by. Hendra Himawan*


Lihatlah, bagaimana tubuh diisi oleh makna dengan fokus utamanya jiwa yang ada didalamnya. Siapapun engkau, betapa luar biasanya dan ilahinya tubuhmu, atau bagian-bagiannya. (Walt Whitman, Marx’sfriend, “Starting From Paumanok”)



Tarian Tubuh, Tarian Jiwa
Tubuh-tubuh  yang dihadirkan oleh Surya Wijaya, adalah sebuah konstruksi yang agitatif. Betapa tidak, gesture tubuh  yang di tampilkan secara frontal mampu mengetuk perhatian kita untuk hanyut dalam alun ayun yang dinamik. Anatomi visual  dalam beragam geliat tubuh mampu menggugah persepsi kita untuk menyelami ruang-ruang maknawi yang dalam. Konstruksi tubuh yang diciptakannya mampu merangkaikan simpul-simpul persepsi kita dalam konstruksi sosial yang lebih luas.
Melihat tubuh-tubuh Surya Wijaya, kita akan dihantarkan pada pembacaan konsepsi tentang tubuh yang beragam dan paradok. Sejarah panjang telah menghantarkan tubuh sebagai kunci untuk memahami ruang-ruang dalam jagad interpretasi yang bertautan dengan realitas diri dan ruang sosial. Dimulakan dengan peradaban Yunani yang menjadikan tubuh sebagai pusat kebudayaan,-yang kemudian ditegaskan dengan ritus Olimpiade di Gunung Olimpus pada tahun 776 SM,  masa Renaissanc, hingga mekanisasi era  modernis, permasalahan tubuh selalu bersifat dikotomis dan dualism, antara “tubuh” dan jiwa yang berada didalamnya.
Socrates menggambarkan tubuh sebagai sebuah perangkap jiwa. Jiwa digambarkan sebagai sebuah tawanan yang tidak berdaya, dengan tangan dan kaki yang  terantai, dipaksa untuk melihat realitas secara tidak langsung, melihatnya hanya sebatas celah-celah kecil dalam bilik tubuh yang lemah. Pemikirannya menyatakan bahwa tubuh telah memperbudak jiwa dan membelenggu diri manusia dari realitas kebenaran meskipun secuil saja. Baginya tubuh adalah “makam atau kuburan jiwa”.
Pandangan negativism-dualism Socrates ini telah  memicu lahirnya konflik antara tubuh dan jiwa yang bersifat imanen, permanen dan totalitarian.
Kemudian, bagaimana dengan eksistensi tubuh-tubuh karya Surya Wijaya? Apakah ia hanyalah silangan jeruji-jeruji besi yang meliuk tanpa arti? Hadir secara normatif, menyilangkan rautan besi yang menawan jiwa? Apakah konstruksi-konstruksi anatomis yang diciptakannya telah memperangkap entitas diri dari realitas yang  sebenarnya?
Ternyata bukan sebuah tubuh yang hadir dalam wadag kasar saja yang dibawa oleh Surya Wijaya, ia banyak melakukan identifikasi terhadap ruh dan jiwa yang mengalunkan gerak wadag tubuh tersebut. Jeruji-jeruji besi yang membentuk anatomi tubuh ciptaannya bukanlah sebuah perangkap yang menawan ruh, atau ungkapan penjara bagi jiwa,  namun ia percaya, geliat-geliat tubuh yang diciptakannya merupakan manifestasi jiwa yang muncul dari energi yang sedemikian kuat, sebuah taksu yang demikian dalam. Baginya gerak-gerak dinamis dari tubuh-tubuh yang diciptakannya merupakan manifestasi dari kesadaran dalam melihat realitas diri manusia yang paling mendasar, tentang hasrat dan kehendak jiwa. Gerak-gerak yang dimunculkan ibarat sebuah tarian lepas, sebuah gairah tubuh yang bergelora, dari jiwa yang terus bergejolak. Entitas kebebasan jiwa inilah yang coba diungkapkan Surya Wijaya dalam karya-karyanya.
Maka sungguhlah tepat andaikata kita menyandarkan gagasan-gagasan karya Surya Wijaya dalam pandangan materialism Aristotelian, dimana jiwa merupakan “prinsip kehidupan” dan ia menggambarkannya sebagai sebuah “bentuk istimewa dari tubuh yang hidup”. Tubuh-tubuh yang indah merupakan jalan asketisme yang paling kudus menuju nilai Keindahan Absolut dan Tuhan, sebagaimana ungkapan Plato yang agung dalam The Symposium. Bagi Plato, tubuh adalah entitas yang mempunyai beragam makna, dan jiwalah yang menyematkan spiritualitas didalamnya, menjadikannya hidup dan menghidupkannya.
Ruang Makna
Kemampuan menangkap imaji dari gerak bebas tubuh yang diungkap oleh Surya Wijaya, adalah sebuah kepekaan diri yang muncul dalam penyelamannya dalam dimensi-dimensi ruhiyah dan lompatannya terhadap dimensi-dimensi transenden dalam rihlah (perjalanan) spiritualitas hidupnya. Bagaimana imajinasi bebasnya bertautan dalam alam bawah sadar, mengambil setiap detil momentik sebagai peluang gerak yang akan dibentuk dalam logam-logam besi karyanya. Ia memperlakukan gagasan dan media ekspresinya sebagai sebuah ruang yang penuh dengan kemungkinan-kemungkinan penciptaan (eksploratif).
