Jula-Juli Romy:
Kidung Visual dan Spiritual

(Catatan Kuratorial 
Pameran Tunggal Romy Setiawan
 "HA..HA..HA..HA" Bentara Budaya Yogyakarta, 2011)  

Hendra Himawan S.Sn*



(satu) Latar  Ludruk dan Satire


Bekupon Omahe Doro, Melok Nipon Soyo Sengsoro
(Cak Durasim , Loedroek Organizatie (LO), 1933)



 “PURNAMA JAYA” adalah grup ludruk asal Desa Kemiri, Pacet, Mojokerto. Di era 90-an, grup ini sempat berjaya yang ditandai dengan tingginya tawaran pentas keliling. Para pemainnya juga berasal dari penduduk desa sendiri. Dari Kediri, Tuban hingga Banyuwangi, grup ini melantunkan jula-juli. Ludruk ini dipimpin oleh Purhadi, seorang guru di SMK Negeri Pungging, Mojosari, yang tak lain adalah ayahanda Romy. Dalam irama gending dan geliat Ngremo, Romy dibesarkan. Masih segar diingatannya saat ikut rombongan ludruk pentas dari dusun ke dusun, maupun menyimak latihan di balai dusun.
Memori tentang ludruk dan jula-juli inilah yang terinternalisasi dalam proses kreatif Romy. Entah disadari atau tidak, gaya humor ‘sampakan’ (parikeno) menjadi spirit dalam goresan pensil maupun pokok perupaannya. Humor ludruk yang terkesan  ‘saru’ dan ‘kasar’, mlipir dari pinggir, disuarakan rakyat ‘pinggiran’, adalah strategi yang digunakannya untuk mengungkapkan gagasan.

Humor dalam pandangan Romy, sangat berbeda dengan banyak pandangan awam. Melihat kedalam lukisannya, seakan tersirat sebuah alasan persaksian bahwa humor yang terselip dalam karikatural objek adalah sebuah sketsa vibrasi keluhan dan potret sosial dari lingkungan sekitar. Baginya, tertawa bukan penjelmaan dari ekspresi membuka mulut lebar-lebar lalu terbahak-bahak, melainkan sebuah kegetiran untuk menumpahkan fantasi senyum. Dimensi inilah yang menguatkan aspek-aspek humor menjadi medan penumpahan dan emphasis keseriusan untuk menjadi ‘satire’.


Inilah yang kemudian menjadi dalih penciptaan Romy. Wacana yang diusungnya berpijak dari kenyataan sehari-hari, -meski hadir dalam bingkai imajinasi. Hal yang sama terjadi dalam ludruk di mana parikan-parikan ludruk selalu menyentil ketajaman nurani sekaligus mengoyak kesadaran manusia. Meski dihadirkan dengan bahasa metafora, sasaran parikan tetap dikenali penontonnya. Spirit yang sama dengan adegan ‘Goro-Goro’ yang menempati petak marjinal  dalam dunia pewayangan. Adegan ini selalu dinantikan oleh penontonnya meski ditempatkan pada  dini hari  menjelang fajar. Pada adegan itulah para Punakawan hadir menciptakan ke-jenial-an humor satire. Dalam skenario dalang, Ki Semar akan ngejowantah, merefleksikan kekinian yang dilindapkan dalam bahasa ‘pasemon’.

Humor Romy adalah antiklimak. Saat realita kepedihan ditertawakan, dan setiap tawa seakan hanya berujung pada kucuran air mata. Sense of humour  menjadi jalan untuk mengungkap kesialan hidup dan pupusnya kepekaan dari indera kita. Baginya, di tengah dentuman modernism, humor telah meruang dan mengaklamasikan diri menjadi arena katarsis yang meletup dari kemajemukan dan kegelisahan psikis manusia dalam menyikapi hidup.

‘Panggung Humor Romy’ ini memang tidak bisa dilihat sekilas. Ia adalah humor yang berfikir. Kata ‘lucu’, mungkin hanya akan kita lihat dari bentuk figure dan beberapa adegan yang dihadirkannya. Namun lebih jauh dari itu, senyatanya humor Romy harus dilihat dalam pengamatan yang lebih mendalam. ‘Kelucuan’ itu diletakkannya dalam dimensi konotasi  fase kedua, ketiga dan selanjutnya. Butuh pemikiran lebih dan pemahaman yang luas untuk ‘berjabat tangan’ dengan humor-nya.  Tapi inilah jula-juli humor Romy. Ia hadir dalam belitan tanda, dalam figure yang riuh dalam bentuk objek yang karikatural.

