayangkan, terkadang keinginan untuk mengikuti laju modernitas membuat manusia menafikkan natur yang seharusnya dipelihara. Keinginan untuk menjadi yang paling unggul, membuat mereka menghalalkan cara-cara yang pada akhirnya menyurukkan mereka, tak ubahnya seperti makhluk pada ras terendah. Berita Cuaca adalah konsep tentang pengkabaran. Pameran ini bukan hanya slogan kepedulian kelompok Denting akan alam dan lingkungan sosialnya. Ia adalah pengingat, selayaknya alarm dan reminder, di mana manusia tidak bisa lagi untuk tidak peduli pada keseimbangan kultur dan natur.
Senada dengan Gunarso, Nunung mempunyai semangat dan spirit yang sama. Koran-koran dengan berita mengenai illegal logging dihadirkannya dengan gambar pohon-pohon yang sudah ditebang menjadi back ground lukisan. Lukisan mengenai alam yang hijau yang dipercantik dengan pita merah adalah focus of interest dalam karya ini. Seoongok uang pecahan seratus ribu muncul secara samar di alam hijau. Sebuah kritik sosial yang cerdas dimunculkan oleh Nunung. Betapa sebuah modernitas yang ditandai dengan banyaknya pembangunan akhirnya memaksa hutan untuk berubah. Uang menjadi si jahat yang mengubah wajah hutan yang semula hijau menjadi kering hanya dalam waktu singkat. Manusia pun tidak bisa banyak berbuat banyak di sini. Mereka hanya menjadi penonton yang membaca berita lewat koran, mereka juga menjadi pihak yang dirugikan dengan penggundulan hutan tersebut, dan di saat bersamaan mereka juga menjadi si jahat yang memakai uang untuk menggunduli hutan. Lalu, siapa lagi yang harus dipersalahkan?
“Peduli Kata Orang”, mungkin inilah yang diteriakkan oleh Kartiko  dalam lukisannya saat menggambarkan dualitas manusia di era modern, dimana pertantangan antara kultur dan natur begitu berefek besar dalam kehidupan manusia sekarang. Memandang lukisannya kita akan diingatkan akan Janus. Adalah seorang dewa dalam mitologi Yunani yang berwajah dua dalam satu tubuh, di mana keduanya menjadi cermin sifat yang berbeda. Pada lukisan ini, bukan hanya wajah yang berbeda namun ada dua bagian tubuh yang berbeda rupa serta bentuk. Sisi kiri menggambarkan perempuan dengan tangan menutup kuping. Sisi kanan adalah laki-laki dengan tangan memegang sumpit mengambil makanan dari atas mangkuk. Yang menarik dalam lukisan ini justru terletak pada pembagian dua ‘dunia’ meski mereka berada dalam satu ruang yang sama. Sisi perempuan duduk di atas tempat tidur dengan latar belakang sebatang pohon, dan sisi laki-laki duduk di atas sofa merah dengan latar belakang jendela yang terbuka.
            Dualitas sifat dan perilaku niscaya akan selalu hadir dalam diri manusia, meski ada yang nampak dengan jelas dan ada yang muncul perlahan bak air yang merembes dari celah bebatuan. Kartiko dengan gamblang menceritakan betapa dalam sebuah ikatan antar lelaki dan perempuan akan selalu ada sisi yang tidak bisa disamakan. Lebih jauh lagi, jika kemudian perempuan diibaratkan sebagai sisi natur atau alami, dan lelaki ada di pihak kultur, maka lukisan ini menggambarkan dengan jelas bentrok yang akan hadir diantara keduanya. Natur dan kultur tidak akan serta merta berubah begitu saja jika tidak ada yang memicu. Meski ada sisi yang menolak untuk mengakui perubahan itu sebagaimana yang ditunjukkan oleh si perempuan dengan menutup kuping, namun waktu akan terus bergulir dan perubahan menjadi sesuatu yang tidak terelakkan.
Ungkapan frontal juga disuarakan Karte dalam “I Am Not Blind”. Melihat karya ini, banyak orang yang akan langsung mengidentikkan gambar ini dengan film anak-anak 101 Dalmatian keluaran Walt Disney yang sempat berjaya di dekade 90 an. Menariknya lukisan ini, ika dicermati lebih lanjut, diantara banyak anjing bertotol hitam di atas tubuhnya yang putih ini ada satu sosok yang berbeda. Ketika anjing yang lain hanya terpekur dengan tatap kosong, seekor anjing berkacamata biru duduk di baris paling depan dan memilih untuk melihat ke arah yang lain.
 Dan, tidak seperti film anak-anak yang menampilkan sosok anjing-anjing baik dan penurut. Melalui lukisan ini Karte justru bisa dikatakan sedang melakukan sebuah kritik atas modernitas. Mengapa demikian? Ketika banyak orang yang memilih untuk sama dalam hal penampilan serta dikuasai oleh gaya yang sedang menjadi tren saat itu, ternyata tetap ada segelintir orang yang memilih untuk tetap menjadi dirinya sendiri. Teriakan ‘I Am Not Blind’ seolah menggema lewat sosok anjing berkacamata biru. Ia siap menjadi asing dan sendiri diantara teman-temannya yang serupa. Namun sejauh mana ia akan mampu bertahan?
Perubahan nature dan kultur akan merubah gaya hidup dan perilaku manusia di dalamnya. Karena tuntutan gaya hidup yang harus dipenuhi, kebutuhan akan ego dan materi, di era modern, manusia banyak yang menjadi kalap dalam melihat  dunianya. Disisi inilah kemudian nurani terabaikan, setiap mata telah tergelapkan. Segala cara seakan halal untuk dilakukan. Hal inilah yang coba diungkapkan oleh Giring dalam karya yang berjudul “Femme Fatale #1 dan #2.
Tidak perlu kekuatan berlebih untuk membuat perempuan berkuasa, dan dunia pun sudah menjadi saksi akan hal itu. Matahari, Cleopatra dan Nyai Dasima hanyalah tiga dari banyak perempuan hebat yang menorehkan nama dalam sejarah dunia karena kekuatan rayuan dan godaan mereka untuk mendapat apa yang mereka inginkan. Mereka inilah yang kemudian disebut sebagai femme fatale.
Dalam  lukisan ini, sosok perempuan berwajah putih dengan rambut merah menyala serta anting Anjani berwarna senada. Bibirnya terbuka sedikit memperlihatkan taringnya yang tajam, dan lidahnya disapukan ke sudut kiri atas untuk menjilat sisa darah yang keluar. Dewi Anjani yang disematkannya sebagai anting pun bukan tanpa alasan. Anjani adalah seorang dewi yang cantik dan mempunyai paras yang menarik. Ia memiliki cupumanik Astagina yang saat itu dibuka didalamnya akan terlihat segala peristiwa yang terjadi diangkasa dan dibumi, hingga pada lapis ke tujuh. Kecantikan Anjani dengan kemampuannya melihat segenap sisi di dunia adalah hal yang menjadi relasi femme fatale dalam karya Giring. ‘Perempuan Penggoda’ yang mampu menggunakan kecantikannya untuk menguasai dunia. (+++)


 catatan media : 


Pameran Kelompok DENTING “BERITA CUACA”

Posted on

Jumat, 18 November 2011

Leave a Reply