 Judul karya seperti Lose Control, Free Style, dan lainnya merupakan manifestasi akan kecakapan dirinya memahami segenap realitas social, ke dalam realitas tubuhnya, hingga kesadaran akan realitas jiwanya (taksu). Gerak-gerak dinamis yang hadir dalam karyanya adalah sebuah perabaan imajiner dari setiap objek yang dia temui, yang penuh dengan ketidakterdugaan dan absurd. Geliat tubuh yang dihadirkannya merupakan sekian dari ribuan kemungkinan yang muncul dalam imajinasinya yang bertebaran dan berterbangan. Disinilah kemudian Surya Wijaya mengasah segenap kemampuan estetisnya untuk menangkap tebaran gagasan, menjajaki segenap kemungkinan bentuk dan aura, sehingga tubuh itu tidaklah hadir secara normatif saja, namun kental dengan ruang pengembaraan makna.
Dalam karya Lose Control misalnya, kita akan melihat bagaimana figur perempuan menggeliat bertumpu  pada satu kaki mengayunkan gerak tubuhnya yang dinamik, sebagai sebuah penggambaran jiwa yang terhempas. Sedangkan ungkapan diri yang meluruh juga hadir dalam figur tubuh perempuan berwarna merah bertumpukan tangan kanan seolah sedang mengalami ekstase yang mengarah pada wilayah trance. Sungguh sebuah pendalaman bentuk yang bertumpukan pada rasa, jauh dari kesan apa adanya.
Tubuh-tubuh Surya Wijaya hadir sebagai sebuah dimensi yang menghasut. Betapa tidak pola bentuk yang ditawarkannya adalah sebuah ruang yang mampu mengajak public penikmat untuk memahami dan masuk dalam ruang-ruang imajiner yang ditangkapnya, merasakan alun tubuh karyanya, serta menghenyakkan perhatian untuk memasuki ruang pemaknaan yang lebih dalam. Garis-garis gesture tubuh dihadirkan bukan semata karena lepasan imajinasi yang artistic saja, namun sebuah gerak yang ditangkap penuh dengan laku kontemplatif. Disinilah kemudian kita akan sadar bagaimana taksu hadir dan tersemat dalam karyanya dengan sempurna.
Spirit untuk memahami setiap gerak dan ketepatan momentiklah yang membawa karya-karya Surya Wijaya ini kepada para pendahulunya, sebut saja Umberto Boccioni yang sangat piawai memainkan irama bentuk, sarat dengan gerak dinamik, dan kaya dengan gugahan interpretasi. Sungguhlah kita akan melihat bagaimana kepiawaian Surya Wijaya mengolah dinamisasi tubuh-tubuh sebagaimana halnya Alberto Giacometti memandang figur-figur tubuh yang dihasilkannya. Sebagai seorang yang menganut Surealisme, Giacometti sangat berpijak pada imajinasi sebagai landasan proses kreatifnya. Dari sanalah pula lahir karya-karya patung yang ekspresif dan memperlihatkan arsitektonik konstruksi tubuh dan figur-figur yang suspensif. Kesadaran untukmenangkap momentum gerak dalam ruang dan waktu Giacometti ini pula yang digunakan Surya Wijaya untuk menghantarkan kita pada gugahan gerak tubuh-tubuhnya. Untuk mengetuk perhatian dan imajinasi public terhadap karyanya, Surya Wijaya akan menghantarkan kita bersua dengan karya-karya patung Henry Moore yang sangat ekspresif, penuh lekuk gerak yang interpretative, dan menggugah imajinasi kita untuk menafsirkannya lebih dalam. Dalam karyanya terkesan kuat upaya Surya Wijaya memperlakukan object dalam kaidah The object dissected at rest & in motion (dimana obyek dipotong/diiris atau dibedah atas dasar diam dan bergerak), sebagaimana yang diungkapkan Ritchi dalam Sculpture in Twentieth Century-nya. Maka sekali lagi, sungguh tubuh yang dihadirkan merupakan upaya penegasan artistik Surya Wijaya yang sangat memperhitungkan teknis dan media yang digunakannya. Kemampuannya untuk membaca segenap karakter bahan yang akan digunakannya merupakan salah satu pemicu lahirnya bentuk-bentuk yang artistic dan mampu menyampaikan gagasan kebentukannya secara liat.  
Epilog
Pembacaan terhadap karya Surya Wijaya adalah sebuah pembacaan yang mampu membuka imajinasi pemikiran kita lebih luas lagi. Mulai dari formalisme tubuh yang ia tawarkan, gestur-gestur tubuh yang di perlihatkan, berikut konsep karya yang menggugah kesadaran diri akan realitas maknawi yang selama ini seringkali terabaikan. Dan kesadaran jiwa menjadi titik penting untuk memahami setiap lekuk tubuh-tubuh Surya Wijaya, memahami detail-detil karyanya, dan menikmati gerak-gerak yang diciptakannya.  
Proses kreatif Surya Wijaya adalah sebuah proses yang tiada henti, hidupnya adalah menjelajahi segenap kemungkinan yang hadir dalam detil-detil gagasan dan kemampuan praktikalnya. Tubuh-tubuhnya senantiasa menggugah imajinasinya sendiri untuk menyelaminya lebih dalam lagi. Berawal dari tubuh yang konservatif, Surya Wijaya akan memicu public untuk memahami tubuh social secara lebih kosntruktif.  Ia tidak akan pernah berhenti pada satu lini, namun akan terus bergerak meniti laku kreatifnya sendiri. Meraba tubuh meraba nurani, menjelajahi tubuh menjelajahi kehidupan.


* Hendra Himawan adalah penulis seni rupa, tinggal di Yogyakarta.

GELIAT JIWA, GELIAT TUBUH YANG MENGGUGAH

Posted on

Jumat, 18 November 2011

Leave a Reply