Gambar-gambar karikatur dalam lukisan Romy adalah lindapan potret permasalahan masyarakat yang menyentuh sublimasi kemanusiaan. Ia berbicara banyak hal. Mulai dari piknik à la kaum kecil, hingga persoalan nuklir. Dari mimpi ingin terbang hingga group musik spiritual. Ia menyentuh sisi liar dalam diri manusia hingga eksistensi Tuhan yang kadang terlupa. Pameran ini seakan menegaskan bahwa humor adalah hal yang esensial dari hidup manusia, dan ia mampu menjadi jalan untuk menuju ‘kesadaran diri’. Mengajak manusia untuk membangkang sejenak dari kejumudan hidup, mengintip realitas sebenarnya dari balik jendela. Merasakan kepekaan diri, membangkitkan kesadaran untuk berfikir santun tanpa kehilangan kata senyum.
 Humor Romy kadang menampar tepat di muka kita, walaupun satire humor itu tidak dalam kapasitas pukulan hook yang mematikan. Kadang ia mengajak kita untuk menertawakan sesuatu dibalik jendela yang dibuatnya, yang sekaligus menertawakan diri kita sendiri.  Keampuhan humor Romy terletak di kesanggupannya untuk merogoh pikiran kita sedalam-dalamnya, hingga menyentuh vibrasi emosional kita. Humor dalam lukisan Romy adalah humor yang hadir dalam kematangan berfikir. Tidak hanya joke-joke ringan, kelugasan wajah, ataupun gerak verbalistik yang memancing tawa. Humor dihadirkan sebagai citra dari perenungan yang dalam, meregum kecerdasan dan ke-jenial-an.
Melihat gaya berfikir dan strategi narasi Romy dalam lukisannya, kita akan diingatkan dengan siasat  ludruk Cak Durasim. Bagaimana ia melakukan kritik satire lewat secara gencar terhadap pemerintah Jepang dalam parikan “Bekupon Omahe Doro, Melok Nipon Soyo Sengsoro” (Pagupon rumah burung dara, ikut Nippon tambah sengsara). Parikan satire yang hadir dalam ludruk senyatanya mampu menumbuhkan kekuatan dan akumulasi energi psikis rakyat Surabaya atas pendudukan Jepang.
Coligo in sole, ungkapan latin yang berarti ‘melek tetapi tidak melihat’, adalah gambaran yang mungkin tepat dengan kondisi kita saat ini. Sebuah analogi atas masyarakat yang membutuhkan humor agar tetap ‘melek’, terjaga dan tersadar sisi lahir maupun batinnya.  Humor menyelinap dalam sisi keangkuhan manusia, ketulian pendengaran, kebutaan penglihatan dan ketumpulan nurani, yang entah disengaja ataupun tidak. Dalam lukisan Romy, humor hadir mentahbiskan diri sebagai ‘institusi’ yang mampu memicu lahirnya kritik diri. Layaknya anak kecil yang melantunkan kepolosan, ia memprioritaskan pada pelepasan nilai-nilai kebenaran. Humornya, bukan sekedar ampas pelepas penat, apalagi “kentut emosi” yang lekas menguap.

(dua) Drawing dan Jelajah Estetik
Teknik drawing adalah salah satu kekuatan Romy dalam berkarya. Bagaimana craftmanship yang dimilikinya, tergurat dalam detail-detail arsiran (hatching) dengan intensitas yang mampu menciptakan ‘kedalaman’ tersendiri. Drawing, pada tingkat pengertian yang paling sederhana adalah dasar bagi segala hal dalam seni rupa. Ia menjadi bagian yang paling fundamental sekaligus populer sebagai media ekspresi publik sepanjang sejarah.  Drawing atau gambar mampu berdiri sendiri sebagai fakta kasat mata yang mampu memperlihatkan pikiran dan dan perencanaan seniman dalam jelajah kreativitasnya.
Pada tingkat pertama, drawing dapat diidentikkan dengan sketsa, yakni sebuah catatan atau rekaman atas objek dan peristiwa yang digambar dengan cepat, yang dianggap menarik oleh penggambar. Bagi seniman, gambar kasar ini biasanya akan diteruskan untuk membuat karya berikutnya. Kedua, gambar hadir sebagai sebuah karya yang utuh dan berdiri sendiri. Ia mampu mewakili segenap pernyataan seniman, tanpa perlu dilanjutkan lagi untuk menghadirkan karya yang baru. Pada tahap ini, drawing seringkali dianggap hanya sebatas teknik perupaan, padahal senyatanya tidaklah demikian. Käthe KollwitzMax BeckmannJean DubuffetEgon SchielePaul KleeOscar KokoschkaAlphonse MuchaM. C. EscherAndré MassonJules Pascin, dan Pablo Picasso adalah beberapa seniman yang banyak menggunakan drawing sebagai media perupaan karya.
 Drawing secara tradisional selalu monokromatik, meskipun terkadang menggunakan beberapa warna sebagai elemen pendukung. Dalam Gerald F. Brommer, Exploring Drawing. Worcester, Massachusetts: Davis Publications. 1988, dan Betty Edwards, The New Drawing on the Right Side of the Brain, Harper Collins Publishers Ltd; 3Rev Ed edition, 2001, diungkapkan bahwa di era modern ini kehadiran drawing dengan menggunakan pensil warna, telah mendekati bahkan melintasi batas antara ‘drawing’ dan ‘painting’. Namun, senyatanya dalam terminologi Barat, ‘drawing’ dan ‘painting’ jelas berbeda meskipun menggunakan media dan alat yang sama. Penggunaan media kering juga sering diasosikan dengan ‘drawing’, sebagaimana penggunaan kapur  pada lukisan pastel. ‘Drawing’ akan lebih diidentikkan dengan media untuk melakukan eksplorasi, observasi ataupun strategi dalam mengatur komposisi visual. Namun terlepas dari permasalahan ini, drawing merupakan satu hal penting yang digunakan  dalam persiapan melukis.
Dalam karya Romy, drawing hadir sebagai media dan teknik yang berdiri sendiri. Pensil di gunakan Romy untuk mendokumentasikan seluruh gagasannya. Menurutnya, drawing dipilih karena ia mampu melakukan kontrol yang lebih saat membuat sebuah karya. Berbeda dengan cat minyak yang lama kering dan butuh kepiawaian khusus atau cat akrilik yang lebih cepat kering, dengan pensil, Romy mampu menaklukkan kanvasnya. Lebih lanjut, diakuinya pensil memang mempunyai berbagai kelemahan dalam mengejar intensitas dan kepekatan warna, untuk itu ia meng-combine dengan beberapa media.
Dalam prosesnya, ia menggunakan beragam jenis pensil, mulai dari pensil tipe B untuk membuat sketsa hingga pensil tipe H untuk membuat beragam ornamen dan ‘konstruksi’ dalam lukisannya. Pensil tipe B ia gunakan untuk mengejar kepekatan warna sekaligus lebih lunak dipakai. Penggunaan beberapa jenis pensil ini diupayakan untuk menetukan value dan tekstur arsir yang diinginkan sekaligus mampu menghasilkan efek visual yang beragam.
Ragam teknik arsiran juga digunakan Romy untuk mengkontrol tampilan visual yang hendak dibuat. Pada beberapa bagian ia menggunakan garis paralel, diagonal dari kanan ke kiri. Konsep utama dari arsiran (hatching) adalah bahwa kepadatan, jumlah, dan ketebalan garis akan sangat memengaruhi efek bayangan yang dihasilkan. Dengan meningkatkan kepadatan, jumlah, dan jarak antar garis, maka bayangan yang dihasilkan semakin gelap, begitu pula sebaliknya. Beberapa diantaranya ia menggunakan arsiran melintang (cross-hatching) untuk mengejar blok dan pewarnaan yang lebih gelap. Kontras bayangan dicapai dengan mendekatkan dua jenis hatching yang berbeda sudut garisnya. Sebagai hasilnya, variasi garis ini mampu memberikan ilusi warna dan menghasilkan imaji yang realistis. Broken hatching (intermitten line) atau arsiran patah-patah digunakan Romy untuk membentuk kesan cahaya dan volume pada sebuah bidang. Dengan mengkontrol intensitas patahan arsiran, maka gradasi warna akan mudah dicapai.
Untuk membuat arsiran yang halus dan memperlihatkan tekstur yang kuat, ia menggunakan pensil mekanik dengan jenis 2B. Huruf B menginformasikan ketebalan (boldness), yang berarti kandungan grafitnya lebih banyak dibandingkan dengan tipe H. Pensil mekanik 2B yang digunakan mempunyai ketebalan garis 0.5 mm dengan panjang batang 7,5 cm. Untuk sebuah lukisan, Romy akan menghabiskan 100 hingga 200 batang pensil mekanik, tergantung dari kerumitan visual dan intensitas warna yang diinginkan. Peenggunaan pensil jenis mekanik ini diakuinya lebih mempermudah pengerjaan karya karena mempunyai kandungan graphite yang lebih padat, sehingga tidak terlalu boros dan lebih praktis karena tidak perlu menggunakan rautan.
Dalam karya Romy, akan kita temui arsiran yang cenderung lembut hingga terkesan ia menggunakan teknik dusel dalam drawingnya. Padahal senyatanya tidak, arsiran lembut yang dibuatnya adalah salah satu bentuk teknik shading, adalah tehnik memvariasikan intensitas warna pada bidang gambar, semisal untuk mempresentasikan bentuk bayangan. Teknik ini juga digunakan untuk menghasilkan efek  refleksi sinar, bayangan hingga pencahayaan gambar secara realistik.  Efek dari teknik shading ini didapatkan dengan membuat arsiran yang lembut dan intens. Teknik ini ia hadirkan dalam beberapa karyanya, seperti Jangan Takut Bermimpi ( 2011), Play and Pray (2011) dan Yin Yang (2011). Selain menggunakan pensil, Romy juga menggunakan media seperti graphit dan akrilik untuk menghasilkan beberapa efek visual seperti berasap, kesan basah dan kering dan beberapa efek lainnya.
Pengukuran dimensi gambar dan keruangan juga menjadi beberapa hal penting dalam proses penciptaan karya Romy. Hal ini dilakukan untuk mempertimbangkan keberadaan subjek yang akan dihadirkan. Alat seperti penggaris dan jangka digunakannya untuk membuat layout dan pembagian keruangan. Adapun perspektif ruang yang dibangun, ia menerobos kaidah perspektif linear à la Renaissance, yang membagi menjadi beberapa titik poin perspektif (2,3 atau lebih). Ia mencampur adukkan titik-titik perspektif itu sesuai dengan keinginannya. Ada beberapa karya yang dihadirkannya dalam titik pandang atmospherik dimana objek digambarkan secara foreground, dicampurkannya dengan perspektif  yang ‘juktapose’, sebagaimana perspektif yang berlaku pada relief candi ataupun wayang beber. Objek yang dekat diletakkan di bawah, dan yang terlihat jauh di letakkan di atas, berurut secara vertikal. Ketidakberaturan perspektif adalah hal yang ingin dicapainya.
Dalam pokok perupaan, bentuk objek yang diciptakan oleh Romy banyak terinspirasi oleh figur-figur kartun dalam film animasi, mainan anak-anak, berikut figur imajiner yang diciptakannya sendiri. Beberapa bentuk yang diciptakannya banyak pula yang berawal dari deformasi dari binatang-binatang yang ada disekitar kita. Beberapa figur juga diinspirasi dari tokoh-tokoh dalam dunia pewayangan.  Kemampuannya untuk menjelajahi setiap aspek artistik diwujudkannya mulai dari motif kayu, bebatuan, kain batik, tumbuhan hingga kerak-kerak konstruksi bangunan. Luasnya penjelajahan artistik ini pula yang menghantarkan Romy memasuki ruang-ruang wacana yang tidak berbatas dan sengaja untuk tidak ia batasi, sekaligus menunjukkan luasnya keinginan dan gagasannya. Kesan cerewet serta merta memang menjadi prasangka saat melihat karya-karya ini, namun sejatinya ia mampu membingkai semua permasalahan dalam wacana yang kuat, reflektif sekaligus mewadahi apresiasi publik secara lapang tanpa kehilangan ruang kritisnya.

(tiga) Dari balik ‘jendela’
Dalam pameran ini, Romy menghadirkan jendela sebagai elemen artistik untuk membingkai setiap gagasannya. Menggunakan kayu jati yang dipolitur dengan gurat tekstur yang masih dibiarkan kentara, bentuk masif diperlihatkannya dengan kuat. Sebagai pendukung narasi dalam karya-karya ini, ia menambahkan pegangan jendela dengan engsel berwarna perak untuk menghadirkan kesan yang lebih familiar dengan keseharian kita. Sebuah daun jendela yang kita buka setiap hari, dan menutupnya saat senja menjelang.
Sebagai elemen sekunder dalam sebuah rumah, keberadaan jendela seringkali abai untuk dimaknai keberadaannya sebagai bagian dari sebuah rumah. Padahal kenyataannya jendela itu adalah elemen yang penting. Dibandingkan dengan pintu, jendela menjadi ruang bagi pemilik rumah untuk berinteraksi dengan dunia luar tanpa kehilangan ruang privasinya. Melalui jendela, seseorang mengerti apa yang sedang terjadi di dunia luar. Merasakannya, meski hanya sekedar mengintip atau mengintai.
Menarik konsep tentang jendela dan menautkannya dengan proses kreatif Romy, sungguh kita akan menemukan benang merah yang terajut erat. Bagaimana ia menggunakan drawing sebagai bahasa primer dalam mengungkapkan gagasannya, disaat orang lain begitu mengunggulkan cat minyak, akrilik bahkan digital printing sebagai bahasa ungkap. Drawing adalah teknik yang selama ini di-sekunder-kan dalam seni lukis, meskipun ia menjadi elemen paling mendasar dalam sebuah proses penciptaan karya.
Membaca lebih lanjut proses kreatif yang dilakukannya, jarang ia membidik sesuatu permasalahan mainstream secara lugas dan frontal. Ia hanya mengintip apa yang sedang terjadi di luar tanpa mau ikut campur dan berbicara banyak. Karya-karya yang dihasilkannya selalu menghadirkan sisi paling lumrah dari realitas yang ada, namun senyatanya mengancang permasalahan yang besar. Layaknya mengintai dibalik tirai, ia menjaga privasi maksudnya. Setiap gagasannya hadir melalui jeratan simbol yang memicu ribuan makna. Ia selalu membidik persoalan dengan berjalan di pinggir (jawa: mlipir), dan dari pinggiran itulah ia bersuara. Melalui jendela ini pula ia mengajak audiens untuk merefleksikan diri. Ibarat kaca jendela yang acapkali dikenakan untuk bercermin, realitas yang ada di luar jendela adalah cermin hidup kita. 
Sekilas melihat ‘jendela-jendela’ yang membingkai karya Romy ini, kesan seragam memang sengaja dihadirkannya. Baik dari bentuk, warna hingga penempatan elemen komplemennya, pegangan jendela dan engsel. Penyeragaman bingkai visual ini diupayakan untuk memberikan sebuah penegasan di mana seluruh karya mempunyai bingkai permasalahan yang sama, mengusung wacana yang sama, meskipun di hadirkan visualitas yang beragam. Melalui jendela-jendela ini, ia mengajak kita untuk melihat realitas yang ada. Menyindir setiap polahnya, menertawakan setiap pongahnya.

(empat) Hitam dan Putih : Warna-warna Spiritualitas
                Lukisan Romy, menghadirkan warna-warna monokromatik.  Dominasi warna hitam hadir sebagai efek dari material pensil yang digunakan. Warna hitam dalam definisi ideal adalah representasi ketidakhadiran sedikit pun warna atau cahaya di dalam sebuah ruang gelap. Dalam seni rupa, hitam sering digunakan dalam penyajian karya, mengingat hitam yang didampingkan dengan warna lain mampu memperkuat kesan warna tersebut. Hitam juga bersifat kuat, sehingga tidak mudah dikotori warna lain. Cahaya yang mengenai bidang hitam pun cenderung terserap maksimal.
Dalam banyak kebudayaan, hitam sering diasosiasikan sebagai hal buruk seperti  ilmu hitam, gelap mata dan duka cita. Namun ditemukan pula pengaruh positif dari penggunaan hitam, seperti memperlihatkan ketegasan. Warna putih kanvas, dimaksimalkan oleh Romy untuk menunjukkan volume, ruang dan kebentukan objek.
Seakan tanpa disadari, dwiwarna dominan ini mendorongnya lahirnya lambang-lambang ‘suci’ yang tersemat dalam karya-karyanya. Beberapa lambang Yin Yang  hadir membingkai makna warna. Yin Yang merupakan perlambangan dari Tao dengan bulatan yang dibagi menjadi dua garis lengkung warna hitam dan putih , Yin (sisi warna hitam) membawa arti konotasi kejahatan, lemah, negatif, wanita. Sedangkan Yang (sisi warna putih) membawa arti konotasi kebaikan, kuat, positif, lelaki. Dalam pemaknaan  yang harafiah, lambang warna ini menandakan mekanisme  dunia yang tidak pernah memiliki kebenaran mutlak dalam kebenaran ada kesalahan begitu juga sebaliknya dalam kejahatan ada kebaikan yang dikandung. Prinsip Yin Yang (negatif positif) memiliki sifat dualism . Dingin dan panas, siang dan malam, musim dingin dan musim panas, utara dan selatan, api dan air, perempuan dan laki-laki, genap dan ganjil, feminin dan maskulin, hitam dan putih, bumi dan langit, bumi dan matahari, bundar dan persegi. Prinsip ini pun bukan hanya dimonopoli masyarakat China, karena masyarakat Bali pun menghadirkannya dalam kain poleng (bermotif kotak-kotak hitam putih), perlambang harmonisasi tenaga negatif dan positif semesta.
Prinsip Yin Yang menekankan bahwa tidak ada Yin atau Yang yang mutlak. Setiap Yin akan memiliki sedikit Yang dan sebaliknya, sebagaimana lambang Tai chi di mana bagian hitam memiliki titik putih, dan putih dengan titik hitam. Gambar Tai chi dalam karya-karya Romy ini mengilustrasikan prinsip Yin Yang secara sempurna. Andaikan Yin mutlak sampai terjadi, maka bahayanya akan sama bila Yang mencapai titik mutlak. Contohnya, seorang laki-laki seyogyanya dilahirkan dengan lebih banyak sifat Yang (maskulin) dari pada Yin. Namun bila ia tidak memiliki sedikitpun sifat Yin, ia tidak memiliki daya imbang dan ini akan sangat merugikannya. Sebaliknya, prinsip Yin dan Yang tidak boleh pula mencapai titik imbang (equilibrium) karena sesuatu yang terlalu seimbang tidak mendatangkan perubahan atau kemajuan. Equilibrium akan mengakibatkan stagnasi, dan saat terjadi stagnasi maka tidak akan ada kegairahan, dan saat ini terjadi maka waktu tinggal menunggu ajal atau kematian.
Menyandarkan paparan tersebut ke dalam karya Romy, warna hitam dan putih yang dituangkan dalam arsiran yang lembut, bersitekun seraya berdzikir, telah menjadikan Romy menggayuh batas-batas kesadaran spiritual, intuitif dan meretas linearitas (lateral). Kedua warna itu telah menghantarkannya dalam pehaman atas keseimbangan yang tidak boleh melebihi batas kemutlakannya. ‘Hitam’ tidak boleh menjadi legam, ‘putih’ tidak boleh mengaburkan, hal inilah yang mesti berlaku baik dalam pemikiran ataupun realitas manusia. Spirit keseimbangan inilah yang bersenyawa dalam setiap karya yang dipamerkan. 

(lima) Antiklimak!
Sekali lagi, lukisan Romy adalah sebuah antiklimak! Dimensi humor yang terbahak dan dipenuhi gelak, sudah dilewatinya. Refleksi diri dalam rentang keseimbangan antara hal yang remeh dalam keseharian dan sesuatu yang berat dipertemukan dalam bahasa visual yang agitatif. Setiap karyanya hadir sebagai antiklimak dari peradaban unggul manusia, dicirikannya dengan bangunan-bangunan tinggi dengan konstruksi yang berjalin pidan, penuh sesak dengan populasi massa yang banyak. Riuhnya peristiwa dan orientasi akan materi telah membuat sebagian orang atau entitas mulai mempertanyakan nilai-nilai spiritualitas dan religi. Di tengah kebimbangan dan akar kultural yang hilang, mereka menciptakan lambang-lambang spiritual yang dekat dengan kehidupan mereka sendiri, dalam pandangan mereka, Tuhan tidak lagi berada dalam satu tahta, Dia bisa hadir dimana saja dalam bentuk apa saja.

Tuku ketan campure gulali, pameran niki Jula-Juli ne Romy
Yu Painten klélékén timbo, cekap semanten atur kawulo

Yogyakarta, 4 Juni 2011

*kurator adalah sahabat dekat Romy dan pecinta musik dangdut!

Catatan media :


Posted on

Jumat, 18 November 2011

Leave a Reply